Cerita Makam-Makam Keramat, Ular Gaib Sampai Pohon Tumbang

Makam-makam keramat di berbagai daerah menarik perhatian luas, banyak cerita mewarnainya.

oleh Eka HakimYoseph IkanubunPanji Prayitno diperbarui 15 Feb 2017, 00:06 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2017, 00:06 WIB
Kisah Makam Keramat
Kisah Makam Keramat

Liputan6.com, Jakarta Indonesia menyimpan banyak hal-hal yang dikeramatkan, mulai dari kebendaan seperti keris sampai pada makam keramat seseorang atau leluhur.

Menyimpan beragam kisah misteri, makam - makam keramat di Indonesia juga sering jadi tempat pertapaan atau pemujaan.

Tak jarang makam yang dikeramatkan itu menjadi lokasi wisata sebagai upaya pelestarian kebudayaan daerah setempat.

Dalam beberapa bulan terakhir, ada sejumlah cerita terkait makam keramat yang menarik perhatian masyarakat. Ada yang karena cerita mitosnya atau jadi 'korban' musibah.

Liputan6.com merangkum kisah tentang makam keramat di Indonesia, mulai dari cerita tentang dua ular hitam gaib penunggu makam sampai yang ketiban pohon tumbang.

Jejak Hindu dan Islam di Makam Keramat

Swastika dan Kaligrafi Arab di Pemakaman Keramat Bukit Ondongan
Lokasi pemakaman keramat itu menghadap langsung ke Teluk Majene, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Ratusan makam tua berada di Bukit Ondongan menghadap langsung ke Teluk Majene, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, menarik perhatian pengunjung. Tak hanya warga setempat, wisatawan mancanegara juga datang ke lokasi makam yang berada di Desa Pang Ali-Ali, Kecamatan Banggae.

Jika warga setempat meyakini makam-makam yang dikeramatkan itu sebagai penjaga kampung mereka, pengunjung asing tertarik karena jejak Hindu dan Islam terdapat di batu-batu nisan yang sama.

"Meski kelihatan keramat dan penuh aura mistis, namun bagi wisatawan, mereka datang karena tertarik dengan jejak sejarah yang ada. Di antaranya nisan batu makam yang cukup tua serta nisannya terdapat ukiran penggabungan budaya Hindu dan Islam," kata Muhammad Fadli, warga Majene, kepada Liputan6.com, Sabtu 22 Oktober 2016.

Nisan batu pemakaman, kata Fadli, terbuat dari berbagai bahan, seperti batu lava, batu tanah dan kayu yang kuat. Pada nisan tersebut, terdapat ukiran berbagai simbol perpaduan antara Hindu dan Islam, yakni simbol swastika dan tulisan kaligrafi Arab.

‎"Ukiran simbol yang beragam tersebut seperti meninggalkan cerita sendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini. Namun, banyak kalangan memaknai bahwa dengan perpaduan ukiran pada makam tua tersebut, seakan ingin memberikan pesan tentang keyakinan yang pernah dipeluk oleh nenek moyang dahulu," tutur Fadli.

Jejak Hindu di pemakaman tua itu juga diwakili dengan simbol serupa yang terdapat di candi yang berada di Pulau Jawa. "Pemakaman tua saat ini sudah terdaftar sebagai cagar budaya sehingga menjadi salah satu destinasi wisata yang bisa dikunjungi untuk menambah referensi sejarah keberadaan Kerajaan Banggae," kata Fadli.‎

Menurut Fadli, berdasarkan penelitian sejarah dan arkeologi Sulsel, pemakaman tua di puncak Bukit Ondongan tersebut diperkirakan sudah ada sejak abad 16 hingga 18. Sementara, alasan pemilihan lokasi pemakaman ditujukan agar dapat mengawasi langsung keturunannya yang berada di bawah bukit atau hendak berlayar jauh mencari nafkah di lautan luas meski sudah meninggal dunia.

"Ceritanya demikian, sehingga mengapa nenek moyang Kerajaan Banggae memilih sendiri lokasi pemakamannya di puncak Bukit Ondongan," kata Fadli.‎

Berdasarkan kisah turun temurun, ia menuturkan penamaan kompleks pemakaman yang dinamai Poralle diberikan oleh raja pertama Banggae. Ia kemudian diangkat sebagai Mara ‘dia Salabose dan Daeng Salabose (pemimpin besar). ‎

Dia juga diberi gelar Puang Banggae dan membentuk masyarakat pertama yang kemudian tumbuh menjadi Kerajaan Banggae. Maka itu, warga meyakini mereka yang dimakamkan di kompleks pemakaman itu merupakan keturunan Puang Banggae.‎

Wisata Makam Keramat di NTB

6 Makam Raja yang Menarik untuk Berwisata
Wisata sejarah di Indonesia sebetulnya memiliki potensi untuk digali dan dipromosikan.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Mataram, menata sejumlah situs makam yang dikeramatkan sebagai salah satu upaya mendukung wisata halal di Nusa Tenggara Barat.

"Setelah kita menata makam keramat Loang Baloq dan Makam Bintaro, tahun 2017 kita akan menata situs religi Makam Dende Seleh yang juga berada di Kecamatan Ampenan," kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Mataram Abdul Latif Nadjib di Mataram, Senin 19 September 2016, seperti dilansir Antara.

Ia mengatakan Makam Dende Seleh ini merupakan salah satu wisata religi di Kota Mataram yang membutuhkan penataan agar dapat menjadi objek wisata religi yang layak dikunjungi baik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Penataan yang akan dilakukannya antara lain di areal makam, tempat ziarah, dan fasilitas umum. Selain itu akan ditempatkan satu petugas yang akan menjaga makam sekaligus sebagai pemandu wisata makam.

"Penataan makam Dende Seleh ini sebagai upaya penguatan sejarah, sehingga bisa menjadi ajang edukasi bagi masyarakat di daerah ini," kata Abdul Latif.

Dia menjelaskan Dende Seleh adalah salah satu perempuan dari suku Sasak yang berani melakukan perlawanan kepada bangsa penjajah. Nama "Dende" sendiri berarti anak mas atau anak kesayangan, sedangkan "Seleh" sendiri berarti solah atau solehah.

"Dende Seleh ini memiliki perilaku yang baik dan merupakan sosok perempuan solehah," kata dia.

Kala itu Dende Seleh ini seringkali dipinang menjadi selir para penjajah. Namun dia berani menolak karena hanya ingin dijadikan istri yang sah.

"Semangat juang seorang perempuan Sasak inilah yang dibanggakan oleh warga di Pulau Lombok sehingga mereka datang berziarah untuk mengambil pelajaran dari perjuangan yang telah dilakukannya," katanya.

Makam Keramat Jadi Korban Pohon Tumbang

Pohon Tumbang Timpa Makam Keramat, Ada Apa?
Makam keramat itu diyakini warga sebagai makam titisan buaya putih. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Makam keramat turut jadi korban hujan lebat disertai angin kencang di Makassar. Makam itu tertimpa pohon tumbang. Hujan angin memang memicu pohon-pohon di beberapa ruas jalan protokol di Makassar tumbang.

Pohon tumbang terjadi antara lain di Kecamatan Manggala dan Rappocini, Makassar. Tim satgas kecamatan langsung bergerak cepat membersihkan pohon tumbang yang terdapat di wilayah tersebut.

"Ada sekitar delapan titik terjadi pohon tumbang di Manggala dan tim sedang proses pembersihan di lokasi," kata Camat Manggala Anshar Umar di sela-sela memantau bencana alam angin kencang di Kelurahan Bangkala, Kecamatan Manggala, Makassar, Jumat 3 Februari 2017.

Pihak kecamatan mencatat beberapa bangunan di antaranya rumah warga, warung, masjid serta makam keramat juga terkena dampak angin yang bertiup kencang.

"Dari laporan seluruh lurah di Manggala, ada beberapa bangunan rusak akibat terkena pohon tumbang diantara rumah, warung, masjid dan makam sejarah di daerah Bangkala," ucap Anshar.

Kepala Sub Bidang Pelayanan Jasa BMKG Wilayah IV, Sujarwo mengatakan hujan lebat yang disertai angin kencang diperkirakan masih terjadi di beberapa daerah di Sulsel, termasuk Kota Makassar, hingga malam hari.

"Tadi pagi kita sudah informasikan kepada masyarakat agar berhati-hati karena hujan lebat dan angin kencang terjadi di pagi hari dan diperkirakan akan lanjut di malam hari nanti," ujar Sujarwo.

Meski cuaca masih ekstrem, kata Sujarwo, belum berpotensi menimbulkan angin puting beliung. Namun, dampak yang ditimbulkan perlu diwaspadai.

Sementara itu Lurah Bangkala Waris membenarkan jika di daerahnya ada makam yang dikeramatkan warga Kelurahan Bangkala yang tertimpa pohon tumbang akibat angin kencang.

"Makam keramat itu diyakini makam "boe ri bungung batua" yang dikenal sejarahnya sebagai titisan buaya putih dan kekuasaannya berada di Sungai Tallo Makassar," kata dia.

2 Ular Hitam Gaib Penjaga Makam Keramat

Kisah Ular Hitam Penjaga di Lokasi Wisata Kuburan Kuno
Kisah Ular Hitam Penjaga di Lokasi Wisata Kuburan Kuno (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun).

Objek wisata Waruga atau kuburan kuno leluhur Minahasa di Desa Sawangan ini menyimpan mitos tentang dua ular hitam penjaga kuburan. Objek wisata ini terletak di Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.

Penampakan dua ular hitam itu diakui masyarakat setempat. Masyarakat percaya, dua hewan melata itu sebagai penjaga makam kuno leluhur orang Minahasa yang dikeramatkan.

"Itu pertanda bagi masyarakat jika lokasi ini memang dijaga dan diawasi para leluhur," ujar penjaga Waruga Sawangan, Anton Jatuna.

Jatuna menambahkan, tidak semua orang dan setiap saat bisa melihat dua ular hitam itu. Sekalinya muncul atau ada yang melihat, kemunculannya diyakini warga sebagai sebuah pertanda kemunculan bencana alam.

"Waspada bencana alam atau juga perubahan musim dan petunjuk lainnya," ujar Jatuna.

Selain itu, menurut dia, Waruga yang ditangani oleh Balai Pelestarian Budaya Sulut ini memiliki 144 kuburan kuno peninggalan leluhur warga suku asli Tonsea, Minahasa. Seluruh makam itu dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat secara adat Tonsea sering menggelar upacara adat di lokasi tersebut.

"Di lokasi ini memiliki 144 kuburan tua yang sangat disakralkan oleh warga Tonsea. Bahkan sering ada upacara adat di sini," ujar dia.

Dengan keunikan sejarah dan cerita, lokasi itu menjadi salah satu destinasti wisata di Kabupaten Minut. Namun, kompleks Waruga ituternyata masih kurang diminati wisatawan, khususnya wisatawan asing.

Setiap bulannya, hanya sekitar 50 wisatawan asing saja berkunjung ke kuburan tua itu. Tentunya, hal ini sangat memperihatinkan, mengingat Pemprov Sulut sangat gencar menarik wisatawan mancanegara (wisman) ke Sulut lewat penerbangan langsung.

"Tiap bulan paling cuma 50 wisman yang datang. Kalaupun ramai, itu nanti libur panjang dan banyak didominasi oleh wisatawan domestik," tutur Jatuna.

Pemkab Minut memiliki visi pengembangan pariwisata di daerah ini. Tapi, baik Pemkab Minut maupun Pemprov Sulut dinilai tidak berkontribusi maksimal untuk meningkatkan kunjungan wisman ke objek wisata kebudayaan tersebut.

Pemprov Sulut lebih banyak mempromosikan wisata bahari di Sulut, ketimbang wisata kebudayaan. Selain itu, belum ada inovasi program untuk menambah daya tarik ke objek wisata itu juga menjadi faktor lain kurangnya minat wisman berkunjung ke kompleks kuburan kuno itu.

Terpisah, Wakil Bupati Minut, Joppy Lengkong mengaku, pihaknya terus menggenjot potensi wisata di daerahnya, tak terkecuali wisata Waruga. Hal itu guna meningkatkan kunjungan wistawan, khususnya wisatawan asing ke Kabupaten Minut.

"(Kita terus genjot potensi wisata) Termasuk di kawasan Waruga, meski memang belum maksimal," ujar Joppy.

Makam Keramat Putra Prabu Siliwangi Ditemukan?

2 Makam Keramat Putra Prabu Siliwangi Ditemukan di Cirebon
Makam keramat yang diduga petilasan putra Prabu Siliwangi itu awalnya terbenam 2 meter di dalam tanah. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Sejumlah warga Desa Kaliwadas, Blok Tukmudal Cantil, Kelurahan Kaliwadas, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, digegerkan dengan temuan dua makam keramat di sekitar Balong Tukmudal Awal Tirta Kencana Biru.

Makam tersebut disinyalir petilasan Ki Syekh Danuwarsi dan Pangeran Walangsungsang yang merupakan putra Prabu Siliwangi. Makam yang ditemukan pada pertengahan Januari tersebut sebelumnya berada dua meter di dalam tanah.

"Makam ini baru kita angkat dan ditemukan setelah peresmian situs Balong Tukmudal Awal dengan Keraton Kanoman Cirebon," kata pendamping Sultan Kanoman Cirebon ke-12 Raja Moch Emirudin, Elang Aji Nurasa, Senin 13 Februari 2017.

Elang Aji mengatakan, makam tersebut sengaja digali dan diangkat berdasarkan cerita warga setempat. Menurut Aji, warga selalu mencari tahu kebenaran cerita terkait keberadaan makam keramat itu.

Maka itu, dia bersama warga berinisiatif menggelar ritual dan doa bersama memohon petunjuk keberadaan makam tersebut. "Alhamdulillah diberi petunjuk Allah dan makam kami temukan," sebut dia.

Dalam temuan tersebut, dua makam hanya berisi petilasan dari dua tokoh besar pendiri Cirebon. Keberadaan makam ini juga tidak lepas dari sejarah awal mula terbentuknya Cirebon.

Dia menuturkan, Syekh Danuarsi dan Pangeran Walangsungsang merupakan salah satu tokoh besar Cirebon pada abad 11 dan 12 Masehi. Pada saat itu, masyarakat di Desa Tukmudal Awal belum mengenal ajaran Islam secara utuh.

Pangerang Walangsungsang, kata dia, saat itu tengah berguru ilmu kebatinan dengan Syekh Danuarsi. Di tengah perjalanan, Syekh Danuarsi meminta Pangeran Walangsungsang memperdalam ajaran Islam yang sempurna.

Mengikuti perintah gurunya, Walangsungsang bertemu Syekh Nurjati dan belajar memperdalam agama Islam. "Pangeran Walangsungsang di masyarakat kita dikenal dengan sebutan Mbah Kuwu Cirebon. Makam ini feeling saya terdapat banyak pusaka hanya masih gaib dan belum dapat ditemukan," ujar dia.

Singkat cerita, setelah belajar dan menemukan Islam sejati, Walangsungsang kembali ke Desa Tukmudal Awal untuk mengislamkan masyarakat padukuhan. Ia mengislamkan warga Padukuhan di bawah Pinayung Layang Kalimusada (musala) sebagai tempat mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi tempat ibadah warga desa.

"Saat itu juga, Walangsungsang dan Syekh Danuwarsi memperoleh Islam yang sempurna dan meninggalkan tradisi Budha-nya. Di samping makam juga ada musala yang kami yakini seusia dengan makam yang sudah kami temukan. Ke depan akan kami bangun musala juga," kata Aji.

Selain menjadi situs sejarah, temuan makam dan musala juga bermakna filosofis. Aji menuturkan, keberadaan situs baru ini memaknai agar manusia tidak tinggi hati.

"Keberadaan situs ini mengingatkan kita agar manusia tidak lupa dengan penciptanya karena nanti juga akan meninggal. Jadi, semasa hidup agar tidak lupa menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan yang diajarkan oleh Islam," tutur dia.

Sementara itu, Juru Kunci Sumur Tukmudal Awal, Syafrudin menuturkan, temuan situs ini agar tidak dijadikan tempat untuk berzikir, ibadah maupun Itikaf. Sebab ini hanya situs yang menjadi bagian dari sejarah Cirebon.

"Jadi kami berharap agar makam tersebut dimuliakan, apalagi di samping makam ada mushola, jadi akan kami manfaatkan dengan baik sesuai ajaran Islam," ujar dia.

Dia mengaku sudah berunding bersama warga setempat untuk menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah Cirebon. Dia juga menginginkan agar siapapun yang berkunjung tidak menjadikannya sebagai tempat pemujaan karena hanya dikeramatkan.

"Siapapun yang akan mengunjungi makam ini agar selalu mengingat kita pasti juga akan meninggal. Jadi jangan dijadikan sarana untuk mencari berkah dan rejeki, ujar Syafrudin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya