Warga Suku Tengger yang berdiam di kawasan Gunung Bromo memiliki ritual unik membersihkan desanya. Ritual itu duberi nama Unan-unan, yang bertujuan menghindari gangguan makhluk halus dan arwah gentayangan.
Dalam tayangan Liputan 6 SCTV, Sabtu (28/9/2013), ratusan warga Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, menggelar Unan-unan yang melibatkan seluruh warga. Ritual ini juga disebut ritual mayu bumi atau lumahing bumi dan kureping langit. Ritual ini juga dapat diartikan mempercantik permukaan bumi dan bawah langit.
Seluruh peserta arak-arakan memakai pakaian adat. Warga yang mengikuti arak-arakan ini dipimpin seorang dukun Pandhita. Ritual ini menjadi tradisi lima tahunan bagi warga Suku Tengger yang berdiam di kawasan Gunung Bromo.
Sesaji yang diarak warga dibawa menuju Pundhen, tempat makam leluhur atau pura agung desa. Jarak pura sekitar 2 kilometer dari balai desa. Selama perjalanan, arak-arakan diiringi ketiplung atau gamelan khas Tengger.
Sajian utama sesaji adalah kepala kerbau lengkap dengan tulang belulang, kulit, daging, dan kaki kanan kerbau atau sampil. Sesaji pengiring biasanya berupa tampak takir kawung dari daun kelapa yang berisi nasi dan lauk-pauk juga buah-buahan.
Tiba di Pura Gunung Jati, seluruh warga melakukan sembayangan sekaligus mendoakan sesaji agar memperoleh berkah dari Sang Hiang Widhi. Selanjutnya, sesaji iringan disantap bersama sebagai wujud syukur dan kebersamaan. (Don/Mut)
Dalam tayangan Liputan 6 SCTV, Sabtu (28/9/2013), ratusan warga Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, menggelar Unan-unan yang melibatkan seluruh warga. Ritual ini juga disebut ritual mayu bumi atau lumahing bumi dan kureping langit. Ritual ini juga dapat diartikan mempercantik permukaan bumi dan bawah langit.
Seluruh peserta arak-arakan memakai pakaian adat. Warga yang mengikuti arak-arakan ini dipimpin seorang dukun Pandhita. Ritual ini menjadi tradisi lima tahunan bagi warga Suku Tengger yang berdiam di kawasan Gunung Bromo.
Sesaji yang diarak warga dibawa menuju Pundhen, tempat makam leluhur atau pura agung desa. Jarak pura sekitar 2 kilometer dari balai desa. Selama perjalanan, arak-arakan diiringi ketiplung atau gamelan khas Tengger.
Sajian utama sesaji adalah kepala kerbau lengkap dengan tulang belulang, kulit, daging, dan kaki kanan kerbau atau sampil. Sesaji pengiring biasanya berupa tampak takir kawung dari daun kelapa yang berisi nasi dan lauk-pauk juga buah-buahan.
Tiba di Pura Gunung Jati, seluruh warga melakukan sembayangan sekaligus mendoakan sesaji agar memperoleh berkah dari Sang Hiang Widhi. Selanjutnya, sesaji iringan disantap bersama sebagai wujud syukur dan kebersamaan. (Don/Mut)