Dalam rilis survei Soegeng Sarjadi School of Goverment (SSSG), nama Joko Widodo merupakan tokoh paling banyak dipilih responden, seandainya Pemilu Presiden dilaksanakan hari ini. PDIP juga paling banyak dipilih responden seandainya Pemilu Legislatif dilakukan hari ini.
Namun, terdapat jarak terlalu besar antara persentase responden yang memilih Jokowi dan PDIP. Responden yang memilih Jokowi sebanyak 45,8%, sedangkan yang memilih PDIP hanya 13,6%.
"Ada jarak terlau besar Jokowi dengan partai dalam survei ini," kata Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (12/9/2013).
Menurut Hamdi, survei ini sekaligus mengkonfirmasi suatu gejala menarik. Pemilihan responden terhadap PDIP tak terlepas faktor Jokowi yang notabene satu-satunya kader PDIP yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi saat ini.
"Kalau PDIP memang cerdas mencermati itu maka PDIP harus cerdik memanfaatkan ini (Jokowi Effect). Ketika orang lebih percaya Jokowi dibanding PDIP, maka PDIP harus bisa mencengkramkan citra PDIP ke Jokowi. Apa boleh buat, harus seperti itu, karena ini realita," ujar Hamdi.
Ia menilai, PDIP memang harus bisa melakukan hal seperti itu. Sebab magnet responden kepada PDIP ada di Jokowi. "Tapi kenapa PDIP tidak memanfaatkan itu?" heran dia.
Karena itu, Hamdi menyarankan, PDIP tak perlu mengumumkan Jokowi sebagai capresnya sampai Pileg 2014, meski sampai saat ini PDIP belum juga mengumumkan siapa capresnya.
"Kalau perlu seminggu sebelum bulan April 2014 jangan diumumkan kalau semisalnya Jokowi capresnya. Sebab itu jadi jangkar untuk publik memilih PDIP," ungkapnya.
"Jadi PDIP bisa memanfaatkan pesona Jokowi yang saat ini ragu-ragu memilih partai. Sama seperti 2009, orang banyak pilih Demokrat karena pengaruh SBY. Ini fakta yang tidak terbantahkan," imbuh Hamdi. (Rmn/Mut)
Namun, terdapat jarak terlalu besar antara persentase responden yang memilih Jokowi dan PDIP. Responden yang memilih Jokowi sebanyak 45,8%, sedangkan yang memilih PDIP hanya 13,6%.
"Ada jarak terlau besar Jokowi dengan partai dalam survei ini," kata Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk di Wisma Kodel, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (12/9/2013).
Menurut Hamdi, survei ini sekaligus mengkonfirmasi suatu gejala menarik. Pemilihan responden terhadap PDIP tak terlepas faktor Jokowi yang notabene satu-satunya kader PDIP yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi saat ini.
"Kalau PDIP memang cerdas mencermati itu maka PDIP harus cerdik memanfaatkan ini (Jokowi Effect). Ketika orang lebih percaya Jokowi dibanding PDIP, maka PDIP harus bisa mencengkramkan citra PDIP ke Jokowi. Apa boleh buat, harus seperti itu, karena ini realita," ujar Hamdi.
Ia menilai, PDIP memang harus bisa melakukan hal seperti itu. Sebab magnet responden kepada PDIP ada di Jokowi. "Tapi kenapa PDIP tidak memanfaatkan itu?" heran dia.
Karena itu, Hamdi menyarankan, PDIP tak perlu mengumumkan Jokowi sebagai capresnya sampai Pileg 2014, meski sampai saat ini PDIP belum juga mengumumkan siapa capresnya.
"Kalau perlu seminggu sebelum bulan April 2014 jangan diumumkan kalau semisalnya Jokowi capresnya. Sebab itu jadi jangkar untuk publik memilih PDIP," ungkapnya.
"Jadi PDIP bisa memanfaatkan pesona Jokowi yang saat ini ragu-ragu memilih partai. Sama seperti 2009, orang banyak pilih Demokrat karena pengaruh SBY. Ini fakta yang tidak terbantahkan," imbuh Hamdi. (Rmn/Mut)