Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengakomodasi putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dengan batas usia kepala daerah atau calon gubernur dan calon wakil gubernur. Dalam putusannya, calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun pada saat pelantikan.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan, usia untuk menjadi seorang gubernur yaitu 35 tahun pada zaman Presiden ke-2 RI Soeharto.
Baca Juga
"Sebetulnya usia di zaman Pak Harto lebih membawa kepentingan umum. Calon bupati/wali kota minimal 30 tahun, gubernur 35 tahun dan calon presiden/wakil presiden minimal 40 tahun. Baru selesai kuliah 22 atau 23 tahun," kata Mardani saat dihubungi, Selasa (2/7/2024).
Advertisement
"Biarkan semua menikmati proses. Kejiwaan itu beda dengan fisik atau asesori, tidak bisa dikarbit dan instan," sambungnya.
Menurut Mardani, publik akan menjadi kasihan apabila dipaksakan untuk menerima kepala daerah berusia yang disebutnya belum matang untuk menjadi seorang pemimpin.
"Kasihan publik jika dipaksakan untuk menerima yang belum matang. Mendorong anak muda wajib, tapi kita bangsa yang besar, sangat beragam dan penuh kompleksitas. Tapi residu demokrasi memang niscaya membuat anak tokoh, apalagi anak Presiden, sangat populer," ujar Mardani.
Meski begitu, partainya mempersilakan siapa pun yang ingin maju ikut dalam kompetisi lima tahunan sekali dengan mengikuti aturan yang berlaku.
"Dengan kontestasi yang tidak menyediakan kedalaman atau pentingnya rekam jejak semua jadi mungkin. Tapi jika tidak hati-hati bangsa ini bisa dalam bahaya. Siapa pun yang maju di Jakarta atau Jateng atau daerah lain selama sesuai aturan monggo," tegasnya.
"PKS siap berkompetisi secara adil. Kita punya pengalaman menang dengan elegan di Jawa Barat 2008 dan DKI 2017 serta Sumatera Barat atau Nusa Tenggara Barat," pungkasnya.
KPU Akomodasi Putusan MA soal Batas Usia Gubernur dan Wakil Gubernur
Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memaparkan persyaratan pilkada serentak 2024 usai putusan Mahkamah Agung (MA). Untuk calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia 30 tahun per tanggal 1 Januari 2025. Sementara itu, untuk calon bupati atau wakil bupati harus genap berusia 25 tahun.
Ketua KPU Hasyim Asyari mengatakan pihaknya mengikuti putusan tersebut. Dia menilai pelantikan pasangan terpilih harus dilakukan pada 1 Januari 2025.
"Keterpenuhan syarat usia calon harus telah genap berusia 25 tahun bagi calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota, dan harus sudah genap berusia 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur, pada tanggal 1 Januari 2025," kata Hasyim, Minggu (30/6/2024).
Hasyim menjelaskan, penentuan jadwal pelantikan itu didasarkan atas berbagai kerangka hukum. Salah satunya amar Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 yang menetapkan syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak pelantikan.
Hal lain yang jadi pertimbangan KPU yaitu ketentuan tentang Akhir Masa Jabatan (AMJ) Kepala Daerah Hasil Pilkada 2020 dalam UU Pilkada. Dalam ketentuan itu, akhir masa akhir jabatan kepala daerah sampai 2024.
Pasal 164 A ayat 2 UU Pilkada menjelaskan, pelantikan secara serentak dilaksanakan pada akhir masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota periode sebelumnya yang paling akhir.
"AMJ akhir tahun 2024, yaitu tanggal 31 Desember 2024. Sehingga, pelantikan serentak harus dijadwalkan pada tanggal 1 Januari 2025," ujar Hasyim.
Advertisement
Mahfud Md: Putusan MA Soal Batas Usia Kepala Daerah Cacat Etik, Moral dan Hukum
Mantan calon wakil presiden Mahfud Md menilai, putusan Mahkamah Agung (MA) soal batas usia kepala daerah cacat etik dan membuat kacau. Sebab, dalam tata hukum putusan MA mengikat, sehingga KPU tidak bisa menghindar walaupun secara kewenangan salah.
"Ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud Md dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024).
Mantan Menkopolhukam menilai, kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.
"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu. Itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2008-2013 itu sudah bertanya ke ahli-ahli hukum soal cara memperbaiki berhukum karena kebusukan sudah di semua lini dan tidak mendapat jawaban. Namun, Mahfud mengaku masih memiliki harapan.
"Kalau saya masih punya harapan, mudah-mudahan nanti kalau sudah dilantik, Pak Prabowo melakukan perubahan-perubahan yang bagus. Itu akan membantu bagi pemerintah, akan membantu bagi Pak Prabowo kalau hukum ditegakkan dengan benar," kata Mahfud.
Jokowi Sudah Larang Kaesang Maju Pilkada, Mahfud: Dulu juga Bilang Begitu
Sementara, terkait komentar salah satu ketua umum partai yang menyebut kalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah melarang Kaesang Pangarep untuk maju di kontestasi pilkada, Mahfud mengaku tidak ingin percaya atau tidak percaya.
Sebab, itu sudah pernah terjadi pada saat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka dikabarkan maju pemilu presiden 2024.
Tepatnya, saat Gibran Rakabuming Raka diisukan maju dalam kontestasi pilpres dan Jokowi menyebutnya masih terlalu muda dan belum cukup umur. Namun, pada akhirnya Jokowi malah mengaku dipaksa parpol dan itu urusan parpol.
"Saya tidak ingin percaya atau tidak percaya, sudah malas, yang dulu kan juga bilang begitu, dulu bilang begitu. Akhirnya, saya dipaksa oleh parpol, itu urusan parpol. Dulu kan dia bilang tidak setuju, sekarang mau dikomentari lagi malah nanti kita ini malu pada diri sendiri," ujar Mahfud.
Menurut Mahfud, putusan MA itu bertentangan dengan Undang-Undang (UU) dan kewenangannya. Sementara, MA yang seharusnya meluruskan ini malah bungkam.
"Apa yang mau dilakukan, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini berhukum kita sudah rusak, biar saja jalan kan nabrak sendiri, saya tidak tahu caranya," kata Mahfud Md.
Reporter: Nur Habibie
Sumber: Merdeka.com
Advertisement