Liputan6.com, Jakarta Tak pernah terbayangkan oleh Putik Chermawati jika apa yang dialaminya saat balita akan sangat membekas dan menimbulkan trauma tersendiri. Saat ini, ibu satu anak ini telah berusia 40 tahun. Peristiwa yang terjadi hampir 37 tahun lalu itu masih terekam jelas di ingatannya.
Sebagai anak yang berusia 3 tahun, perhatian dan pendampingan orangtua masih sangat dibutuhkan. Tapi rangkaian peristiwa memilukan sering diterima oleh Putik kecil. Sejumlah kekerasan fisik diterimanya berkali-kali.
Kejadian itu terjadi saat sang ibu sedang bekerja. Putik hanya terdiam tak pernah cerita kepada siapa pun termasuk ibunya. Karena sederetan kejadian terjadi hampir setiap hari, dia menganggap perlakuan ayahnya sebut saja Tony adalah hal lumrah.
Advertisement
"Aku selalu keep it silent. Karena aku pikir itu salah satu cara ketika aku melakukan kesalahan. Karena itu mungkin punishment-nya Papa ke aku," kata Putik kepada Liputan6.com.
Kekerasan yang dilakukan Tony biasanya terjadi jika Putik dianggap membuat kesalahan. Misalnya salah membelikan barang di warung, membuat berantakan mainan di rumah, hingga menjatuhkan barang tanpa sengaja.
Gerakan tangan Tony berlangsung secepat kilat mengenai tubuhnya. Memukul badan hingga membenturkan kepala anaknya ke tembok. Atau bahkan mengambil barang yang tampak di depan mata untuk dipukulkan ke anggota tubuh anaknya.
Putik kecil pun hanya memilih menangis. Tak ada seorang pun yang menolongnya kala itu. Bahkan sendok menjadi barang yang membuat dia sedikit trauma sampai saat ini. Sebab sendok menjadi alat yang digunakan Tony untuk memukulnya.
"Sering dia gunakan untuk memukul kepala aku. Iya langsung tak, tak," ucap dia.
Selain mendapatkan kekerasan fisik, Putik kecil juga menjadi saksi perselingkuhan Tony. Bahkan dia diminta sang ayah untuk menyaksikan sendiri. Beberapa kali Tony membawa perempuan lain ke rumahnya.
Perceraian Jadi Pilihan
Peristiwa kekerasan fisik itu berlangsung selama sekitar dua tahun sebelum akhirnya Tony dan istrinya memilih bercerai pada tahun 1989. Sang ibu yang sibuk bekerja akhirnya mengetahui apa yang dilakukan sang suami dari para tetangga. Pertengkaran besar pun terjadi.
Rumah kontrakan kecil di Kota Bekasi, Jawa Barat menjadi saksi bisu pertengkaran kedua orang tua Putik. Para tetangga mendengar dan melihat kejadian itu. Bahkan saat pertengkaran terjadi, Tony sempat membawa pedang samurai. Beberapa kali berusaha mengenai Putik.
Sang ibu dan beberapa tetangga langsung mengamankan anak berusia 5 tahun itu. "Itu di depan orang banyak. Itu aku udah mau dibelah. Itu aku sempet ditarik gitu sama tetangga," ucapnya.
Sebenarnya kekerasan juga sering terjadi saat kedua orang tuanya bertengkar. Biasanya setelah perselisihan itu terjadi, akan ada bercak darah di lantai rumah mereka. Setelah perceraian kedua orang tuanya, Putik tinggal bersama sang nenek.
Dukungan penuh sang nenek menjadikan Putik tetap menjalani hari demi hari. Meskipun dalam perjalanannya dampak kekerasan yang dialaminya mulai bermunculan sejak di bangku sekolah dasar (SD).
Mulai dari emosi yang tidak stabil hingga permasalahan perilaku. Dia tidak segan memukul temannya ketika bercandaan yang tidak sesuai. Kemudian, dia akan memegang sapu atau penghapus kayu ketika mendisiplinkan temannya saat menjadi ketua kelas.
Setelah belasan tahun berlalu, Putik akhirnya mencoba berdamai dengan diri sendiri mengenai peristiwa yang seringkali menghantuinya. Dia berusaha menghubungi Tony. Ada kekecewaan yang dirasakan Putik.
Suaranya sedikit bergetar, sebab ayah kandungnya tidak mau mengakui dan meminta maaf kepadanya mengenai peristiwa puluhan tahun lalu. Kini Putik sudah menerima peristiwa kekerasan itu, meskipun belum bisa memaafkan.
Sebagai penyitas kekerasan, dia mendorong agar para korban lainnya tidak pernah takut untuk bercerita. Dia juga meminta agar mereka tidak masa sendiri.
"Memang aku tahu itu berat, berat banget.Tapi kita enggak bisa terus-terusan menjadi korban. Kita juga harus bangkit. Hidup kita harus berjalan," jelas Putik.
Diskriminasi Sejak Usia Dini
Putik bukanlah satu-satunya anak Indonesia yang mengalami KDRT. Kekerasan juga dialami oleh Dina Lumban Tobing. Sebagai anak perempuan satu-satunya di keluarga Batak, Dina selalu dibedakan dengan abang dan adik laki-lakinya. Abang Dina, merupakan anak laki-laki pertama dan cucu pertama.
Karena itu, abangnya dimanja oleh orang tua dan keluarga besar. Sebagai anak tengah perempuan berbagai diskriminasi diterimanya sejak kecil. Misalnya dilarang ikut les atau pelajaran tambahan setelah sekolah sedangkan kakaknya diperbolehkan.
Kemudian urusan domestik rumah juga menjadi pekerjaan wajib yang harus Dina lakukan. Dari mulai memasak, cuci piring, memberikan makan ternak, hingga bersih-bersih.
"Kalau pulang sekolah atau pulang dari ladang, itu enggak bisa ditawar bahwa aku harus masak. Tapi abangku boleh enggak ikut ke ladang dan dia keluyuran," kata Dina kepada Liputan6.com.
Pengabaian Emosi dan Ekonomi di Keluarga
Jika berbagai pekerjaan rumah tangga tidak dilakukan, Dina menjadi sasaran empuk kemarahan sang ibu, sebut saja Lena. Seketika Lena akan memecahkan perabotan rumah. Piring, gelas pecah di dapur. Pulang sedikit malam setelah menjadi petugas gereja juga seringkali jadi permasalahan di rumah.
"Misalnya terlalu malam menurut ibuku, ibuku tuh kejam. Bilang, kamu mau jadi lonte?," ucapnya.
Dina sering menangis dan merasa berbeda dengan saudara-saudaranya. Bahkan pernah berpikir jika dirinya bukanlah anak kandung. Sisi lain, perempuan usia 34 tahun ini juga korban perundangan di sekolah. Ketika bercerita, sang ibu malah menghakimi Dina dengan kata-kata yang memojokan.
Kesepian menjadi teman terdekat Dina saat itu. Dia kebingungan untuk mencari tempat bercerita. Beberapa kali percobaan bunuh diri dilakukan Dina. Konfrontasi dengan Lena sempat dilakukannya.
"Saat SMP itu aku bilang, tapi kan aku enggak minta dilahirin. Aku dihajar, dijambak," ujar dia.
Peristiwa dijambak tak hanya terjadi sekali. Sore itu sepulang dari ladang Lena marah karena setumpuk cucian piring belum dibersihkan. Dina yang sedang bermain di rumah tetangga langsung diseret dan dijambak untuk pulang.
"So everybody can see, tetangga aku melihat orang yang lagi jalan, lewat di jalanan, itu malu banget. Sakit dan malu sekali," sambungnya.
Saat itu, Dina tersadar bahwa ayahnya tidak pernah memberikan pertolongan apa pun. Langkah yang diambil sang ayah hanya membiarkan apa yang terjadi. Terlebih Ayah Dina, kecanduan rokok dan kopi.
Ayahnya tak penduli keuangan keluarga dan biaya sekolah anak. Ujungnya pertengkaran masalah keuangan jadi sering terjadi. "Bapakku yang diam aja pun itu enggak nolong aku sebenarnya. Dan itu juga kekerasan, pengabaian emosional, pengabaian urusan rumah tangga," kata Dina.
Setelah bertahun-tahun berlalu, Dina merasa perlu bantuan pihak profesional. Rentetan peristiwa yang dialaminya cukup membuatnya trauma. Sejak 2019 dia rutin ke psikolog untuk melepaskan semua hal yang pernah dialami.
"Sebenarnya yang paling aku ingat adalah rasa marah ketika aku merasa diabaikan. Completely, secara ekonomi, secara emosi oleh bapakku. Itu kan abuse juga," jelasnya.
Sementara itu, peristiwa lainnya juga diterima oleh Kenan bukan nama sebenarnya. Pertengkaran ayah dan ibunya sudah menjadi makanan sehari-hari sejak dia masih balita. Perselisihan itu tak mengenal waktu. Bisa terjadi pagi hari sebelum dia sekolah atau saat malam hari.
Kata-kata tuduhan dan saling menyakiti terdengar seperti hal yang lumrah. Tak ada yang mau mengalah. Cacian, makian, teriakan histeris menjadi bahasa yang sering terdengar di telinga Kenan. Definisi rumah bagi Kenan adalah arena pertarungan.
Saat pertengkaran terjadi sang ibu memiliki kecenderungan melakukan upaya bunuh diri. Beberapa kali darah di lantai rumah berceceran. Luka lebam di badan orang tuanya menjadi tontonannya.
"Lebih sering melihat badan dan wajah orang tua lebam, juga penuh luka cakar," kata Kenan kepada Liputan6.com.
Dulu, Kenan saat orang tuanya bertengkar dia mengunci diri di kamar. Selain menangis dia juga sering merusak barang dari kamar. Harapannya orang tuanya mendengar dan menghentikan pertengkaran.
"Nyatanya hanya sebentar, pertengkaran lanjut lagi. Gitu aja terus tiap lagi selisih paham," ucap dia.
Kadangkala pertengkaran orang tuanya jadi tontonan para tetangga. Mereka keluar rumah dan berusaha melerai. Tapi usaha mereka sia-sia. Lambat laun, saat Kenan dewasa secara tidak sadar mencontoh cara orang tuanya dalam meluapkan emosi dengan kekerasan.
"Saya tidak terbiasa berkomunikasi ketika sedang marah. Saya menyadari ketika saya memiliki pasangan, ketika marah, saya cuma bisa berteriak, memukul sekitar, dan mencoba bunuh diri," paparnya.
Setelah dewasa dan mencoba memahami apa yang pernah terjadi, Kenan yang saat ini berusia 32 tahun mencari pertolongan. Dia memilih untuk berkonsultasi dengan psikolog hingga psikiater. Hal itu untuk membantu untuk menyembuhkan trauma dan cara dia berelasi dengan orang lain.
"Iya agar perilaku saya yang berpotensi menimbulkan konflik KDRT ke depannya juga tidak terulang kembali," Kenan menandaskan.
Advertisement
Ada Kenaikan Kasus KDRT Setiap Tahun?
Kasus KDRT terus terjadi dan meningkat jumlahnya. Misalnya beberapa tahun terakhir jumlah aduan KDRT di KemenPPPA cukup tajam. Dari catatan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPPA) kasus kekerasan sampai September 2024 mencapai 19.406 laporan. Korban perempuan masih mendominasi sebanyak 16.825 orang.
Berdasarkan tempat kejadian paling banyak yaitu dari rumah tangga sebanyak 12.792 korban. Lalu, bentuk kekerasan yang dialami korban paling tinggi yaitu seksual 8.941 orang, fisik 6.780 orang, psikis sebanyak 5.790, sisanya yakni penelantaran, traaffiking, hingga eksploitasi.
Sedangkan catatan Mabes Polri, laporan kasus KDRT selama 2023 sebanyak 21.768 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (PPA). Dari jumlah kasus tersebut tercatat sebanyak 11.084 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah tersebut meningkat sebanyak 12,3 persen jika dibandingkan dengan tahun 2022.
Untuk kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tercatat 5.555 laporan. Angka tersebut tercatat meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.241 kasus.
Pembiaran dan penanganan kasus yang tidak tepat dapat berujung hilangnya nyawa seseorang. Implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dakam Rumah Tangga (PKDRT) sering dipertanyakan. Sebab sampai saat ini kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es.
Korban KDRT tidak peduli usia, jenis kelamin, pendidikan, hingga agama seseorang. Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa korban KDRT hanya sebatas pasangan. Namun mereka yang tinggal satu rumah dengan pelaku KDRT.
"Misalnya, dalam satu rumah yang sama kalau di Indonesia kan sering tinggal bersama mertua, bersama orang tua, orang tua juga bisa jadi korban KDRT. Anak bisa jadi korban KDRT. Bahkan PRT, atau sepupu, atau keponakan yang tinggal bersama di dalam satu rumah juga bisa jadi korban KDRT," kata aktivis kekerasan Poppy Dihardjo kepada Liputan6.com.
Kekerasan KDRT juga terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu fisik, psikis, verbal, hingga penelantaran ekonomi. Poppy menyatakan bahwa semua orang diperbolehkan untuk melaporkan kasus KDRT. Kecuali kekerasan seksual harus dilaporkan langsung oleh korban.
Saat ini sejumlah gerakan sosial isu perempuan sudah semakin aktif di media sosial. Sedangkan jika membutuhkan bantuan dapat datangi pengada layanan terdekat atau dengan akses carilayanan.com. Laporan juga bisa dilakukan ke Polres atau ke UPTD PPA.
"Sekarang udah masuk kabupaten. Di mana mereka akan dampingi. Kalau anaknya perlu direlokasi, mereka akan tampung dulu anaknya di rumah aman untuk kemudian cari tahu nih, orang tuanya, anaknya nanti akan diamankan dulu di rumah aman, setelah itu baru akan ada investigasi," jelas Poppy.