Liputan6.com, Gorontalo - Mengawali hari dengan secangkir kopi, sungguh nikmat rasanya bagi kebanyakan orang. Kopi merupakan minuman yang sangat familiar bagi berbagai kalangan. Tak terkecuali bagi masyarakat Gorontalo.
Bagi Masyarakat di sini, kopi merupakan sajian yang bisa dinikmati setiap saat. Baik pagi hari, siang, maupun malam. Sajiannya pun beragam. Dari kopi tubruk alias kopi hitam murni hingga variasi lain seperti cappuccino ataupun coffee late.
Berbicara kopi, Gorontalo juga memiliki kopi kelas wahid. Namanya, Kopi Pinogu.
Baca Juga
Belakangan ini, kopi yang dihasilkan di dataran tinggi Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango semakin digandrungi. Baik oleh penikmat kopi di Gorontalo maupun penikmat kopi dari daerah lain.
Animo masyarakat terhadap Kopi Pinogu tak lain dipengaruhi oleh cita rasanya yang khas. Aromanya lebih harum dibandingkan kopi lain pada umumnya.
Advertisement
Selain itu, Kopi Pinogu memiliki karakteristik rasa seperti buah nangka dan tingkat keasaman yang sedang. Sehingga rasanya tak terlalu pahit serta aman di lambung.
Kopi Pinogu terdiri dari dua jenis. Yakni Jenis Robusta dan Liberica. Kopi Pinogu dikembangkan secara alami atau organik. Pengembangan tersebut diyakini memberi cita rasa dan aroma khas Kopi Pinogu.
Awal Mula Kopi Pinogu
Sejarah Kopi Pinogu memiliki beberapa versi. Versi pertama meyakini bila Kopi Pinogu dibawa dan dikembangkan pemerintah Belanda pada 1875. Kala itu Belanda membawa jenis kopi Liberica untuk ditanam di daerah Pinogu.
Namun langkah Belanda itu mendapat perlawanan oleh Pemerintah Kerajaan Suwawa. Sehingga pengembangan Kopi Liberica yang ditanam Belanda saat itu tak berlanjut. Walaupun begitu, hasil produksi Kopi Liberca di Pinogu saat itu sempat dibawa kembali pemerintah Belanda (1890-1948) dan menjadi favorit Ratu Belanda Wilhelmina.
Pada 1970, pemerintah daerah kemudian berupaya membudidayakan kopi jenis robusta di wilayah itu. Budidaya Kopi Robusta secara organis terus dilakukan hingga sekarang. Dinas Pertanian Bone Bolango mencatat, saat ini lahan kebun robusta di Pinogu mencapai 225 hektare, tersebar di lima desa, yakni Pinogu induk, Pinogu Permai, Tilongkabila, Bangiyo, dan Dataran Hijau.
Salah seorang petani kopi sekaligus penggiat kopi asal Pinogu, Nurdin Maini menceritakan, kopi jenis Liberica ditanam di tanah Sinondoo (tanak tak bertuan), yang berada di kawasan hutan dan jauh dari pemukiman penduduk Pinogu. "Produksinya sangat kurang," ujar dia.
Saat ini menurut Nurdin, Kopi Liberica itu masih tumbuh di dalam area hutan Pinogu. "Sekarang luasnya kurang dari lima hektare, Karena memang tidak dibudidayakan oleh petani di sini," tambah dia.
Sementara itu, untuk Kopi Robusta sendiri menurut Nurdin, masuk ke Pinogu pada 1960-an. Kopi Robusta yang kini dikenal dengan nama Kopi Pinogu itu dibawa langsung oleh warga Pinogu dari daerah Bolaang Mongondow, untuk ditanam dan dikembangkan di wilayah Pinogu.
Usaha warga ini pun membuahkan hasil. Beberapa tahun kemudian, Kopi Robusta ternyata tumbuh dengan baik di daerah Pinogu.
"Penyebab kenapa Liberica sulit tumbuh di Pinogu karena Liberica sendiri memiliki syarat tumbuh ideal di ketinggian 750-1000 Mdpl, sedangkan Robusta hanya 300-500 Mdpl, sementara Pinogu sendiri berada di ketinggian 310 Mdpl," ujarnya.
Selanjutnya pada 1970-an, Kopi Robusta Pinogu ditanam secara besar-besaran oleh pemerintah setempat, setelah mempertimbangkan tumbuh baiknya bibit kopi yang dibawa oleh petani kopi pinogu sebelumnya. "Sekarang luas tanaman kopi robusta pinogu mencapai 270 hektare," ungkap Nurdin.
Advertisement
Versi Lain
Versi lain tentang Kopi Pinogu ikut diceritakan Yos Wartabone, putra pahlawan nasional Gorontalo Nani Wartabone. Pria yang akrab disapa Om Yos itu mengungkapkan bila keberadaan Kopi Pinogu sudah ada sejak 1875. Namun keberadan kopi di wilayah Pinogu tersebut membutuhkan perjuangan. Para warga lokal harus susah payah mendapatkan benih kopi.
"Saat itu Gorontalo masuk dalam daerah wilayah penjajahan Belanda," kata Om Yos.
Menurut Om Yos, pada zaman penjajahan itu, Belanda mengembangkan wilayah perkebunan (Onderneming) di daerah Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Minahasa. Saat itu komoditi yang dikembangkan di antaranya kopi. Untuk mengembangkan wilayah perkebunan di Boltim, para warga Pinogu dibawa Belanda ke lokasi tersebut.
"Alasannya jarak Pinogu dan Bolaang Mongondow cukup dekat. Hanya turun satu gunung," ujar Om Yos.
Lebih lanjut Om Yos menjelaskan, di wilayah Onderneming penjajah Belanda sangat teliti. Bahkan saking telitinya, saat para pekerja pulang mereka harus di-sweeping agar tidak membawa pulang biji (benih) kopi.
"Masyarakat Pinogu yang berhasrat menanam kopi di daerahnya harus memutar otak," ungkap Om Yos.
Untuk bisa membawa pulang biji kopi, masyarakat Pinogu harus menelan mentah-mentah biji kopi. Saat pulang mereka pun kembali berupaya mengeluarkan biji kopi itu dengan buang air besar di bawah pepohonan. Hasilnya kotoran yang berisi biji kopi tersebut perlahan ditanam sembunyi-sembunyi masyarakat Pinogu.
"Itu kalau saya bilang sejarahnya itu dari kotoran manusia mereka simpan biji kopi, nanti sepulangnya mereka buang air besar dan itu ditanam dan dipelihara baik, sampai tumbuh dan berkembang," ujar Yos Wartabone kemarin.
Sejak saat itu masyarakat Pinogu mulai menghasilkan kopi. Selanjutnya diolah dengan cara tradisional. Biji kopi yang sudah kering disangrai menggunakan wajan tanah dan kemudian ditumbuk hingga halus.
"Hasilnya itu mereka jual jalan kaki sembari menarik kuda yang memikul kopi di pasar minggu Suwawa. Hingga saat ini masih ada warga Pinogu yang turun menggunakan kuda dan membawa kopi," tandas Yos Wartabone.