Barus, Kota Tua yang Terlupa

Pernah ada spanduk di Barus, 'Dirgahayu ke-50 negaraku dan dirgahayu ke-5000 desaku'.

oleh Liputan6 diperbarui 08 Jun 2016, 19:15 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2016, 19:15 WIB
Barus
Pernah ada spanduk di Barus, 'Dirgahayu ke-50 negaraku dan dirgahayu ke-5000 desaku'.

Liputan6.com, Jakarta - Daerah Barus setingkat kecamatan yang berlokasi di daerah perbatasan Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Jauh dari pusat keramaian kota, seolah tidak ada yang istimewa dari daerah ini.

Padahal dalam sejarah perdagangan internasional, Barus termasuk salah satu kota perdagangan kuno dunia. Kota yang dikenal di Asia, setidaknya sejak abad ke-6 M. Bahkan namanya sudah menjangkau Eropa.

Nama Barus dalam catatan sejarah kerap disebut dengan beberapa nama asing. Sebut saja, nama 'Pancur', yang dalam bahasa Arab dikenal dengan nama 'Fansur'. Dalam karya geografis Ptolemaus tercatat lima pulau yang dinamakan 'Barousai', nama yang dikaitkan dengan Barus oleh beberapa sejarawan.

Barus sebagai nama penyebutan tercatat disebut dalam kitab Nagarakretagama karya Mpu Tantular. Dalam kitab Nagarakertagama, secara jelas menyebut nama Barus. Dimana, daerah Barus ini berhasil dikuasai Kerajaan Majapahit sehingga menjadi wilayah kekuasaan kerajaan bercorak Hindu terbesar itu.

Daerah ini juga tercatat dalam sejarah Dinasti Lang, raja-raja Cina Selatan yang memerintah pada abad ke-6 M. Tercatat dalam sumber-sumber Tiongkok pada masa Dinasti Tang. Setelah abad ke-6 M, nama Barus lalu-lalang disebut dalam berbagai catatan sejarah, terutama terkait dengan perdagangan di Nusantara.

Dalam buku Lobu Tua, Sejarah Awal Barus, disebutkan bahwa di Desa Lobu Tua, daerah di sekitar Barus, pada tahun 1995, terpasang spanduk bertulis,"Dirgahayu ke-50 negaraku dan dirgahayu ke-5000 desaku". Spanduk tersebut menggambarkan seberapa tua usia daerah di wilayah Barus ini.


Ingat Barus, Ingat Kamper

Nama 'Barus' mengingatkan kita pada kamper. Sama halnya dengan sebutan kapur barus. Kamper maupun kapur barus adalah dua hal yang sama. Kamper berupa zat padat seperti lilin warna putih agar transparan dan beraroma khas.

Kamper biasa digunakan sebagai wewangian, cairan pembalseman, obat-obatan, obat anti serangga, dan lain-lain. Di India, kamper malah digunakan untuk bumbu makanan. Kamper ini terbuat dari pohon kapur barus sehingga kadang menyebutkan kamper juga kapur barus.

Nama Kapur Barus inilah yang kemudian mengacu pada suatu daerah bernama Barus ini. Memang sejak dulu, Barus terkenal sebagai pusat perdagangan internasional, dengan salah satu kekayaan alam yang paling diminati adalah kamper. Sejak abad ke-6, kamper sudah dikenal di negeri Tiongkok sampai Timur Tengah.

Banyak ahli linguistik pada umumnya setuju istilah yang digunakan untuk nama kamper dalam banyak bahasa berasal dari rumpun bahasa Austronesia. Dengan begitu, besar kemungkinan asal-usul kamper berasal dari kepulauan Nusantara yang tak lain adalah wilayah Indonesia sekarang.

Wilayah Nusantara yang dikenal sebagai produsen kamper tak lain adalah Barus. Namun, selain Barus, kamper juga ditemukan di bagian utara Sumatera, Kalimantan, dan di selatan Semenanjung Malaysia.

Satu hal yang tak terbantahkan, berdasarkan catatan sejarah yang ada, Barus memang dikenal sebagai kota pelabuhan perdagangan internasional, pengekspor kamper yang dibawa dari wilayah pedalaman Barus.

Beberapa petualang kenamaan masa lalu memuji kualitas kamper dari Barus. Salah satunya Marco Polo. Ia menyatakan Fansur -merujuk pada Barus- disebut sebagai produsen kamper dengan kualitas terbaik di dunia.

Lobu Tua, Sisa Barus Masa Lalu

Salah satu daerah di kawasan Barus yang dikenal berusia tua adalah Desa Lobu Tua. Jaraknya kira-kira 25 km dari Barus. Di antara Barus dan Lobu Tua ini terdapat semenanjung yang bernama Semenanjung Kepala Ujung.

Pada 1995, masyarakat di sana membentangkan spanduk yang bertuliskan usia desanya sudah mencapai 5.000 tahun. Kepala Desa Lobu Tua saat itu menjelaskan, ulang tahun desa ini didasarkan pada perkiraan sejarawan dari daerah ini. Dimana kolonialisasi Belanda, Lobu Tua ini sering disebut Kota Tua.

Dari klaim usia ribuan tahun dan nama 'tua' yang tersemat, Desa Lobu Tua bisa dikatakan relevan dengan kepopuleran Barus di masa lalu. Apalagi di sini juga ditemukan banyak jejak arkeologis.

Banyak sejarawan dan arkeolog yang meneliti tempat ini. Sebab, banyak ditemukan benda-benda kuno dari berbagai kawasan. Tidak hanya berasal dari Nusantara, tetapi juga Timur Tengah, Tiongkok, India, dan negara-negara lain yang sudah dikenal aktif dalam perdagangan internasional di masa lalu.

Selain banyak ditemukan barang-barang kuno, di Lobu Tua juga ditemukan beberapa prasasti. Prasasti yang ditemukan di antaranya Prasasti Tamil. Dari prasasti ini diketahui bahwa daerah Barus sudah melakukan perkongsian dagang dengan India Selatan, setidaknya sejak tahun 1088 M.

Wajah Barus Kini

Barus saat ini merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Letaknya di pesisir pantai Barat Sumatera. Tak jauh dari Pulau Nias. Sejak Indonesia merdeka Barus status awalnya Kawedanaan yang meliputi Kecamatan Barus sendiri dan Kecamatan Sorkam.

Sejak tahun 1992, setelah wilayah administratif kawedanaan ditiadakan, Kecamatan Barus beberapa kali dimekarkan. Salah satu wilayah hasil pemekaran dari Barus adalah Kecamatan Andam Dewi. Di kecamatan inilah lokasi Desa Lobu Tua, yang diyakini sebagai daerah penting Barus di masa lalu.

Sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Barus memiliki wilayah yang sangat luas. Mulai dari Barus, Manduamas, Sirandorung, Andam Dewi, Sosorgadung, Sorkam, Kolang, Pakkat, Tara Bintang, sampai Onan Ganjang.

Secara geografis, letak Barus sebelum banyak dimekarkan, berbatasan langsung dengan Provinsi Aceh dan Kabupaten Tapanuli Utara. Tak heran sebelum kemerdekaan Indonesia, wilayah Barus meliputi juga beberapa daerah di Provinsi Aceh, di sebagian Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. (Andy Krisnandy, kontributor Liputan6.com)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya