Liputan6.com, Jakarta - Indonesia Property Watch (IPW) mengingatkan pemerintah agar dana besar yang dihimpun dalam Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) nantinya tidak diselewengkan dan menjadi sumber untuk dibagi-bagi oleh pihak-pihak tertentu. Pengesahan UU Tapera yang terkesan terburu-buru menjadi alasan kekhawatiran tersebut.
"Oleh karena itu, Indonesia Property Watch meminta kepada pemerintah untuk menyikapi secara kritis penyelenggaraan Tapera ini dari sisi pengawasan dan implementasi di lapangan. Jangan semua mengatasnamakan kepentingan rakyat, namun terselip niatan untuk menipu rakyat," tegas Direktur Eksekutif IPW, Ali Tranghanda kepada Liputan6.com, Rabu (24/2/2016).
Baca Juga
Berdasarkan diskusi yang dilakukan oleh IPW dengan sejumlah ahli pembiayaan perumahan dan micro finance ternyata terdapat beberapa hal yang tidak sinkron antara UU Tapera yang baru disahkan dengan visi Tapera.
Seperti diketahui, syarat utama kepesertaan Tapera adalah mereka yang menerima gaji di atas Upah Minimun Provinsi (UMP) dengan iuran sebesar 3 persen dari upah tiap bulan, dimana 2,5 persen dibayar pekerja dan 0,5 persen dibayar pengusaha.
Melihat hal ini, ungkap Ali, maka beban pengusaha menjadi bertambah, di sisi lain dipertanyakan kehadiran pemerintah dalam penyediaan rumah rakyat. Sedangkan penyediaan rumah selama ini berdasarkan prinsip dari masyarakat ke masyarakat dengan azas gotong royong.
“Azas ini terkesan baik namun sering terperangkap dengan menghilangkan peran dan tanggung jawab negara secara langsung dalam hal ini. Bisa dipertanyakan dimana kontribusi pemerintah dalam Tapera,” ujar Ali.
Hal lain yang dianggap melenceng adalah komentar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono yang menyebutkan modal Tapera pertama berasal dari Bapertarum PNS dan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan potensi dana keseluruhan sekitar Rp 33 triliun.
Menurut Ali, komentar itu tidak sinkron mengingat FLPP sangat erat kaitannya dengan UU Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang skim penyalurannya berbeda. Artinya dana FLPP tidak dapat secara langsung menjadi modal Tapera.
Biaya Tinggi
IPW juga mengkritik adanya ketentuan peran Manajer Investasi (MI) yang menjadi wajib dalam pengelolaan dana Tapera. Hal tersebut membuat biaya tinggi karena MI harus dibayar, dan melenceng dari visi Tapera sebagai lembaga nirlaba.
“Dana yang dikelola oleh MI ini sangat besar dan berpotensi menjadi dana bancakan tadi. Kami mendesak adanya pengawasan yang ketat, mengingat belum ada pasal yang menegaskan perihal pengawasan dana kelolaan,” ungkap Ali.
Bagaimana bila kemudian investasi yang dilakukan MI merugi? Siapa yang harus bertanggungjawab? Karena berdasarkan UU Pasar Modal, manajer investasi tidak bisa dituntut atas kerugian yang ada. Artinya uang rakyat dapat dipermainkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
“Dengan dana Tapera yang melimpah, DPR dan pemerintah harusnya lebih paham dan sadar bahwa pasar perumahan bukan hitung-hitungan investasi sederhana karena terkait dengan kapasitas pasar, daya beli, dan supply tanah,” tegas dia. (Muhammad Rinaldi/Gdn)