Gus Yahya Sebut Salam Agama Bukan Ibadah, tapi Simbol Kerukunan

Gus Yahya menilai salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.

oleh Muhammad Ali diperbarui 13 Jun 2024, 09:18 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2024, 09:18 WIB
Ketum PBNU Gus Yahya
Ketum PBNU Gus Yahya di acara halal bihalal. Acara halal bihalal PBNU ini dihadiri presiden dan wapres terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf menegaskan klaim yang menyatakan semua ucapan salam di agama apapun merupakan ibadah merupakan hal yang tidak tepat.

"Karena ada klaim bahwa 'assalamualaikum' adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen)?" katanya dalam keterangan di Jakarta, Rabu 12 Juni 2024.

Gus Yahya, sapaan akrabnya, menilai salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal. Ia menekankan bahwa penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama.

"Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?" ujarnya dikutip dari Antara.

Gus Yahya mengklarifikasi mengenai salam "Namo Buddhaya" yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme. Menurutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain.

Ia menekankan meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.

"Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?" ujarnya.

Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan pola pikir di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama.

 

Gus Yahya Sebut Ahli Fikih Terpengaruh Pola Pikir Era Turki

Ia menilai bahwa sebagian besar ahli fikih masih terpengaruh oleh pola pikir era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Ke depan ini menjadi krusial lagi karena sekarang ini berbagai aktor yang sangat kuat bertarung melakukan mainstreaming dari gagasan-gagasan agar menjadi mindset dari masyarakat," ungkapnya.

Gus Yahya mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam gagasan yang tidak jelas asal-usulnya, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari fatwa agama.

"Gagasan-gagasan yang asal-usulnya tidak jelas seperti sekularisme dapat menjadi bagian dari strategi mainstreaming yang mempengaruhi tokoh agama dan ulama untuk memberikan persetujuan, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari agama. Ini sejak lama, dan kita harus berpikir jernih dalam soal itu," tuturnya.

Infografis 6 Ormas Keagamaan Dapat Konsesi Tambang dari Jokowi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 6 Ormas Keagamaan Dapat Konsesi Tambang dari Jokowi. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya