Anak Dusun Campagaya Rintis Mimpi dari Sekolah Tanpa Dinding

Tujuh tahun berjalan, sekolah tempat 13 anak dusun di Gowa itu mengejar mimpi masih juga hanya terdiri satu kelas dan tanpa buku pelajaran.

oleh Eka Hakim diperbarui 08 Mei 2017, 09:33 WIB
Diterbitkan 08 Mei 2017, 09:33 WIB
Anak Dusun Campagaya Rintis Mimpi dari Sekolah Tanpa Dinding
Tujuh tahun berjalan, sekolah tempat 13 anak dusun di Gowa itu mengejar mimpi masih juga hanya terdiri satu kelas dan tanpa buku pelajaran. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Bangunan sekolah beratap seng, bertiang balok kayu, berdinding papan yang mulai rapuh, serta lantai dari tanah tak menyurutkan semangat anak-anak Dusun Campagaya, Desa Pattalikang, Kecamatan Manuju, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, mewujudkan cita-cita setinggi langit.

Tak hanya fasilitas belajar yang terbilang jauh dari kata layak, anak-anak di MI DDI Darul Ihsan itu juga hanya diajar seorang tenaga relawan yang tak memiliki gelar sarjana. Pengajar sukarela bernama Jumriani (22) itu bahkan juga tak digaji sepeser pun.

Meski begitu, ia tetap mengajar dengan harapan ilmu yang dibaginya bisa bernilai ibadah. "Saya ini memang bukan sarjana Dek, tapi semangat dan niat saya untuk mengajar anak-anak di sini tidak bisa dipatahkan oleh siapa pun. Saya tidak mau anak-anak saya tidak bisa membaca dan menulis," kata Jumriani, Jumat, 5 Mei 2017.

Jumriani menuturkan, bangunan rapuh yang menjadi sandaran para siswanya meniti cita-cita itu hanya hanya memiliki satu ruangan belajar berukuran 6 x 6 meter. Ruangan itu, sambung dia, dimanfaatkan oleh 13 orang siswa yang terdiri dari kelas 1, 2, 3 dan kelas 5.

"Saya ajar mereka dalam satu ruangan yang sama dan di jam yang sama," kata dia.

Jumriani berharap kondisi yang dialami murid MI DDI Darul Ihsan tidak berlangsung lama. Ia sangat mengharapkan adanya perhatian pemerintah meski hanya sedikit demi menunjang proses belajar anak-anak didiknya di sana.

"MI DDI Darul Ihsan terbangun sejak tahun 2010 dan tujuh tahun berlalu bangunan sekolah masih seperti yang ada saat ini. Jauh dari kata layak. Kursi dan meja dengan jumlah seadanya serta kondisi yang usang tetap terjaga sebagai fasilitas mewah di sekolah ini," tuturnya.

Tak hanya itu, buku pelajaran yang menjadi penunjang utama dalam belajar tak satu pun tersedia. Apalagi, kata Jumriani, keberadaan kantin yang biasanya menjadi sasaran utama siswa selama jam istirahat.

"Jangankan kantin yang biasanya menjadi surga untuk anak-anak ketika jam istirahat, buku-buku pelajaran saja tak ada. Tapi, kondisi demikian tak pernah menjadi penghalang bagi mereka untuk menyusul cita-cita yang jauh lebih besar ke depan," kata Jumriani.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya