Pakar Kebijakan Publik Sebut BPA Dilarang di Banyak Negara, Tanggapi Usaha Pengaburan Fakta BPA di AMDK

Pakar Kebijakan Publik Riant Dr. Riant Nugroho lantaran adanya upaya yang dinilai 'menutup mata' melihat fakta bahaya BPA terhadap kesehatan.

oleh stella maris diperbarui 12 Agu 2024, 19:46 WIB
Diterbitkan 12 Agu 2024, 17:59 WIB
Ilustrasi air galon
Ilustrasi air galon/Canva.com.

Liputan6.com, Jakarta Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 6 Tahun 2024 mestinya didukung seluruh pemangku kepentingan, baik masyarakat umum maupun industri. Demikian dikatakan Pakar Kebijakan Publik Riant Dr. Riant Nugroho lantaran adanya upaya yang dinilai 'menutup mata' melihat fakta bahaya BPA terhadap kesehatan. 

Riant menilai bahwa sebenarnya penerbitan aturan itu tujuannya jelas, yaitu untuk melindungi kesehatan masyarakat dari paparan zat kimia Bisphenol A (BPA) yang terindikasi menyebabkan terjadinya banyak potensi gangguan kesehatan.

"Kebijakan (kemasan) bebas BPA ini sebenarnya sudah menjadi isu internasional dan bahkan penggunaan BPA telah dilarang di berbagai negara," kata Riant saat dihubungi di Jakarta.

Sayangnya menurut Riant, Indonesia saat ini hanya mencoba mengadopsi kebijakan serupa, namun tidak sampai pada tahap pelarangan. Saat ini BPOM mencoba untuk mengadopsi pelabelan bebas BPA atau Berpotensi Mengandung BPA pada AMDK untuk mengedukasi masyarakat agar lebih waspada terhadap potensi bahaya BPA. Terkait dengan adanya sejumlah pihak yang mencoba membenturkan pelabelan 'bebas BPA' dengan isu lingkungan, menurut Riant tidak pada tempatnya. 

"Isu sustainability tentu sangat penting untuk kemasan non-BPA, kan memang biasanya sekali pakai. Ya tinggal bagaimana memperkuat pengelolaan kemasan bekasnya. Sedangkan untuk BPA terkait dengan hak kesehatan masyarakat," kata Riant. 

Pendapat Riant itu merupakan respon terhadap sejumlah polemik yang mengiringi penerbitan peraturan BPOM Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan pada 5 April 2024. Dalam Pasal 48a mengatur kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan sementara Pasal 61A mewajibkan pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum bermerek yang menggunakan kemasan polikarbonat. Pada 2028, produsen wajib menerapkan peringatan dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) itu juga meminta agar semua pihak tidak lagi mempersoalkan kebijakan BPOM yang ditujukan untuk memastikan produk aman dikonsumsi masyarakat. Termasuk produsen salah satu AMDK yang mestinya juga mendukung kebijakan ini dan tidak resisten. 

"Apalagi perusahaan AMDK itu di negara asalnya patuh untuk tidak menggunakan kemasan mengandung BPA, kenapa di Indonesia tidak mau patuh? Mestinya comply dengan aturan di sini dan juga negara asalnya, sesuai dengan standar keselamatan dan kesehatan masyarakat. Produsen tidak bisa menjamin produknya tidak kepanasan dan terpapar sinar matahari langsung. Inilah yang menyebabkan peluruhan senyawa kimia BPA terhadap isi produknya melampaui ambang batas aman," ujar Riant. 

Ini Hasil Pengawasan BPOM Terhadap AMDK

Sementara itu, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM, Ema Setyawati menyatakan bahwa pelabelan BPA bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas kepada konsumen mengenai kandungan dalam AMDK. 

"Peraturan ini adalah bentuk komitmen BPOM dalam melindungi kesehatan masyarakat melalui regulasi yang berdasarkan pada perkembangan terkini di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi," kata ema.

Dalam acara Sarasehan Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat melalui Regulasi Pelabelan Bisfenol A (BPA) pada Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), BPOM memaparkan hasil pengawasan kemasan galon yang dilakukan pada kurun 2021-2022. Baik dari sarana produksi maupun peredaran, BPOM menemukan 3,4% sampel AMDK yang beredar di Indonesia tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yaitu di atas 0,6 bpj. 

Tak hanya itu sekitar 46,97% kemasan galon di sarana peredaran dan 30,91% di sarana produksi juga terdeteksi mengandung BPA dengan kadar yang mengkhawatirkan, yaitu 0,05-0,6 bpj. Sementara itu, hasil pengawasan kandungan BPA terhadap produk AMDK menunjukkan bahwa 5% sampel galon baru di sarana produksi dan 8,67% di sarana peredaran terbukti mengandung BPA di atas 0,01 bpj alias berisiko terhadap kesehatan.

Selain itu, Ema juga menegaskan bahwa kebijakan pelabelan BPA dilatarbelakangi karena keinginan pemerintah melindungi kesehatan publik. Air galon dikonsumsi oleh seluruh kelompok usia dengan volume produksi per tahun mencapai 21 miliar liter dan total konsumen sebanyak 50,2 juta orang atau 18% dari populasi Indonesia pada 2020. 

 

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya