Taruhan Nyawa di Balik Manisnya Gula

Para penderes nira menantang maut memanjat kelapa, pilihannya selamat, cacat, atau tewas.

oleh Aris Andrianto diperbarui 07 Mei 2016, 08:02 WIB
Diterbitkan 07 Mei 2016, 08:02 WIB
Penderes Nira
Kisah para penderes nira bertaruh nyawa.

Liputan6.com, Purwokerto - Casmin, 55 tahun, warga Desa Kedungurang Gumelar, Banyumas, terlihat menahan sakit. Enam tulang rusuknya patah. Tulang belakangnya bergeser.

"Saya jatuh dari pohon kelapa dua minggu lalu," kata Casmin, saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/5/2016).

Ia kini menjalani pengobatan alternatif di rumahnya. Untuk biaya berobat ke rumah sakit, Casmin tak punya cukup banyak uang. Pun ia tak mempunyai asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan kerja untuk membantu meringankan penderitaannya.

Casmin hanyalah satu dari puluhan orang yang cacat sementara, permanen, hingga meninggal dunia akibat terjatuh dari pohon kelapa. Sebagai penderes nira, ia setiap hari harus memanjat pohon kelapa pada pagi dan siang.

Ada minimal 20 pohon kelapa dengan ketinggian 25-30 meter untuk dipanjat. Ia memanjat tanpa alat pengaman. Jika jatuh, pilihannya hanya ada dua, yakni cacat maupun meninggal dunia.

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Kasirun, 60 tahun, mengaku sudah 40 tahun menjadi penderes nira. Nira yang merupakan bahan baku untuk membuat gula kelapa minimal diperoleh Kasirun untuk membuat tiga kilogram gula merah.

"Saya tidak pernah absen manjat kelapa selama 40 tahun, kecuali sedang sakit," ujar Kasirun.
 
Meski usianya sudah renta, ia belum berniat untuk pensiun sebagai penderes nira. Beruntung, ia tidak pernah jatuh dari pohon. "Kalau mau naik, bismillah saja," kata dia.

Maksudi, 55 tahun, juga punya pengalaman pahit karena ayahnya meninggal akibat jatuh dari pohon kelapa. Ia setiap pukul 06.00 dan 16.00 pergi ke ladang untuk memanjat 26 pohon kelapa.

"Kadang sampai jam 11 malam. Meski gelap dan tanpa penerangan, saya bisa melihat dengan batin saya," kata dia.

Ia hanya takut memanjat pohon saat ada petir. Selain itu, meskipun hujan deras, ia kerap nekat memanjat pohon.

Ketua Umum Koperasi Nira Satria Banyumas, Nartam Andrea Nusa, mengakui tingginya risiko kematian para penderes nira.

"Mereka selama ini memang tidak dilindungi sistem jaminan sosial. Kalaupun ada, birokrasinya terlalu ribet," kata dia.

Nartam mengatakan Koperasi Nira Satria didirikan karena rentannya pekerjaan penderes nira. Selain tak bisa keluar dari jeratan tengkulak gula, penderes yang meninggal dunia juga cukup tinggi. Tahun ini saja, tercatat tiga orang jatuh dan dua meninggal dunia.

Dari catatan Dinas Sosial Banyumas, setiap tahun rata-rata 70 orang meninggal dunia akibat jatuh dari pohon kelapa. Di Banyumas sendiri ada sekitar 10 ribu penderes nira yang tersebar di 27 kecamatan.

Masih menurut Nartam, untuk mengurangi penderitaan penderes nira, mereka membentuk koperasi penderes. Saat ini anggotanya mencapai 1.074 orang penderes.

"Dari keuntungan yang dihasilkan koperasi kami menyisihkan untuk asuransi komunitas bagi yang cacat maupun meninggal dunia," kata dia.

Ia berharap pemerintah daerah dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mau turun ke masyarakat untuk mengajak penderes nira masuk dalam kepesertaan BPJS.

Selama ini ada sejumlah penderes yang memiliki Kartu Penderes dari Pemerintah Kabupaten Banyumas. Namun tidak semua mendapatkannya.

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Selain itu, kata dia, untuk mengurus kartu tersebut cukup ribet. Jika ada kecelakaan kerja, penderes harus mengurusnya ke RT, RW, Desa, Kecamatan dan Dinas Sosial. Lalu, penderes harus membuka rekening bank.

Kalau ada nama yang tidak sesuai dengan yang tertera di kartu, mereka harus mengurusnya dari awal. "Ini udah mau mati kok ya harus ribet ngurus birokrasi," kata dia.

Produksi Gula Favorit Eropa

Saat ini, Koperasi Nira Satria fokus untuk memproduksi gula kristal. Gula ini sedang naik daun di Eropa. Harganya pun lebih tinggi dibanding gula cetak.

"Apalagi produk gula kristal organik, saat ini cukup diminati oleh penduduk Eropa," kata Lewi Cuaca, eksportir produk organik PMA Indonesia.

Ia mengatakan gula kristal organik merupakan pemanis yang sangat sehat dibanding gula dari tebu. Selain itu, pembeli Eropa juga cukup menghargai gula kristal karena hampir seluruhnya merupakan buatan tangan.

Lewi berharap pemerintah bisa mengikutsertakan penderes nira ke BPJS Ketenagakerjaan. Selama ini, belum ada teknologi yang cocok untuk penderes dalam hal keamanan untuk naik pohon.

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Hal senada diungkapkan oleh Martin Steckdaub, penikmat gula kristal dari Stutgart, Jerman, yang berkunjung ke Desa Rancamaya Cilongok Banyumas. Cilongok merupakan salah satu produsen terbesar gula kristal di Banyumas.

"Saya akan coba komunikasikan dengan ahli teknologi di Jerman untuk membuat pengaman bagi penderes," kata dia.

Ia mengatakan, gula kristal mulai ngehits di Jerman sejak dua tahun terakhir. Mereka mau membeli dengan harga tinggi karena kadar gulanya rendah dan ramah untuk penderita diabetes.

Asuransi Para Penderes

Kepala Seksi Industri dan Kelautan pada Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Banyumas, Srigito mengatakan, kartu asuransi penderes sebenarnya sudah diluncurkan tahun 2012.

"Yang memiliki kartu penderes, jika ada yang kecelakaan akan mendapatkan santunan," kata Srigito.
 
Untuk penderes yang jatuh dari pohon kelapa dan meninggal dunia akan mendapat santunan sebesar Rp 5 juta. Sedangkan jika cacat fisik mendapat Rp 7 juta dan jika luka parah mendapat Rp 10 juta.

Ia menambahkan, jika ada penderes yang belum masuk dalam kepesertaan kartu penderes, maka penderes tersebut harus menunjukkan bahwa dia benar-benar seorang penderes baru akan diberikan santunan.

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan, upaya untuk mengurangi jumlah korban jatuh dari pohon bagi penderes nira terus dilakukan.

"Kesejahteraan penderes nira memang merupakan salah satu prioritas kerja saya karena gula kristal merupakan produk andalan Banyumas," kata dia.

Ia mengatakan pernah memberikan bibit kelapa genjah yang pohonnya tidak terlalu tinggi. Namun program ini dihentikan karena ada dugaan korupsi yang melibatkan kepala dinas.

Bagi Achmad, yang memiliki kegemaran dalam riset teknologi terapan ini, penderes rentan kecelakaan kerja karena melakukan aktivitas lapangan yang cukup membahayakan.

"Problemnya dari petani, adalah korbannya selalu ada cukup banyak sampai meninggal dunia, banyak yang mengalami cacat karena naik pohon kelapa yang cukup tinggi lalu jatuh. Jadi, korbannya banyak dan butuh santunan," kata dia.

Langkah untuk mengurangi risiko kecelakaan itu terus diupayakan, salah satunya dengan membuat pendek fisik pohon. Caranya dengan mencari bibit yang tidak terlalu tinggi memanjat pohon saat menderes nira, supaya kaum pemuda pun berkeinginan untuk menderes.

"Untuk jangka panjang sangat bagus sekali di sini. Ada teknologi, kultur jaringan, kerja sama balai besar Makasar, kita mengambil bibit, pasti nilainya banyak."

Selain itu, pihaknya telah meluncurkan program kelapa genjah enthok, yaitu kelapa yang lebih pendek dan memiliki kualitas yang sangat baik, sehingga nantinya para penderes tidak perlu lagi naik. Hanya cukup berdiri saja sudah bisa melakukan penderesan.

Sementara itu, untuk memberikan jaminan keselamatan penderes diberikan kartu penderes. Apabila para penderes mengalami kecelakaan dalam aktivitasnya akan mendapatkan santunan, yaitu cacat berat Rp 15 juta, cacat ringan Rp 10 juta dan meninggal Rp 5 juta.

Perlawanan Tengkulak Gula

Hari masih temaram. Majingun, 60 tahun, sudah bersiap pergi ke ladangnya. Di belakang pinggulnya tergantung 20 bokor, wadah nira kelapa yang terbuat dari batang bambu.

Seperti biasa, pagi itu ia akan mengambil nira kelapa. Dengan cekatan, Majingun menaiki pohon kelapa yang tingginya sekitar 10-15 meter. Dia atas pohon, ia mengambil bokor yang sudah terisi nira, dengan bokor yang masih kosong.

"Setiap hari saya naik 30 pohon kelapa," ujar Majingun, penderes nira sekaligus pembuat gula kelapa dari Desa Sudimara, Kecamatan Cilongok Banyumas.

Ia berkisah Cilongok memang sudah terkenal sebagai penghasil gula kelapa sejak negeri ini belum merdeka. Sebuah pekerjaan turun-temurun.

Majingun tak sendirian. Ia adalah satu dari sekitar 10 ribu penderes gula kelapa di tempat itu. Total penduduk Cilongok sendiri jumlahnya sekitar 117 ribu jiwa.

Kehidupan sebagai penderes dari sisi materi sangat tidak menjanjikan. Setiap harinya, mereka rata-rata hanya bisa menghasilkan 2 kilogram gula kelapa atau orang-orang setempat menamainya gula jawa.

Kebanyakan dari mereka tidak mempunyai pohon kelapa sendiri. Sadikin, 50 tahun, misalnya. Ia harus berbagi hasil dengan pemilik pohon kelapa setiap lima hari sekali.

"Istilahnya maro, dibagi tiap satu pasaran atau lima hari," ucap warga Desa Pageraji Cilongok.

Ia berkisah, untuk membuat gula kelapa dari mulai penyadapan hingga menjadi sebentuk gula, dibutuhkan sebuah proses panjang. Awalnya bunga pohon kelapa atau yang disebut manggar harus dipotong ujungnya.

Sampai dengan keluar nira, dibutuhkan waktu 1-3 bulan. Tergantung musimnya.

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Musim juga mempengaruhi banyak-sedikit keluarnya nira. Jika sedang musim hujan, nira yang keluar akan banyak. Sebaliknya, saat musim kemarau, nira yang keluar amatlah sedikit. "Otomatis akan mempengaruhi jumlah produksi gula," kata Suryanto, 46 tahun, bercerita tentang tabiat pohon kelapanya.
 
Produksi gula di tempat tersebut masih dikerjakan dengan cara tradisional. Nira hasil penyadapan pohon kelapa harus dimasak selama lima jam.

Biasanya mereka mulai memasak nira menjadi gula kelapa, pada pukul 11.00 siang hingga pukul 16.00 sore. Alat untuk memasak namanya jadi, semacam wajan besar dari tembaga. Diameternya mencapai satu meter.

Di atas bara api yang tidak diatur suhunya, nira tersebut dimasak. Sesekali bahan tersebut harus diaduk agar bahannya tidak menggumpal. "Sesekali saja, kalau terus-menerus, lengannya pegal," ujar Rodiah, 63 tahun, pembuat gula di Desa Pageraji.

Setelah matang, bahan tersebut dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah disiapkan. Cetakannya terbuat dari batang bambu yang dipotong dengan ukuran dua sentimeter, diameter 10 sentimeter. Bentuk jadinya silinder pipih.

Bentuk silinder yang melebar itulah yang menjadi pembeda dengan gula dari daerah lain. Gula yang berasal dari Kebumen biasanya berbentuk cakram, sementara gula Banyuwangi bentuknya seperti tabung.

Rodiah mengatakan gula jawa Cilongok mempunyai warna yang khas. "Warnanya merah agak kekuningan," kata dia.

Warna tersebut dihasilkan dari proses pembuatan yang sama sekali tidak menggunakan bahan campuran apa pun. Seratus persen nira kelapa yang dimasak.

Saat ini gula di pasaran harganya bisa mencapai Rp 8.000  per kilogram. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya, 1 kilogram gula jawa bisa mencapai harga Rp 11.00 per kilonya.

"Sekarang sama beras mahal berasnya, padahal sehari paling kami cuma produksi 2 kilogram," ucap Rodiah.

Para penderes nira bertaruh nyawa memanjat kelapa (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Hancurnya harga gula beberapa tahun terakhir dipengaruhi oleh maraknya produksi gula masak. Gula jenis ini merupakan hasil olahan dari gula yang sudah rusak dicampur dengan gula pasir.
 
Khodim, pembuat gula masak, mengaku bisa meraup keuntungan lebih saat memproduksi gula jenis ini. Di pasaran, gula masak harganya selisih Rp 500 dari gula asli. "Saya menjualnya ke pasar Jakarta, di sini tidak laku," katanya blakblakan.

Selain harganya murah, gula masak juga mempunyai kelemahan lain. Gula jenis ini akan kedaluwarsa setelah satu bulan, berbeda dengan gula asli yang bisa awet sampai tiga bulan. Pun belum ada lembaga yang meneliti kualitas kesehatan dari gula masak.

Gula masak sebenarnya bukan hanya musuh bagi pembuat gula asli. Pabrik kecap yang menjadikan gula asli sebagai bahan dasarnya juga menolak keras produk gula masak.

"Saya pernah disuruh pulang gara-gara ada satu gula masak yang tercampur dalam gula saya, akhirnya saya rugi 25 ton," kata Suryanto, pengepul dan penyalur gula dari Cilongok.
 
Suryanto adalah salah satu contoh pemain besar. Setiap hari ia melayani tender pemesanan gula dari tiga pabrik kecap terbesar di Indonesia. Rata-rata setiap hari ia mengirim 25-50 ton gula ke pabrik kecap tersebut.
 
Setidaknya ada lima pemain besar dalam tata niaga gula jawa di daerah tersebut. Mereka rata-rata mempunyai delapan kontainer untuk mendistribusikan gula Cilongok.

Selain pemain besar, ada juga beberapa pemain menengah yang mengambil sisa ceruk dari pemain besar. Mereka adalah pengepul yang khusus melayani toko dan beberapa usaha lainnya.

Dul Kodir, 68 tahun, adalah salah satu pengepul gula yang melayani permintaan toko dan supermarket. Ia mengaku lebih banyak melempar barangnya ke Jakarta.
 
Ia tak mengelak pernah menggunakan gula masak untuk dijual di pasaran. Bahkan sesekali ia juga mendatangkan gula dari daerah lain semacam Kebumen, Cilacap, Lampung, dan Banyuwangi untuk memenuhi pesanan pelanggannya.

"Labelnya gula Cilongok, padahal banyak juga gula dari daerah lain yang masuk sini," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya