Budayawan: Bukan Ndeso, tapi Norak

Akar kata ndeso ada sejak era Majapahit, karya magnum opus Negarakertagama mengurai segala yang terkait desa dengan tradisi unggul

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 06 Jul 2017, 14:31 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2017, 14:31 WIB
ndeso
Budaywan Muda Ren Muhammad mengaku sangat menikmati suasana ndeso. (foto: Liputan6.com/dok.pribadi/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Istilah ndeso mendadak populer. Pemicunya Kaesang Pengarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo alias Jokowi, yang menggunakan frasa "dasar ndeso" dalam videonya yang viral belakangan ini.

Sebelum Kaesang melampiaskan kegemasannya dengan "dasar ndeso", pelawak Tukul Arwana sudah lebih dulu memopulerkannya melalui program televisi. Di luar itu, istilah ndeso juga sudah berkembang di masyarakat untuk mencibir atau mencela. 

Menurut budayawan Semarang, Djawahir Muhammad, istilah ndeso sebenarnya sama dengan istilah populer "norak". Jika untuk mencela, lebih tepat menggunakan istilah "norak". Nah, penggunaan diksi ndeso untuk mencela itu secara tak sadar kemudian membuat makna ndeso bergeser menjadi negatif.

"Yang ndeso selalu identik dengan tradisional, kota identik dengan modernitas. Dua kutub ini tak harus dihadap-hadapkan berlawanan," kata Djawahir, Kamis (6/7/2017).

Dari mana istilah ndeso ini berasal? 

Budayawan Ren Muhammad mengatakan, mencari asal-usul kata ini dalam khazanah kebudayaan kita sama sulitnya dengan menunjuk penemu tempe atau rendang. 

"Hak cipta tak berlaku bagi di negeri ini. Royalti hanya berlaku bagi masyarakat yang bercorak individualistik. Nah, tempe, rendang, dan ndeso itu kan enggak pakai royalti," kata Ren Muhammad dalam surat elektroniknya kepada Liputan6.com, Kamis (6/7/2017).

Menurut Ren Muhammad, secara umum masyarakat kita sejatinya layak disebut ndeso. Jika benar cermat menelisik, tak pernah ada yang namanya kota sebelum orang ndeso membangun desa mereka.

Kota baru berdiri setelah ada peraturan yang dibakukan atas warga desa yang terus membesar. "Peraturan tentang tata pemerintahan dan pengaturan orang banyak," ia menjelaskan.

Banyak orang kota juga pernah jadi orang desa. Sebagian besar penghuni kota adalah warga desa yang mencari penghidupan lebih di kota.

Dia menandaskan, di desa segala kebutuhan manusia bermula. Di desa kita menemukan kedirian manusia sejati. Ini salah satu penjelasan mengapa orang kota ngotot mudik setiap Lebaran. 

Pada 1365 di Trowulan, Majapahit, Mpu Prapanca memasukkan kata Deçawarnana atau uraian tentang desa-desa dalam karyanya yang monumental: Nagarakretagama (Negara dengan Tradisi [Agama] yang Suci) dalam pupuh 94/2.

Karya magnum opus ini ditulis demi mengurai segala yang terkait desa, berikut tradisi, dan budayanya yang unggul. 

"Saya ini tetap anak desa, meski hidup lama di Jakarta. Ibu kota kita ini dulunya juga desa yang bernama Sunda Kalapa. Maka wajar jika kota kita dan bahkan negara ini, kerap dipimpin anak-anak ndeso," kata Ren Muhammad.

 

Saksikan video menarik di bawah ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya