Liputan6.com, Batang - Menjelang pukul delapan pagi awal Agustus 2016 lalu, suasana dukuh Bintoro Mulyo, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jawa tengah sudah ramai. Kabut masih belum hilang dari atas dukuh terpencil tersebut.
Namun suara eskavator sudah membangunkan semua penduduknya. Mereka bergerombol menonton alat berat tersebut bekerja membuat jalan membelah hutan.
Bintoro Mulyo adalah sebuah dukuh relokasi. Kampung terdahulu bernama Segandul. Namun kampung ini tidak layak ditinggali karena rawan bencana. Bupati Batang tahun 2004, Bambang Bintoro, kemudian merelokasi warga setempat di lahan baru.
Lahan ini sebenarnya juga tidak bisa dikatakan aman. Lantaran terletak di antara gugusan Pegunungan Dieng, dukuh Bintoro Mulyo masih berpotensi terkena bencana seperti longsor dan gas beracun.
Saat ada gempa dan longsor pada 2014 lalu penduduk dukuh berlarian menuju hutan. Hutan ini menghubungkan dukuh dengan kecamatan setempat yang jaraknya tujuh kilometer. Saat itulah justru terjadi banyak kecelakaan, seperti patah tulang dan ibu hamil yang melahirkan di jalan.
Advertisement
Baca Juga
Suleman (34) seorang tokoh masyarakat menceritakan, bahwa tinggal di dusun relokasi ini belum bisa dikatakan tenteram.
"Yang pertama tentu saja ancaman bencana gas beracun dan longsor. Yang kedua, tanah yang kami tinggali belum jelas kepemilikannya," jelas dia.
Satu-satunya masalah yang sudah beres adalah jumlah penukaran tanahnya. Jika di dukuh lama mempunyai satu hektare, maka di dukuh baru diberi tanah satu hektare juga.
Permasalahan ini kemudian diungkapkan oleh kepala dukuh, Samsudin (56). "Penyebabnya ya karena relokasi belum seratus persen," tutur Samsudin.
Sementara pemerintah baru bisa mengurus sertifikat tanah jika seluruh penduduk dukuh lama, yaitu Segandul, sudah pindah ke Bintoro Mulyo. Sementara para penduduk dukuh Segandul yang tidak mau pindah beralasan bahwa mereka masih nyaman tinggal di tempat yang lama.
Tak ingin lama-lama berpangku tangan, masyarakat Bintoro Mulyo kemudian mulai memikirkan akses jalan untuk evakuasi bencana. Satu-satunya jalan yang bisa dilewati kendaraan hanyalah menuju ke Dieng yang berbeda kabupaten. Padahal, di situlah potensi bencana muncul. Jika menuju kota kecamatan harus lewat hutan.
"Kami patungan seadanya antara dukuh sekitar dan dukuh kami yang jumlahnya 80 kepala keluarga, sampai akhirnya terkumpul 80 juta. Sewa eskavator ini 450 ribu per jam. Jalan yang kami buka adalah jalan produksi milik Perhutani," papar Samsudin.
Ia berharap masyarakat bisa lebih tenang setelah punya akses jalan. Kepala dukuh ini juga berharap pemerintah segera memikirkan legalitas tanah yang mereka tempati. (Paulus Nugrahajati, kontributor Liputan6.com)