Dewan Pers memaparkan jumlah pengaduan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam sebuah pemberitaan meningkat selama 2012. Pengaduan pelanggaran Kode Etik terbesar berasal media cetak.
"Selama 2012 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik meningkat. Media cetak merupakan aduan terbanyak dari berbagai pihak dengan 328 pengaduan," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, dalam acara Sosialisasi dan Diskusi Jurnalis dalam Pemberitaan yang Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban' di Ancol, Jakarta Utara, Jumat (18/10/2013).
Pria kelahiran Malang ini melanjutkan, untuk media online pada tahun yang sama terdapat 90 pengaduan pelanggaran KEJ. Peringkat berikutnya aduan terbanyak diikuti media elektronik. "Dengan 36 pengaduan dari masyarakat," terangnya.
Rata-rata, jelas Stanley, ada 3 poin penting yang dijadikan masyarakat terhadap aduannya ke Dewan Pers terkait pemberitaan media.
"Yakni pemberitaan tidak berimbang, kemudian tidak ada konfirmasi dari pihak terkait dalam berita tersebut, dan terakhir banyaknya opini jurnalis yang menghakimi," paparnya.
Dia menegaskan, pelanggaran kode etik terlihat dengan tidak menyunting tulisan ataupun video saat mengungkapkan jati diri dari saksi atau korban. Apalagi itu dipublikasikan sebelum persidangan.
"Adalah kewajiban media untuk menyamarkan si korban ataupun saksi. Bisa diungkap melalui pengadilan, namun dalam proses menuju pengadilan identitas korban maupun saksi harus ditutup rapat-rapat," tegasnya. (Ado/Ism)
"Selama 2012 pelanggaran Kode Etik Jurnalistik meningkat. Media cetak merupakan aduan terbanyak dari berbagai pihak dengan 328 pengaduan," kata Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo, dalam acara Sosialisasi dan Diskusi Jurnalis dalam Pemberitaan yang Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban' di Ancol, Jakarta Utara, Jumat (18/10/2013).
Pria kelahiran Malang ini melanjutkan, untuk media online pada tahun yang sama terdapat 90 pengaduan pelanggaran KEJ. Peringkat berikutnya aduan terbanyak diikuti media elektronik. "Dengan 36 pengaduan dari masyarakat," terangnya.
Rata-rata, jelas Stanley, ada 3 poin penting yang dijadikan masyarakat terhadap aduannya ke Dewan Pers terkait pemberitaan media.
"Yakni pemberitaan tidak berimbang, kemudian tidak ada konfirmasi dari pihak terkait dalam berita tersebut, dan terakhir banyaknya opini jurnalis yang menghakimi," paparnya.
Dia menegaskan, pelanggaran kode etik terlihat dengan tidak menyunting tulisan ataupun video saat mengungkapkan jati diri dari saksi atau korban. Apalagi itu dipublikasikan sebelum persidangan.
"Adalah kewajiban media untuk menyamarkan si korban ataupun saksi. Bisa diungkap melalui pengadilan, namun dalam proses menuju pengadilan identitas korban maupun saksi harus ditutup rapat-rapat," tegasnya. (Ado/Ism)