Liputan6.com, Manggarai Tengah - Rombongan turis lokal dan asing bergantian masuk ke Rumah Gendang, rumah utama perkampungan rumah adat di Kampung Wae Rebo, Manggarai Tengah, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Di dalam ruangan, duduk lelaki tua bertubuh kecil, mengenakan sarung dan ikat khas Wae Rebo. Setelah rombongan duduk, lelaki itu menghampiri anggota rombongan.
"Selamat sore, saya Rafael," kata lelaki tua yang ternyata tetua adat itu, sambil menyalami anggota rombongan.
Advertisement
Baca Juga
Sejurus kemudian, pemandu lokal mengenalkan anggota rombongannya dalam bahasa lokal setempat. Sang tetua kemudian menjawab dan mengucapkan serentet kalimat yang terdengar seperti mantra.
Upacara adat penyambutan tamu usai. Para turis sudah diizinkan mengambil gambar di Kampung Wae Rebo, dan menaruh tas serta bawaan di rumah yang diperuntukkan sebagai
penginapan bagi turis.
Prosesi tersebut selalu dilakukan seiap ada turis atau tamu berkunjung ke kampung Waerebo. "Supaya tidak diganggu roh leluhur," kata Gaspar, pemandu lokal yang mengantar Liputan6.com dalam kunjungan ke Waerebo, Selasa 22 Agustus 2017.
Kepercayaan kepada roh leluhur memang masih melekat kuat pada masyarakat Waerebo, masyarakat yang masih melestarikan dan menghuni rumah adat peninggalan leluhur di
lembah Wae Rebo.
Kepercayaan kepada roh leluhur ini sudah ditegaskan di papan pengumuman yang dipasang di pos pertama pendakian, juga di pos terakhir sebelum gerbang masuk kampung. Informasinya menegaskan, masyarakat Wae Rebo meyakini roh leluhur masih tinggal dan melindungi mereka.
Dengan kesadaran itu maka turis atau tamu yang berkunjung harus melewati prosesi adat penyambutan tamu. Tujuannya untuk 'kula nuwun' atau permisi ke roh leluhur, sehingga turut dilindungi.
Tanpa prosesi adat itu, warga setempat tak menjamin roh leluhur akan melindungi. "Beberapa kali ada kejadian aneh menimpa turis yang nyelonong saja," kata Kornadus (47 tahun), warga Wae Rebo.
Kejadian Aneh
Kornadus mencontohkan, pernah ada turis yang tak mau ikut upacara adat. Mungkin si turis enggan memberikan sumbangan ke desa sebagai tanda perkenalan. Turis tersebut hanya datang dan langsung jeprat-jepret mengambil gambar lanskap Wae Rebo yang indah dan unik itu. Apa yang terjadi?
Si turis kaget karena tak ada gambar yang tersimpan di kameranya dari hasil memotret sekitar tiga jam. Akhirnya si turis 'menyerah' dan minta bantuan warga. Setelah mengikuti prosesi adat, tak selang lama gambar-gambar kembali muncul di kameranya.
Ada lagi contoh kejadian lain. Rombongan turis asing minta diantar warga mengunjungi air terjun di bawah perkampungan. Usai menyaksikan pemandangan alam dan kampung, rombongan turis menyelinap diam-diam dan tak tak mau membayar uang jasa pemandu yang sudah disepakati.
Di jalan turun dari perkampungan, salah satu anggota rombongan turis terpelset jatuh hingga tangannya patah. Turis yang celaka pun digendong warga ke bawah, dan pada akhirnya membayar upah menggendong sebesar uang jasa yang disepakati di awal.
"Roh-roh leluhur besemayam di tujuh titik di sekitar lingkaran area kampung, karena itu hanya boleh ada tujuh mbaru niang (rumah adat) di lingkaran inti," jelas Kornadus.
Kampung Wae Rebo memang berada di area melingkar yang di pinggir-pinggirnya berdiri tujuh niang. Rumah utama yang disebut Rumah Gendang ada di tengah. Adapun di tengah lingkaran berdiri tumpukan tanah dan batu sebagai altar tempat menggelar prosesi adat menghormati roh leluhur. Turis dilarang duduk di altar tersebut.
Warga Wae Rebo tinggal bersama-sama dengan akrab. Dalam satu niang tinggal delapan kepala keluarga yang ruangannya dipisahkan dengan ruangan bertirai. Hanya ada satu dapur dan ruang tengah yang digunakan bersama-sama.
Jika ingin mengunjungi perkampungan yang unik itu, siapkan fisik dan mental yang positif. Perjalanan mendaki ke lokasi makan waktu 2-3 jam. Jalanan menuju kampung adalah area hutan dan kebun kopi milik warga. Warga kampung Wae Rebo adalah para petani kopi.
Advertisement
Rumah Kerucut Unik Mbaru Niang
Rumah adat kampung Wae Rebo disebut Mbaru Niang yang berarti rumah kerucut dalam bahasa setempat. Rumah kerucut berlantai lima ini sudah meraih Award of Excellence, sebuah penghargaan tertinggi dalam UNESCO Asia-Pasifc Award for Cultural Heritage Conservation.
Rumah beratap jerami ini memiliki lima tingkat. Lantai pertama (lutur) tempat aktivitas sehai-hari penghuni. Lantai kedua (lobo) digunakan untuk menyimpan bahan makanan atau barang.
Lantai tiga (lentar) untuk menyimpang benih tanaman hasil bercocok tanam. Lantai empat (lempa rae) berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan untuk antisipasi kalau hasil panen sedang sedikit. Sedangkan di lantai teratas digunakan untuk menyimpan aneka sesajian sang pemilik rumah.
Tangga ke atas terbuat dari bambu yang dilubangi sebagai tempat pijakan. Liputan6.com mencoba naik dengan tangga itu, ternyata cukup sulit karena berat mengangkat badan dan sakit di telapak kaki.
Saat ini kampung di lembah nan permai itu kerap ramai oleh kunjungan turis. Ada dua mbaru niang di luar lingkaran inti perkampungan sebagai tempat menginap, kapasitasnya masng-masing 35 orang.
Dari testimoni yang disirap, pengunjung umumnya puas berkunjung atau menginap di sana. Selain sensasi hawa dingin dan kopi spesial dari kebun petani, pemandangan di sana luar biasa.
Kampung Wae Rebo di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut itu menjadi potret lukisan alami yang indah. Saat malam hari, bintang-bintang di langit tampak begitu terang.
Â