Liputan6.com, Makassar - Masyarakat Pulau Gusung Tangngayya, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar, yang mayoritas merupakan nelayan resah dengan adanya pengerukan pasir putih diduga ilegal di daerahnya. Pengerukan pasir putih itu berjalan selama dua bulan terakhir.
"Makanya kami mendatangi kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar untuk meminta perlindungan dan pendampingan untuk menghentikan aktifitas pengerukan pasir putih di area tempat tinggal kami di pulau," kata Amir, salah seorang tokoh masyarakat Pulau Gusung Tangngayya saat ditemui di Kantor LBH Makassar Jalan Pelita Raya Makassar, Kamis, 9 Februari 2017.
Menurut Amir, sebelum adanya pengerukan, gubuk nelayan berjarak 10 meter dari bibir pantai. Namun setelah ada pengerukan, gubuk nelayan hanya berjarak 1,5 meter dari bibir pantai.
"Pantai yang ditempati gubuk kami berubah jadi lautan sehingga kami terpaksa memindahkan gubuk ke lokasi tepat di samping tanggul pemecah ombak," kata Amir menceritakan kondisi masyarakat pulau Gusung saat ini.
Tak hanya itu, kata Amir, jika terjadi air pasang besar, air laut mengenangi gubuk warga pulau setinggi mata kaki orang dewasa. Kekhawatiran semakin dirasakan warga, lanjut Amir, ketika memasuki musim barat atau sekitar pertengahan Februari.
Baca Juga
"Gubuk kami tentunya tidak akan sanggup membendung terpaan ombak besar beserta angin barat. Tak hanya itu, kami juga khawatir dengan perahu kami di mana wilayah tambatan perahu perlahan hilang akibat pengerukan," ujar Amir.
Senada dengan Amir, Agus yang juga salah seorang nelayan di Pulau Gusung Tangngayya merasakan kekhawatiran yang sama. Ia bersama para nelayan pulau Gusung Tangngayya lainnya datang mengadu ke LBH Makassar untuk meminta perlindungan dan pendampingan.
Menurut dia, Pulau Gusung Tangngayya seluas empat hektare itu saat ini dihuni oleh 30 orang nelayan berasal dari Galesong, Kabupaten Takalar, dan Pulau Lae-Lae, Makassar. Para warga merasa sangat terancam selama pengerukan pasir putih berlangsung.
"Kami tinggal sejak tahun 1974 dan membangun gubuk kecil di Pantai Gusung sebelah timur. Jumlah gubuk di sana sekitar 15 gubuk di mana tiap gubuk dihuni 2-3 orang nelayan," ujar Agus.
Staf Pembela Umum LBH Makassar yang juga kuasa hukum WALHI Sulsel, Edy Kurniawan mengatakan pengerukan pasir putih diduga ilegal di Pulau Gusung Tangngaya dilakukan oleh pengembang reklamasi Central Point Indonesia (CPI) yakni PT. Ciputra dan PT Yasmin Bumu Asri.
Pengerukan pasir itu, kata Edy, menggunakan ekskavator dibantu tiga mobil truk yang kemudian diangkut dari pantai Pulau Gusung Tangngayya ke atas kapal tongkang LCT Meranti 703 Balikpapan.
"Setelah kami cek ke lapangan, jadi selama ini memang pengembang dan Pemprov Sulsel telah melakukan pembohongan publik yang sebelumnya mengatakan sumber material pasir putih untuk urugan reklamai CPI berasal dari daerah, padahal mereka diam-diam mengeruk di Pulau Gusung Tangngayya," kata Edy.
Izin Kapal Pengeruk Pasir untuk Angkut Limbah
Awalnya, kata Edy, kapal mengangkut pasir putih dua kali dalam sehari, yakni di waktu pagi dan sore hari. Warga sempat menegur dan memeriksa semua surat-surat kapal yang ternyata kapal tersebut hanya memiliki izin mengangkut limbah.
"Sehingga warga pulau meminta aktifitas dihentikan. Namun esoknya, kapal kembali beraktifitas diam-diam yakni pada malam hari pukul 22.00 Wita, "terang Edy.
Aktifitas pengerukan pasir putih di pulau, kata Edy, dilakukan tengah malam dan diangkut ke kapal tepat subuh hari. Selanjutnya, pasir tersebut dibongkar ke lahan reklamasi CPI.
Sebelum adanya aktifitas penambangan pasir putih, pihak PT Pelindo merehabilitasi tanggul pemecah ombak di Pulau Gusung Tangngayya. Pihak Pelindo mengeruk pasir di bibir tanggul untuk pemasangan pondasi tanggul yang akan diperluas.
Selanjutnya pasir yang dikeruk dibiarkan bertumpuk di pantai dan tidak dikembalikan pada keadaan semula.
"Pasir yang bertumpuk kemudian diangkut oleh kapal LCT Meranti 703 Balikpapan untuk digunakan sebagai material urugan lokasi reklamasi CPI. Namun setelah semua tumpukan pasir habis terangkat, maka pihak pengembang reklamasi CPI melakukan pengerukan pasir putih di bibir pantai Gusung Tangngayya," ucap Edy.
Edy bersama lembaga lainnya di antaranya WALHI Sulsel, Blue Forest, ACC Sulawesi, LAPAR Sulsel, FIK Ornop, dan Yayasan Konservasi Laut yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar mendesak pihak pengembang reklamasi CPI untuk menghentikan penambangan pasir putih di Pulau Gusung Tangngayya.
Pihaknya juga mendesak Kapolda Sulsel agar segera mengambil tindakan tegas kepada pihak pengembang reklamasi CPI yang telah melanggar ketentuan AMDAL CPI. Tak hanya itu, kata Edy, Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar juga mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk segera menyegel seluruh aktifitas reklamasi CPI karena telah melanggar ketentuan dalam AMDAL CPI.
"Dan terakhir kami mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI untuk melakukan pengkajian ulang proyek reklamasi CPI serta mengaudit lingkungan dan perizinan yang dimiliki pengembang," ucap Edy mewakili Aliansi Selamatkan Pesisir Makassar.
Menanggapi hal itu, Cipta selaku Humas Pengembang Reklamasi CPI, PT Ciputra membantah jika pengerukan pasir putih di Pulau Gusung Tangngayya sebagai tindakan ilegal. Ia juga membantah jika dulunya pihaknya pernah menyatakan pasir putih untuk reklamasi CPI didatangkan pihaknya dari daerah.
"Pasir putih memang sumbernya dari pulau. Izin kita komplit kok. Nanti kami bisa memperlihatkan semuanya," kata Cipta via pesan singkat.
Advertisement