UMKM di Malang Enggan Urus Izin Usaha, Ini Sebabnya

Ibarat lingkaran setan, keengganan UMKM mengurus izin usaha mempersulit para pemilik naik kelas.

oleh Zainul Arifin diperbarui 30 Jun 2016, 22:22 WIB
Diterbitkan 30 Jun 2016, 22:22 WIB
UMKM, Malang
UMKM Malang enggan urus izin usaha

Liputan6.com, Malang – Solder yang tergeletak itu disulutnya dengan api. Sejurus kemudian, alat bantu merakit dan membongkar rangkaian elektronika itu digunakannya mengukir sandal. Alas kaki berbahan spon itu leleh menghitam saat tersentuh ujung solder. Hanya butuh beberapa menit, motif bunga mawar pun terpampang jelas.

Sandal ukir bakar ini adalah usaha rumahan milik Sigit, warga Jalan Danau Laut Tawar II G3 F4, Sawojajar, Kota Malang, Jawa Timur. Ia merintis usaha ini sejak 2010. Dibantu seorang rekannya, ia mampu menghasilkan sekitar  30 pasang sandal ukir bakar setiap hari.

"Awalnya ya butuh ketelatenan, tapi kalau sudah terbiasa ya gampang. Tapi pengerjaannya tetap tak bisa cepat–cepat," kata Sigit di Malang, Rabu, 29 Juni 2016.

Para pedagang menjual kembali sandal buatan Sigit di wilayah Malang Raya. Ada juga pesanan dari Banyuwangi dan beberapa daerah lainnya. Sepasang sandal dipatok dengan harga Rp 25 ribu – Rp 30 ribu. Setiap bulan, perputaran uang dari usaha ini mencapai Rp 18 juta.

Keterbatasan tenaga dan modal menjadi alasan Sigit tak memproduksi banyak sandal ukir ini. Bagi dia, asal modal terus berputar itu sudah hal yang baik meski keuntungan bersih yang didapat tak terlalu besar. Padahal, keinginan mengembangkan usaha sebenarnya ada di benak Sigit, baik itu secara modal maupun memperluas jaringan pemasaran produknya.

"Saya kesulitan di pemasaran, hanya mengandalkan beberapa kenalan saja. Keinginan membesarkan usaha pastinya ada," ujar pria kelahiran Banyuwangi ini.

Baca Juga

Sigit sebenarnya tahu cara untuk menambah modal, yakni dengan mengajukan kredit usaha rakyat (KUR). Apalagi, syarat yang ditetapkan untuk mendapat bantuan permodalan itu cukup mudah. Ia hanya perlu mengajukan izin usaha mikro kecil (IUMK) ke kecamatan lantaran modal usahanya di bawah Rp 50 juta.

"Asal sudah mengurus izin usaha ke kelurahan dan diteruskan ke kecamatan, bank mau beri kredit. Saya sudah pernah punya pengalaman dapat bantuan modal," tutur Sigit.

Sebelum menjadi perajin sandal ukir bakar, Sigit pernah mencoba peruntungan usaha kue kering. Saat itu, ia mendapat KUR sebesar Rp 5 juta dari sebuah bank milik pemerintah tanpa perlu jaminan. Jika usahanya lancar, tambahan modal berlipat siap dikucurkan. Sayangnya, usaha itu gagal dan meninggalkan tanggungan di bank.

"Sebenarnya pihak bank menawari bantuan modal lagi dengan syarat tunggakan dilunasi. Tapi tawaran itu saya tolak, karena usaha ini tak menentu. Kadang ramai dan sering juga sepi," papar Sigit.

Jika telah mengantongi izin usaha dari pemerintah, urusan pajak pun jadi sebuah keharusan. Bagi Sigit, situasi usaha yang sering tak menentu membuat pilihan tak mengurus izin itu lebih masuk akal. Meski, ia mengaku telah memiliki Nilai Pokok Wajib Pajak (NPWP) pribadi.

"Sebenarnya enak kalau sudah punya izin, usaha kita bisa disebut lebih resmi. Tapi sekarang dijalani apa adanya," kata Sigit.

Khawatir Pajak

Keengganan mengurus IUMK ini juga disampaikan oleh Joko Pribadi, pemilik Waris Shoes alias bengkel sepatu di Jalan Nakula 18 Polehan Kota Malang. Menghindari kewajiban membayar pajak tahunan di tengah omzet yang kerap tak menentu menjadi alasannya.

"Kalau punya IUMK, kami harus bayar pajak. Padahal keuntungan usaha ini tidak begitu besar. Bahkan kalau sepi, asal modal balik itu sudah bagus. Nanti saja kalau sudah siap semua, pasti kami urus izin," ujar Joko.

Sepatu dan sandal produk Waris Shoes sebenarnya cukup berkualitas. Berbahan kulit imitasi, setiap bulan ada 700 pasang sandal dan sepatu yang dihasilkan. Harga jualnya bervariasi, mulai Rp 150 ribu sampai Rp 700 ribu. Rata–rata nilai transaksi tiap bulannya sekitar Rp 30 juta. Sistem penjualannya memanfaatkan pihak kedua dan menembus pasar internasional di Singapura hingga ke Amerika Serikat.

"Kami ini sistem penjualannya reseler. Produk yang keluar dari bengkel ini juga diberi merek sesuai pesanan, istilahnya jual jasa merek. Di Singapura diberi merek D’lilac oleh pemesannya," ucap Joko.

Selain kekhawatiran pajak, manajemen yang masih amburadul menjadi dalih Joko belum siap mengurus IUMK. Padahal, ia ingin memiliki brand sendiri atas barang produksinya itu agar nilai jual produknya bisa lebih tinggi lagi dan berdaya saing.

"Sekarang kami harus belajar cara pemasaran, manajemen keuangan dan lainnya. Kalau sudah siap, kita urus izin sekaligus patenkan merek sendiri," urai Joko.

Selama ini, Joko mengaku tak pernah mendapat bantuan dalam bentuk apapun, baik itu alat produksi maupun permodalan. Ia menduga hal itu disebabkan usahanya belum mengurus IUMK. Asal ada transaksi tiap bulan agar modal tetap berputar, itu sudah menguntungkan bagi Waris Shoes.

"Modal kami kecil, asal terus berputar tidak ada masalah. Jangan belum ada–apa sudah kena pajak, putar modal dulu," kata Joko.

Harap-harap Cemas

Harapan berbeda diungkapkan Iskamto, seorang perajin perlengkapan olahraga tinju dan muay-thai di Kelurahan Kauman Kota Malang. Ia tak sabar menunggu IUMK yang dijanjikan kantor kelurahan segera terbit.

"Ditawari orang kelurahan sejak dua bulan lalu, saya mau saja. Tapi entah apa penyebabnya kok sampai sekarang belum jadi," ujar pria yang pernah menjadi atlet tinju di awal tahun 1980-an ini.

Produknya dikenal dari satu sasana ke sasana lainnya. Tak jarang ia mengirim berbagai peralatan itu hingga ke Kalimantan Timur dan Sumbawa. Harga produknya beragam, mulai dari Rp 6 juta sampai puluhan juta untuk satu paket alat olahraga sesuai pesanan.

"Rata – rata omzetnya tiap bulan tak menentu. Kalau ramai saya bisa sampai tak bisa tidur. Kalau sepi dan harga bahan baku naik bisa rugi, asal ada duit untuk bayar pekerja," ujar Iskamto.

Kendati demikian, ia ingin mengembangkan usahanya dari berbagai aspek, baik secara modal maupun pemasaran produknya. Jika IUMK itu telah terbit, sedikitnya Rp 50 juta untuk bantuan permodalan bisa diakses. Selain itu, calon pembeli pun bisa semakin yakin karena usahanya mengantongi izin resmi.

Apalagi secara kualitas, Iskamto berani menggaransi alat olahraga produksinya tak kalah dengan produk luar negeri. Meski tetap muncul kekhawatiran kewajiban pajak yang harus dibayar sebagai konsekuensi adanya izin itu.

"Kalau masalah pajak yang berbelit itu pasti ada kalau sudah punya IUMK. Tapi, penting juga usaha saya tak dianggap liar oleh calon pembeli. Nanti saya berani memasarkan barang secara online," ungkap Iskamto.


Keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Malang bertebaran di tiap sudut kampung. Berdasarkan data Dinas Koperasi dan UKM Kota Malang yang mengutip hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2015, ada 76.290 UMKM. Dari jumlah itu, baru 6.000 UMKM yang sudah dibina melalui pelatihan di klinik UMKM Kota Malang. Namun yang sudah mendaftarkan IUMK belum menyentuh angka itu.

Bantuan Perizinan

Pemerintah Kota Malang sebenarnya berupaya memajukan sektor industri yang paling tahan banting ini. Caranya, dengan memberi kemudahan dalam izin usaha. Seluruh pengajuan jenis usaha yang sebelumnya harus ke Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kota Malang.

Khusus untuk usaha mikro kecil dengan modal di bawah Rp 50 juta, mulai Februari 2016 ini cukup ke kecamatan dan tak dipungut retribusi.

Pemerintah Kota Malang juga sudah menerbitkan Peraturan Wali Kota Nomor 12 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelayanan Perizinan di Kecamatan. Salah satu poinnya adalah izin usaha mikro di kecamatan. Perwali ini bersandar pada Perpres Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Wakil Wali Kota Malang, Sutiaji mengakui belum mengevaluasi secara menyeluruh penerapan izin usaha mikro di kecamatan itu untuk mengetahui apa kekurangan yang harus dibenahi.

"Sudah perwali soal IUMK cukup sehari di kecamatan, tapi implementasi di lapangan belum dievaluasi. Kami harus tahu apa kendala banyak UMKM yang belum mengajukan izin," ucap Sutiaji.

Pelaku usaha mikro dengan modal di bawah Rp 50 juta yang mengajukan IUMK di kecamatan tetap diwajibkan memenuhi sejumlah persyaratan. Meliputi penyertaan tanda penduduk, izin pengurusan usaha, penyertaan rincian modal, dan surat pengetahuan dari RT/RW.

"Sosialisasi ke kecamatan tentang kemudahan itu kami gencarkan. Agar mereka dapat memenuhi kebutuhan para pemohon izin usaha mikro," kata Kepala BPPT Kota Malang, Indri Ardoyo.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Malang, Anita Sukmawati mengatakan, IUMK bermanfaat besar bagi para pelaku usahanya. Sebab, mereka yang memiliki IUMK mendapat keuntungan seperti kepastian lokasi usaha, kemudahan akses pembiayaan dari lembaga keuangan, pendampingan dari Dinas Koperasi dan UKM sampai pemberdayaan berupa pelatihan.

"Kalau sudah punya izin, berbagai kemudahan bisa didapatkan. Kami pun akan memfasilitasi mereka untuk mendapat kemudahan lainnya," ujar Anita.

Ia menambahkan, bagi pelaku UKM yang telah mengantongi IUMK juga dibantu sertifikasi. Pada awal 2016 ini, sudah ada 400 UMKM yang telah difasilitasi sertifikasi gratis. Saat Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) APBD 2016 nanti, akan dialokasikan lagi sertifikasi gratis bagi 480 pelaku UMKM.

Sebelum disertifikasi, pelaku usaha itu lebih dahulu dilatih di klinik UMKM Kota Malang. Mereka diajari manajemen,pemasaran produk hingga peningkatan kualitas produk. Satu keuntungan lagi jika sudah memiliki IUMK dan tersertifikasi, pelaku UMKM itu bisa mengekspor sendiri barang produksinya. Sebab, itu merupakan salah satu syarat yang diminta oleh buyer di pasar internasional.

"Di kota ini banyak sentra usaha mikro dan berperan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kami harus berupaya keras agar pelaku usaha itu mau mengurus izin dan meningkatkan kualitas produknya," kata Anita.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya