Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan kepada 961 kepala daerah yang dilantik serentak oleh Presiden Prabowo Subianto pada 20 Februari 2025 untuk segera membuat Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Batas akhir penyampaian LHKPN adalah tiga bulan pasca pelantikan, yaitu 20 Mei 2025.
"Bagi para kepala daerah yang dilantik pada 20 Februari 2025 kemarin, maka batas akhir penyampaian LHKPN-nya adalah tiga bulan pasca pelantikan yaitu 20 Mei," ujar Tim Jubir KPK, Budi Prasetyo, Jumat (7/3/2025).
Baca Juga
Budi menjelaskan bahwa ketentuan mengenai batas akhir pelaporan LHKPN jabatan baru tertuang dalam Perkom Nomor 2 (tahun) 2020, yang menyatakan batas akhir pelaporan adalah tiga bulan pasca pelantikan. Hal ini berlaku karena Perkom Nomor 3 (Tahun) 2024 baru akan berlaku pada 1 April 2025.
Advertisement
Sebelum dilantik, para kepala daerah telah menggunakan LHKPN sebagai salah satu syarat dalam pendaftaran maju di Pilkada. Namun, meskipun sudah dilantik, para kepala daerah tetap wajib melaporkan harta kekayaannya karena sudah menyandang status baru.
"Para kepala daerah sebelum menjabat tentu saat menjadi cakada diwajibkan untuk melaporkan LHKPN, ada yang menggunakan LHKPN periodik atau LHKPN pada jabatan sebelumnya, ataupun LHKPN khusus untuk pendaftaran kepala daerah," imbuh Budi.
"Sehingga ketika sudah menjabat maka status LHKPN-nya adalah LHKPN pada jabatan baru," tambahnya.
Prabowo Subianto resmi melantik 961 kepala daerah di Istana Merdeka pada Kamis (20/2/2025). Mereka terdiri dari 33 gubernur dan 33 wakil gubernur, 363 bupati, 362 wakil bupati, 85 wali kota, dan 85 wakil wali kota.
Sebelum pelantikan dimulai, Deputi Bidang Administrasi Aparatur Kementerian Sekretaris Negara Nanik Purwanti membacakan Keputusan Presiden RI Nomor 15 P tentang Pengesahan Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Masa Jabatan Tahun 2025-2030, serta Keputusan Presiden RI Nomor 24 P Tahun 2025 Pengesahan Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur Masa Jabatan Tahun 2025-2030.
Apa itu LHKPN dan Siapa Saja yang Wajib Mengisinya?
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) adalah dokumen resmi yang digunakan untuk melaporkan harta kekayaan yang dimiliki oleh penyelenggara negara. Tujuan utama LHKPN adalah untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pejabat publik dalam rangka mencegah dan memberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
LHKPN dikelola oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI sebagai bagian dari upaya pengawasan terhadap kekayaan pejabat negara.
Setiap tahunnya, penyelenggara negara baik dari unsur yudikatif, legislatif, eksekutif, dan BUMN/BUMD diwajibkan membuat LHKPN untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi.
LHKPN merupakan laporan yang memuat informasi rinci mengenai harta kekayaan seseorang, termasuk aset berupa tanah, bangunan, kendaraan, tabungan, investasi, hingga utang.
Dalam LHKPN, penyelenggara negara diwajibkan mengungkapkan secara jujur dan terbuka seluruh harta kekayaan yang dimiliki baik atas nama pribadi maupun keluarganya (istri/suami dan anak yang menjadi tanggungannya).
Manfaat LHKPN sebagai instrumen pengelolaan SDM seperti mengangkat atau mempromosikan PN/WL berdasarkan kepatuhan LHKPN-nya, sebagai instrumen untuk mengawasi harta kekayaan PN/WL, dan sebagai instrumen akuntabilitas bagi PN/WL dalam mempertanggungjawabkan kepemilikan harta kekayaannya.
Advertisement
Siapa Saja yang Wajib Mengisi LHKPN?
Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta peraturan KPK, beberapa kategori penyelenggara negara yang wajib mengisi dan melaporkan LHKPN meliputi:
- Pejabat Tinggi Negara: Presiden dan Wakil Presiden, para Menteri dan pejabat setingkat menteri, anggota DPR, DPD, dan DPRD, hakim, termasuk hakim agung dan hakim konstitusi, kepala perwakilan Indonesia di luar negeri (duta besar).
- Pejabat Tinggi Lembaga Pemerintah dan BUMN/BUMD: Pimpinan lembaga negara dan lembaga pemerintah non-kementerian, pejabat eselon I dan II di lingkungan pemerintahan, direksi, komisaris, dan pejabat struktural di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
- Pejabat Lain yang Berpotensi Korupsi: Pejabat yang mengelola anggaran dalam jumlah besar, pejabat di sektor pengadaan barang dan jasa, dan pejabat lain yang ditentukan oleh instansi masing-masing.
