Perjuangan Dewi Sartika Rintis Sekolah bagi Perempuan Sunda

Sekolah yang dirintis Dewi Sartika untuk perempuan Sunda itu diawasi ketat Belanda dan sempat diambil alih Jepang saat penjajahan.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 21 Apr 2017, 14:22 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2017, 14:22 WIB
6 Sisi Unik Dewi Sartika, Pejuang Emansipasi Sekeren Kartini
Tak hanya perjuangkan kesetaraan, Dewi Sartika ternyata juga getol menyuarakan anti-poligami. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Raden Dewi Sartika adalah pejuang emansipasi atau kesetaraan perempuan yang seangkatan dengan Raden Ajeng Kartini. Perempuan dari Bumi Parahiyangan ini pun tak kalah keren dari RA Kartini asal Jepara, Jawa Tengah.

Kedua perempuan tangguh kebanggaan Indonesia ini sama-sama keturunan bangsawan pada masanya. Bila RA Kartini meninggalkan jejak emansipasi dalam sebuah buku, Dewi Sartika mewariskannya dalam wujud sekolah yang berkembang hingga kini.

Seperti dituliskan dalam buku Biografi Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika: Sang Perintis karya Yan Daryono, bakat keguruan Dewi Sartika sudah tampak sejak masih muda. Tipikalnya bukan menunggu fasilitas yang memadai hanya untuk memulai aksinya.

Begitu ibundanya kembali ke Bandung, Jawa Barat, dari pembuangan di Ternate, Maluku Utara, pada 1902, Dewi Sartika kembali ke kota berjuluk Parijs van Java tersebut. Rumahnya pada waktu itu di Simpangsteg (kini Jalan Simpang) yang letaknya di belakang rumah dinas Patih Bandung.

Kesulitan hidup masih melilit kehidupan Dewi Sartika. Seluruh harta benda keluarganya yang disita Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membuat ibundanya tak dapat berbuat banyak mengurus anak-anaknya secara layak.

Di masa itu, pemikiran orang masih berkutat bahwa perempuan kedudukannya bergantung pada suami. Perlakuan juga dirasakan berbeda manakala pendidikan gadis lebih rendah dan pria lebih tinggi.

Namun, Dewi Sartika tak mau menyerah. Ia mengajak sanak kerabatnya yang perempuan belajar keterampilan seperti memasak, menjahit dan semacamnya. Dia pun mengajari membaca tulis Bahasa Melayu maupun Belanda, termasuk ilmu yang didapatkannya sewaktu bersekolah di Eerste Klasse School.

Perlahan tapi pasti, semakin banyak yang berminat pada pengajaran tersebut. Imbalan dari pengajaran yang diterima anak-anak perempuan itu, Dewi Sartika dan ibunya mendapat bantuan bahan pokok di antaranya beras, garam, lauk pauk dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Diawasi Penjajah Belanda

Dewi Sartika
Foto Raden Dewi Sartika dan sang suami Raden Kanduruann Agah Suriawinata. (Repro: Biografi Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika: Sang Perintis/Yan Daryono)

Kegiatan Dewi Sartika ternyata terendus Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Seorang inspektur pengajaran wilayah Kabupaten Bandung, Cornelis Den Hammer, datang langsung untuk menyaksikan pengajaran yang dilakukan Dewi Sartika.

Seketika, Dewi menerangkan kepada inspektur bahwa kegiatannya adalah kegiatan informal. Muridnya hanya 10 orang yang juga berasal dari keluarga sendiri. Sang inspektur sempat beberapa kali mendatangi kegiatan belajar di rumah Dewi Sartika.

Pria itu kemudian menawari Dewi Sartika untuk menjadi guru sekolah Boemi Poetra milik Belanda. Dewi Sartika justru menolak tawaran tersebut, malah mengutarakan niatnya untuk mendirikan sekolah sendiri.

Gagasan itu membuat Dewi Sartika dipertemukan dengan Bupati Bandung yang saat itu dijabat Raden Aria Adipati Martanagara. Dengan berani Dewi mengutarakan rencananya untuk mendirikan Sekolah Kepandaian Perempuan kepada sang bupati.

Bupati mendukung gagasan Dewi Sartika. Hingga pada 16 Januari 1904 didirikan Sakola Istri yang sementara berlokasi di Paseban Wetan di kompleks Pendopo Dalem Kabupaten Bandung.

Pada waktu dibuka, Sakola Istri sebagai sekolah khusus untuk perempuan pertama dan tertua di Indonesia, diikuti 60 siswi. Dewi Sartika menjadi pengajar didampingi dua guru yang juga rekan seperjuangannya, Ibu Poerma dan Ibu Oewit.

Setahun setelah dibukanya Sakola Istri, minat siswi yang mendaftar semakin bertambah. Hal ini membuat ruang belajar di Paseban Timur tidak lagi memadai.

Dewi Sartika menyadari bahwa sekolah tak bisa lagi menampung banyak siswa. Untuk itu dia menabung sedikit demi sedikit agar dapat mencari tempat baru.

Dengan sedikit tabungan, dia membayar uang muka untuk membeli sebuah tempat di Ciguriangweg yang kelak menjadi lokasi Sakola Kaoetamaan Istri. Bupati RAA Martanagara turut menyumbang pembayaran pembelian tempat dan biaya pembangunan sekolah itu.

Pada 1910, Sakola Istri diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri. Suaminya, Raden Agah Kanduruan Soeriawinata mendukung penuh keinginan sang istri. Adapun mata pelajaran yang ditambahkan, yaitu pelajaran memasak, mencuci, menyetrika dan membatik.

Menyambangi Adik Kandung RA Kartini

Pagi di Museum Dewi Sartika, Pegiat Emansipasi Seangkatan Kartini
Ruang kelas peninggalan Dewi Sartika yang masih dipertahankan bentuknya semula. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Pernah suatu waktu, Dewi Sartika berkunjung ke rumah RA Kardinah, adik kandung RA Kartini di Kendal, Jawa Tengah. Kunjungan ini bukan formalitas, melainkan Dewi Sartika sekaligus belajar ilmu membatik yang kembali diajarkan ke murid-muridnya di Bandung.

Selain sekolah, perkumpulan Kaoetamaan Istri juga dibentuk pada 5 November 1910 oleh Residen Priangan, WFL Boissevain.

Namun bagi Dewi Sartika yang turut menghadiri peresmian tersebut, acara tidak lain adalah akal-akalan pemerintah kolonial yang memanfaatkan pamor sekolah yang pada saat itu mulai dikenal luas masyarakat. Seolah-olah pemerintah kolonial memerhatikan nasib pendidikan bangsa Sunda.

Sejak saat itulah, Dewi Sartika mengganti papan nama Sakola Istri menjadi Sakola Kaoetamaan Istri. Bersamaan dengan itu, di berbagai daerah Priangan seperti Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Cianjur, Purwakarta dan Sukabumi didirikan cabang Sakola Kaoetamaan Istri.

Hanya berselang tiga tahun, jumlah siswa sekolah mencapai 251 siswi. Di mana terdapat 12 ruang belajar dengan fasilitas yang memadai dan guru-guru profesional.

Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menghadiahkan sebuah gedung baru dan nama Sakola Kaoetamaan Istri diumumkan menjadi Sakola Raden Dewi.

Namun pada 25 Juli 1939, Raden Agah Soeriawinata meninggal dunia. Dewi Sartika ternyata tidak patah semangat di tengah jalan, dia terus melanjutkan tugasnya mendidik kaum perempuan.

Ketika Belanda menyerah dari Jepang pada Maret 1942, Sakola Raden Dewi diambil alih pemerintah militer Negeri Samurai, sekaligus mengganti nama sekolah menjadi Sekolah Gadis No 29.

Bukan hanya Dewi Sartika, guru-guru lama pun turut diberhentikan dan diganti dengan guru-guru dari Negeri Matahari Terbit tersebut.

Setelah peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946, Raden Dewi Sartika dan keluarganya mengungsi ke Ciparay dilanjutkan ke Garut. Lalu mengungsi ke Ciamis sampai pergi ke lereng Gunung Cineam.

Dewi Sartika menderita sakit keras hingga terpaksa harus dirawat di Rumah Sakit Cineam. Beliau wafat pada 19 September 1947 dalam usia 63 tahun.

Sementara itu, sekolah sempat ditutup hingga akhirnya bisa dibuka kembali oleh Yayasan Raden Dewi Sartika pada tahun 1951. Beberapa kali sekolah ini juga sempat berganti nama semenjak dipegang yayasan.

Sekolah Guru Bawah (SGB) Puteri (1951), Sekolah Kepandaian Puteri (SKP) Dewi Sartika (1961), Sekolah Kejuruan Kepandaian Putri (SKKP) hingga Dewi Sartika (1963). Saat ini sekolah telah menjadi SD dan SMP Dewi Sartika, adapun TK berada di lokasi berbeda.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya