Liputan6.com, Jakarta Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Muzakkir, menilai aparat penegak hukum yang terlibat dalam kasus suap, terutama dalam perkara korupsi, seharusnya dijatuhi hukuman berat.
Ia menegaskan bahwa keterlibatan aparat dalam praktik suap telah merusak tatanan dan integritas sistem hukum di Indonesia.
Hal ini disampaikan Muzakir menanggapi kasus dugaan suap sebesar Rp60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN). MAN diduga menerima suap terkait penanganan perkara crude palm oil (CPO) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat.
Advertisement
"Saya setuju (dituntut hukuman mati atau hukuman berat). Bukan hanya hakimnya, tapi semua penegak hukum,” kata Muzakkir, Senin (21/4/2025).
Menurutnya, aparat penegak hukum semestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Namun, dalam sejumlah kasus, justru mereka yang menjadi pelakunya. Hal ini, kata Muzakir, menunjukkan rusaknya integritas aparat penegak hukum.
“Hukuman berat ini harus dijatuhkan kepada mereka. Sebab sebagai penegak hukum malah mereka yang merusak tatanan hukum sendiri. Sebagai orang yang harusnya memberantas korupsi, malah mereka yang melakukan korupsi,” ujarnya.
Muzakir juga menyoroti perlunya reformasi mental dan integritas di kalangan aparat hukum. Ia mendorong agar mereka disumpah kembali serta diminta mengembalikan harta yang diperoleh dari praktik korupsi atau suap.
“Kalau tidak bersih, disingkirkan saja,” tegasnya.
Terkait penerapan hukuman berat atau hukuman mati dalam kasus korupsi, Muzakkir menilai perlu adanya pembedaan antara aktor intelektual (otak pelaku) dan pelaku lapangan yang hanya menjalankan perintah.
“Orang yang masuk penjara karena korupsi belum tentu bersalah. Bisa jadi mereka hanya menjalankan perintah dari atasannya,” kata dia.
Penegakkan Hukum Masih Diskriminatif
Ia mengkritik sistem penegakan hukum yang kerap kali bersifat diskriminatif. Banyak pelaku lapangan yang diproses dan dihukum, sementara aktor utama yang memiliki kekuatan politik tidak tersentuh hukum.
“Penegakan hukum sekarang itu diskriminatif. Pasti ada yang dikorbankan. Pertanyaan saya, apakah orang-orang seperti ini (bawahan) harus dihukum mati?” ujarnya.
Menurut Muzakir, yang seharusnya dijatuhi hukuman mati adalah para pembuat kebijakan yang menjadi otak dari praktik korupsi. Namun kenyataannya, mereka justru kerap lolos dari proses hukum.
“Untuk dilakukan hukuman mati, syaratnya penegakan hukum harus objektif, tidak boleh diskriminatif. Kasihan mereka, orang-orang kecil ini yang jadi korban,” tandasnya.
Advertisement
