Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA, mengumumkan gerakan terbaru Satupena yang bertujuan merayakan para penulis besar dari setiap provinsi di Indonesia.
“Provinsi yang besar, juga melahirkan penulis besar,” kata Denny JA dalam keterangannya.
Baca Juga
Di setiap tanah, kata dia, ada kata-kata yang pernah ditanam. Di setiap provinsi, ada suara yang tak hanya menggema di zamannya, tetapi terus beresonansi dalam lembaran sejarah.
Advertisement
"Satupena kini hadir sebagai penjaga jejak itu. Kita menghidupkan kembali nama-nama yang pernah menerangi peradaban dengan tulisan mereka."
Melalui inisiatif ini, setiap koordinator Satupena provinsi memilih satu penulis besar atau inspiratif yang telah wafat, yang berasal dari atau memiliki keterikatan mendalam dengan daerah mereka.
Gerakan ini adalah penghormatan, perayaan, sekaligus sebuah janji bahwa kata-kata mereka tak akan hilang dalam kabut waktu.
Mengenang seorang penulis adalah menghidupkan kembali pemikirannya. Mengenang seorang penulis adalah menolak lupa.
Melalui program ini, Satupena mengukuhkan bahwa karya sastra bukan sekadar rangkaian aksara, tetapi juga warisan peradaban yang harus dirawat.
Respons dari pengurus Satupena di berbagai provinsi pun mengalir dengan cepat. Hingga saat ini, sudah ada belasan nama penulis yang telah diajukan, sementara provinsi lain tengah berdiskusi untuk memilih sosok terbaik dari tanah mereka.
"Di antara nama-nama yang telah terpilih, kita menemukan tokoh-tokoh besar yang telah meninggalkan jejak mendalam di dunia sastra, musik, dan pemikiran."
Program 100 Buku
Program ini bukanlah yang pertama kali digagas oleh Satupena dalam menjaga warisan intelektual bangsa.
Sebelumnya, Satupena telah meluncurkan program 100 buku yang membentuk Indonesia, yang mencakup karya-karya dari masa pra-kemerdekaan hingga era modern.
Melalui kurasi ketat dan survei akademik, dipilihlah 100 buku yang telah membentuk pemikiran bangsa, mulai dari Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini), Di Bawah Bendera Revolusi (Bung Karno), hingga Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer).
Tidak berhenti di situ, setiap tahunnya Satupena juga memberikan penghargaan tahunan kepada para penulis, serta menggelar talk show yang mendokumentasikan proses kreatif lebih dari 100 penulis.
Namun, tantangan sastra kini memasuki babak baru. Menurut Denny JA, kita kini memasuki era yang menempatkan sastra di persimpangan jalan baru: era Artificial Intelligence (AI).
“Jika dahulu penulis hanya bersaing dengan sesama manusia, kini kata-kata juga lahir dari mesin yang sangat cerdas,” ujar Denny JA.
“Tapi sastra adalah napas, bukan sekadar susunan algoritma. Ia adalah kesaksian batin, pergulatan jiwa.”
“Dan justru di era AI ini, kita perlu mengingat kembali bahwa sastra lahir dari pengalaman manusia, dari perasaan yang tak bisa sepenuhnya direplikasi oleh kecerdasan buatan.”
Melalui tangan-tangan para pengurus, program ini dikelola oleh Jonminofri sebagai Ketua Harian, Satrio Arismunandar sebagai Sekjen, dan Aji Sulaeman sebagai Bendahara.
Mereka memastikan bahwa Satupena tetap menjadi cahaya yang menerangi dunia kepenulisan Indonesia, dari Aceh hingga Papua.
Pada akhirnya, perayaan ini bukan sekadar penghormatan kepada masa lalu, tetapi juga komitmen untuk masa depan.
“Seorang penulis boleh tiada, tetapi kata-katanya akan terus mengembara.”
Mereka yang kita kenang hari ini akan hidup dalam memori kita, dalam perayaan kita, dalam kesadaran kita bahwa sastra dan karya non-fiksi adalah api yang terus menyala.
Advertisement
