Praktik Hitam Mafia Peradilan Dinilai Seperti `Kentut`

Praktik-praktik hitam mafia peradilan itu dinilai kian terang-terangan, tapi sulit dibuktikan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 20 Sep 2013, 15:06 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2013, 15:06 WIB
pengadilan130613b.jpg
Pernyataan Komisi Yudisial (KY) bahwa pernah ada anggota Komisi III DPR yang menawarkan suap guna meloloskan salah satu peserta Calon Hakim Agung (CHA) ditanggapi serius sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Praktik-praktik hitam seperti itu menurut KPP sudah kerap terjadi.

Apalagi, beberapa waktu lalu, ada pertemuan anggota DPR dengan seorang CHA di toilet DPR. Ini makin menunjukkan praktik-praktik hitam mafia peradilan kian terang-terangan, tapi sulit dibuktikan.

"Maka anekdot mafia peradilan selama ini dianggap seperti 'kentut', yang baunya tercium tapi sulit mengetahui siapa orangnya. Itu harus segera dipatahkan," kata Koordinator Indonesia Round Table (ILR) Erwin Natosmal Oemar di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Jumat (20/9/2013).

Kata Erwin, sebenarnya praktik jual beli suara oleh anggota DPR bukanlah pertama kali terjadi. Sebelumnya ada kasus "suap jamaah" pengangkatan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Goeltom. Di mana kasus itu telah mengantarkan sejumlah anggota DPR ke "hotel prodeo".

Jika kemudian praktik "suap jamaah" ini muncul kembali, lanjut Erwin, terdapat asumsi yang sulit dibantah bahwa sistem pengangkatan pejabat publik oleh DPR sangat membuka peluang untuk transaksi-transaksi hitam.

Karena itu, perlu kiranya mengkaji ulang mengenai pengangkatan pejabat publik melalui DPR. "Supaya menghasilkan para pejabat publik yang kredibel dan memiliki moral tinggi," ujar dia.

Seleksi calon hakim agung (CHA) di Komisi III DPR sebelumnya diwarnai adanya "transaksi toilet". Seorang CHA yang merupakan hakim dari Pengadilan Tinggi Pontianak, Sudrajad Dimyati, diduga menyelipkan amplop kepada anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKB Bahrudin Nasori. Baik Sudrajad dan Bahrudin sudah membantah.

Komisi Yudisial (KY) mengaku tak kaget dengan adanya praktik suap menyuap dalam seleksi CHA. Bahkan Komisioner KY Bidang Hubungan Antarlembaga, Imam Anshori Saleh mengaku pernah diimingi Rp 1,4 miliar untuk meloloskan salah satu calon.

"Dalam seleksi sebelumnya, saya pernah ditawari Rp 1,4 miliar oleh orang yang mengaku dari DPR untuk meloloskan calon tertentu. Uang itu untuk dibagi ke-7 komisioner KY," kata Imam saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (19/9/2013).

Imam mengaku langsung menolak tawaran tersebut. Sebab dia menginginkan hakim-hakim yang lolos memiliki kualitas tanpa jalan pintas.

Kata Imam, calon yang dimaksud pun kebetulan dinyatakan tak lolos untuk menjalani ujian di DPR. "Tak mungkin saya terima, kalau calon Hakim Agung seperti itu bagaimana? Nanti rusak masa depan hukum kita," tukas mantan Wakil Ketua KY itu. (Ali/Yus)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya