Pembajakan Film Masih Marak, Begini Kata Lembaga Sensor Film

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto mengungkapkan, dua faktor penyebab film bajakan masih menjamur.

oleh Ady Anugrahadi diperbarui 04 Jun 2024, 15:31 WIB
Diterbitkan 04 Jun 2024, 15:31 WIB
Polda Jawa Barat membongkar jaringan individu yang menjadi admin penyebaran konten ilegal dari Vidio.com (Istimewa)
Polda Jawa Barat membongkar jaringan individu yang menjadi admin penyebaran konten ilegal dari Vidio.com (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pembajakan film masih marak terjadi. Terbaru, kasus pembajakan konten Dian Sastro di Vidio.com yang dijual ilegal melalui platform Telegram. Kasus ini pun diungkap oleh Polda Jawa Barat. Dua orang admin Telegram diringkus polisi.

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Rommy Fibri Hardiyanto mengungkapkan, dua faktor penyebab film bajakan masih menjamur. Rommy menyebut, pertama kurangnya literasi tentang tata aturan, legal formal dan regulasi terhadap perfilman

"Kalau ini dipahami oleh masyarakat maka masyarakat tidak akan mengambil film tontonan seenaknya karena dia tahu sudah ter-literasi dan sudah paham kalau ambil ini melanggar hukum, ini enggak boleh segala macem. Literasi satu hal yang penting," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (4/6/2024).

Rommy melanjutkan, minimnya kesadaran dari pemilik film untuk melaporkan pembajak film. Dasarnya adalah Undang-Undang tentang Hak Cipta. Dia kemudian menyampaikan, bahwa undang-undang tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan.

Pertama, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta. Kedua, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta. Ketiga, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Keempat, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berlaku hingga saat ini.

Dalam hal ini, Rommy menggarisbawahi salah satu poin yang berubah terkait pelanggaran hak cipta sebelumnya termasuk delik biasa. Kini dikategorikan sebagai delik aduan.

"Delik aduan maka yang punya film lah yang mengadukan kepada polisi. Enggak seperti dulu, kalau dulu bukan delik aduan jadi polisi bisa merazia, polisi bisa menangkap pelaku pembajakan dan seterusnya. Tapi kalau sekarang masuknya delik aduan. Karena delik aduan, maka yang punya film harus meningkatkan awarenes, kewaspadaan dan tingkat kepedulian yang tinggi," papar dia.

Rommy mengatakan, edukasi dan penegakan hukum harus beriringan agar pembajakan film bisa diberantas.

"Sebenernya kuncinya bukan berapa tahun hukumannya tapi kalau masyarakatnya memang tidak mengerti, tidak paham, tidak aware, enggak mau peduli. Ya mau dikasih hukuman berapapun tetap aja," ujar dia.

 

LSF Ajak Pemilik Peduli Terhadap Film yang Diproduksi

Rommy menerangkan, Lembaga Sensor Film (LSF) gencar melakukan pencegahan terhadap pembajakan film. Bentuknya, melakukan literasi kepada masyarakat tentang pentingnya menonton film original, tidak membajak film, tidak menonton film dari platfrom yang ilegal.

Tak hanya itu, Rommy menambahkan LSF turut mengajak pemilik film peduli terhadap film yang diproduksi.

"Karena jangan-jangan banyak juga pemilik film yang enggak ngerti kalau ini delik aduan ini harus diadukan kan bukan LSF yang mengadukan karena bukan LSF yang punya film," ucap dia.

"Delik aduan pemilik film yang bisa melakukan pengaduan bukan LSF, LSF sifatnya lebih ke literasi ke kampanye promosi," dia menandaskan.

infografis journal
infografis journal Fakta Film Horor Digemari Masyarakat Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah).  
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya