Liputan6.com, Jakarta - Hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukan, elektabilitas Capres dan Cawapres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin meningkat setelah kasus hoaks Ratna Sarumpaet terbongkar.
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf, Abdul Kadir Karding mengatakan, survei tersebut membuktikan strategi merepetisi hoaks kubu lawan gagal total.
"Data dari Denny JA ini menyatakan bahwa strategi membangun sebanyak-banyaknya hoaks dan merepetisinya di Indonesia tentu harus dapat dikatakan gagal total," ujar Karding melalui pesan singkat, Selasa 23 Oktober 2018.
Advertisement
Hal tersebut juga sebagai pengingat kepada pihaknya agar tak menggunakan cara yang sama. Karena itu politikus PKB itu mengajak berkampanye adu gagasan dan adu program.
"Dan strategi ini supaya tidak dipelihara, supaya lebih berkampanye secara positif dan mengedukasi dan menambah bobot kualitas daripada demokrasi kita, demokrasi pancasila kita," kata Karding.
Senada, Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Johnny G Plate mengatakan, masyarakat tidak suka dengan kebohongan. Sehingga, wajar jika pemilih yang belum memutuskan akhirnya berlabuh ke Jokowi.
"Ini merupakan peringatan bagi kita sekalian, tidak saja berita bohong tapi hate speech juga itu juga tidak disukai. Apabila nanti terungkap dan soal mengungkapnya hanya waktu masyarakat sudah sangat cerdas hanya waktu dan pada saat terungkap rakyat akan memilh pemimpin yang jujur pada masyarakatnya yang mereka bisa percaya," tutur Johnny.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Survei LSI Denny JA
Kasus hoaks Ratna Sarumpaet memiliki dampak elektoral yang cukup siginifikan terhadap elektabilitas kedua pasangan calon presiden. LSI Denny JA dalam survei terbarunya menunjukkan peningkatan elektabilitas pasangan nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Peneliti LSI Ikrama Masloman menjelaskan, kasus hoaks Ratna Sarumpaet bakal berdampak lama terhadap elektabilitas Prabowo-Sandiaga. Daya ledaknya lebih besar ketimbang isu ekonomi yang menerpa paslon petahana.
"Kalau kita lihat memang daya ledaknya masih lebih tinggi dari isu lain. Memang kemarin masih ada isu ekonomi tapi memang kasus Ratna Sarumpaet membekas," ujarnya di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa 23 Oktober 2018.
Menurutnya, dampak kasus ini terhadap Prabowo-Sandiaga baru akan habis jika dalam proses penyelidikan polisi tak menemukan keterkaitan produksi hoaks Ratna dengan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga. Sentimen terhadap Prabowo diyakini bakal berkurang.
"Kalau kita lihat 50 persen publik tahu tentang kasus ini. kasus ini akan berhenti sejauh mana investigasi. Saya pikir ketika investigasi ada temuan baru, kejutan lain tentu ada dinamika dukungan," jelas Ikrama.
Tetapi, kalau polisi menyeret banyak pihak terutama dari kubu Prabowo, maka elektabilitasnya akan terus tergerus.
"Tetapi kalau diketahui kasus Ratna menyeret banyak pihak yang terlibat dalam Ratna tentu ada efek negatif," ucapnya.
Ikrama menjelaskan, dampak hoaks Ratna Sarumpaet bukannya mengurangi dukungan terhadap Prabowo-Sandiaga. Melainkan, perubahan pada pemilih yang belum memutuskan (undecided voter).
Dari segmen pendukung di kalangan terpelajar, dukungan kepada Jokowi meningkat. Pendukung dengan pendidikan perguruan tinggi meningkat dari 40,5 persen di September, menjadi 44 persen di Oktober. Sementara, Prabowo menurun, dari 46,8 persen di September, menjadi 37,4 persen di Oktober. Atau pasca-hoaks Ratna Sarumpaet.
Hal sama juga terjadi di segmen pendapatan. Pendukung Jokowi dengan pendapatan di atas 3 juta meningkat dari 46,2 persen menjadi 54,8 persen. Pendukung Prabowo menurun, dari 43,8 persen menjadi 34,5 persen.
"Kalangan terpelajar dan segmen menengah ke atas kurang menyukai pemimpin yang mudah terkecoh dan reaksioner," jelas Ikrama.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement