Pemerintah Habiskan Rp 550 M untuk Mendata Penerima BLSM

Program kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berupa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) menuai kontroversi.

oleh Rochmanuddin diperbarui 25 Jul 2013, 12:53 WIB
Diterbitkan 25 Jul 2013, 12:53 WIB
blsm-sepi-130703b.jpg
Program kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) berupa bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) menuai kontroversi. Pembagian dana BLSM dinilai tak tepat sasaran. Di tengah rintihan warga miskin yang tak mendapatkan BLSM, mereka yang mampu justru menikmati dana senilai Rp 300 ribu untuk 2 bulan.

"Untuk anggaran pendataan ini Rp 550 miliar. Jadi biaya sangat tinggi yang melibatkan 120 ribu pencacah di lapangan," ujar Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto dalam keterangan persnya di Gedung II Sekretariat Wakil Presiden, Jakarta, Kamis (25/7/2013).

Untuk melakukan pendataan warga miskin penerima BLSM ternyata tak memakan biaya yang sedikit. Dana itu digunakan untuk mendata rumah tangga sasaran pemegang Kartu Perlindungan Sosial (KPS)-- kartu yang digunakan untuk mengambil dana BLSM.

Bambang menyatakan, pendataan KPS yang sudah diluncurkan pada pertengahan Juni 2013 lalu ini bertujuan agar pembagian BLSM lebih tepat sasaran. Dia akui, kelemahan subsidi komoditas jatuh kepada bukan orang yang tepat. Karena subsidi yang Rp 190 triliun akhirnya digunakan lebih dari 20 persen orang kaya. "Jadi ini tidak tepat. Sementara yang dinikmati orang miskin tak kurang dari 10 persen," ujarnya.

Saat ini, lanjutnya, terdapat 15,5 juta pemegang KPS sebagai penanda rumah tangga miskin dan rentan miskin. Pendataan pemegang KPS dilakukan untuk mengumpulkan informasi terkait variabel yang diduga berkaitan erat dengan status kesejahteraan, keadaan rumah tinggal, kepemilikan aset dan lainnya.

"Kali ini pendataan menggunakan variabel yang lebih banyak dari tahun sebelumnya. Dibuat perangkingan dari miskin, sangat miskin sampai rentan miskin," jelasnya.

Pendataan pemegang KPS ini, sambungnya, dilakukan dengan mendatangi langsung rumah tangga sasaran dan melakukan sampel. Namun, tak seperti survei ataupun sensus, pihaknya tak mendatangi semua rumah tangga.

"Karena kalau semua datangi sama saja dengan sensus, memakan biaya. Misalnya di perumahan elit di Menteng, kita sudah tahu orang kaya semua, jadi nggak perlu didatangi," kata Bambang mencontohkan.

"Sebelum lakukan perbaikan, kami banyak melakukanan eksperimen. Kalau kita tanya pada lurah atau kepala desa bisa saja memasukan teman, keluarganya dan lainnya. Makanya kami survei ke rumah tangga," pungkas Bambang. (Ndy/Ism)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya