Mendagri Terima Apa pun Putusan MK soal Calon Tunggal Pilkada

Putusan MK akan menjadi dasar keputusan bagi KPU, apakah mengubah atau menambah Peraturan KPU.

oleh Oscar Ferri diperbarui 20 Agu 2015, 17:37 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2015, 17:37 WIB
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Komunikasi Politik Effendi Gazali dan Yayan Sakti Suryandaru ‎mengajukan judicial review atau uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada‎ ke Mahkamah Konstitusi.

Effendi mempermasalahkan ‎Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) ‎dalam UU Pilkada, yang mengatur tentang jumlah pasangan calon minimal 2 pasangan.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan akan menerima apa pun putusan MK‎ terhadap uji materi itu.

"Kami dengan KPU sepakat apa pun keputusan MK, kan final dan mengikat," ‎kata Tjahjo di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (20/8/2015).

‎Menurut dia, putusan MK akan menjadi dasar keputusan bagi KPU, apakah mengubah atau menambah Peraturan KPU (PKPU). Mengingat, sejumlah daerah sampai saat ini hanya memiliki 1 pasangan calon, yang berujung pada penundaan pilkada sampai 2017.

"Tentunya menunggu MK terkait calon perseorangan. Termasuk 4 daerah yang punya satu pasangan calon," kata Tjahjo.

Sebelumnya, Effendy Gazali bersama Yayan Sakti Suryandaru mengajukan judicial review terhadap Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), dan Pasal 54 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Mereka mempermasalahkan aturan minimal 2 pasangan calon sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.

Aturan itu membuat pilkada di sejumlah daerah ditunda sampai 2017. Effendi dan Yayan‎ menilai aturan tersebut berpotensi merugikan hak konstitusionalnya warga negara di daerah-daerah.

‎"Hak memilih warga yang tinggal di daerah dengan pasangan calon tunggal jelas dirugikan. Ini tidak memberi kepastian hukum dan bersifat diskriminatif," ujar Effendi di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/8/2015).

Menurut dia, kerugian konstitusional ini potensial terjadi di seluruh Indonesia. Sebab, tidak ada jaminan fenomena calon tunggal ini tidak akan terjadi pada pilkada serentak tahun 2017 dan ‎tahun-tahun selanjutnya.

‎Aturan dalam pasal-pasal tersebut dinilai cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 huruf i ayat (2), dan Pasal‎ 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. (Bob/Sss)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya