Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sudjiono Timan. Koruptor yang merugikan negara Rp 396 miliar itu dibebaskan dari seluruh tuduhan.
Ketua Majelis PK, Suhadi, mengungkapkan menemukan kekeliruan dalam putusan kasasi yang memvonis Sudjiono selama 15 tahun penjara. Yakni terkait perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Sudjiono.
"PMH secara material itu menurut putusan Mahkamah Konstitusi kan tidak boleh," kata Suhadi ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Menurut Suhadi, PMH secara material bisa melanggar ketidakpatutan dan ketidakhati-hatian. Di mana oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hal itu tidak boleh digunakan karena bertentangan dengan UUD. "Itu yang menjadi salah satu pertimbangan majelis," kata Suhadi.
Sedangkan pertimbangan lainnya, kata Suhadi, di dalam putusan kasasi MA waktu itu hanya terbukti PMH. Sedangkan, unsur kerugian negaranya sendiri mengacu pada judex factie. "Padahal di judex factie kan putusannya onslag karena perbuatan perdata," kata dia.
Dikatakan Suhadi, kerugian Negara akibat kasus itu belum bisa dikalkulasi berapa. Serta juga keuntungan yang dinikmati untuk diri sendiri oleh Sudjiono juga belum bisa dihitung. "Karena itu kan sifatnya pinjaman," kata Suhadi.
"Uang itu dipinjamkan kepada BPUI pada tahun 1993, 1994, 1995, dan 1997, perusahaan itu untung terus. Tetapi pada 1998, dia (BPUI) itu terkena krisis dan merugi," katanya.
Dengan terjadinya krisis tersebut, katanya, BPUI rugi besar sehingga uang yang tadi sudah dipinjamkan itu sulit ditarik kembali. "Pihak bank sulit menagih kembali. Jadi memang terbukti ada kerugian tetapi itu perdata," kata Suhadi.
Terkait vonis pada tingkat pertama, kata Suhadi, vonis itu onslag, walaupun terbukti namun sifatnya perdata. Suhadi mengatakan Sudjiono adalah pimpinan perusahaan yang menggunakan uang sesuai dengan kewenangannya.
Perkara ini diputus oleh majelis PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif. Perkara ini diketok pada 13 Juli 2013.
Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Tindakannya dinilai merugikan negara US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.
Pada pengadilan tingkat pertama, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sudjiono Timan. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa pun mengajukan kasasi.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Jaksa. Ketua Majelis Kasasi Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Bagir Manan juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti Rp 369 miliar.
Namun, hingga saat ini kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono Timan. Karena sejak 7 Desember 2004, Sudjiono Timan sudah tak ditemui di rumahnya di Jalan Diponegoro Nomor 46, Jakarta Pusat. (Ary)
Ketua Majelis PK, Suhadi, mengungkapkan menemukan kekeliruan dalam putusan kasasi yang memvonis Sudjiono selama 15 tahun penjara. Yakni terkait perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Sudjiono.
"PMH secara material itu menurut putusan Mahkamah Konstitusi kan tidak boleh," kata Suhadi ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (22/8/2013).
Menurut Suhadi, PMH secara material bisa melanggar ketidakpatutan dan ketidakhati-hatian. Di mana oleh Mahkamah Konstitusi (MK) hal itu tidak boleh digunakan karena bertentangan dengan UUD. "Itu yang menjadi salah satu pertimbangan majelis," kata Suhadi.
Sedangkan pertimbangan lainnya, kata Suhadi, di dalam putusan kasasi MA waktu itu hanya terbukti PMH. Sedangkan, unsur kerugian negaranya sendiri mengacu pada judex factie. "Padahal di judex factie kan putusannya onslag karena perbuatan perdata," kata dia.
Dikatakan Suhadi, kerugian Negara akibat kasus itu belum bisa dikalkulasi berapa. Serta juga keuntungan yang dinikmati untuk diri sendiri oleh Sudjiono juga belum bisa dihitung. "Karena itu kan sifatnya pinjaman," kata Suhadi.
"Uang itu dipinjamkan kepada BPUI pada tahun 1993, 1994, 1995, dan 1997, perusahaan itu untung terus. Tetapi pada 1998, dia (BPUI) itu terkena krisis dan merugi," katanya.
Dengan terjadinya krisis tersebut, katanya, BPUI rugi besar sehingga uang yang tadi sudah dipinjamkan itu sulit ditarik kembali. "Pihak bank sulit menagih kembali. Jadi memang terbukti ada kerugian tetapi itu perdata," kata Suhadi.
Terkait vonis pada tingkat pertama, kata Suhadi, vonis itu onslag, walaupun terbukti namun sifatnya perdata. Suhadi mengatakan Sudjiono adalah pimpinan perusahaan yang menggunakan uang sesuai dengan kewenangannya.
Perkara ini diputus oleh majelis PK yang diketuai Hakim Agung Suhadi dengan anggota Sophian Martabaya dan Andi Samsan Nganro serta 2 hakim adhoc tipikor Sri Murwahyuni dan Abdul Latif. Perkara ini diketok pada 13 Juli 2013.
Sudjiono Timan adalah Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Tindakannya dinilai merugikan negara US$ 120 juta dan Rp 98,7 juta.
Pada pengadilan tingkat pertama, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis bebas Sudjiono Timan. Jaksa tak terima dengan putusan itu. Karena dalam tuntutannya, jaksa meminta hakim memvonis Sudjiono 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, serta membayar uang pengganti Rp 1 triliun. Jaksa pun mengajukan kasasi.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Jaksa. Ketua Majelis Kasasi Bagir Manan menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp 50 juta kepada Sudjiono. Tak hanya itu, Bagir Manan juga meminta Sudjiono membayar uang pengganti Rp 369 miliar.
Namun, hingga saat ini kejaksaan belum dapat mengeksekusi Sudjiono Timan. Karena sejak 7 Desember 2004, Sudjiono Timan sudah tak ditemui di rumahnya di Jalan Diponegoro Nomor 46, Jakarta Pusat. (Ary)