Lompatan Desa Lompat Batu Bawomataluo Nias

Desa Bawomataluo Nias ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Tak hanya atraksi lompat batu semata.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Agu 2017, 07:00 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2017, 07:00 WIB
Memukaunya Tradisi Lompat Batu di Nias
Pemuda yang terpilih sebagai pelompat batu adalah pemuda yang memiliki fisik yang kua

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan Desa Bawömataluo sebagai Cagar Budaya Nasional (CBN). Desa Bawömataluo yang dikenal dengan atraksi [lompat batu](2569428/ "") (hombo batu) itu ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional (CBPN) bersama satu kawasan lainnya di Sumatera Barat.

"Menetapkan Kawasan Cagar Budaya Perkampungan Ada Jorong Padang Ranah dan Tanah Bato Nagari Sijunjung dan Kawasan Cagar Budaya Permukiman, Pemandian dan Pemakaman Tradisional Megalitik Bawömataluo sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional," demikian dikutip dari salinan Surat Keputusan (SK) Mendikbud No. 186/M/2017 tertanggal 6 Juli 2017.

Plt. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Kepemudaan Olahraga Kabupaten Nias Selatan Anggreani Dachi, seperti dikutip Nias Satu, membenarkan pihaknya telah mendapatkan salinan SK tersebut pada 18 Agustus 2017.

Area yang ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya tidak hanya kawasan pemukiman, tetapi juga area pemandian dan pemakaman tradisional di mana salah satunya makam Raja Saonigeho berada. Area kawasan CBPN Desa Bawömataluo seluas 25,53 hektare.

Penetapan sebagai CBPN tersebut mengacu pada rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya Nasional. Dalam SK tersebut juga diatur larangan di kawasan CBPN tersebut dan pengaturan mengenai perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan terhadap kawasan CBPN merujuk pada Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya dan aturan pelaksanaannya.

Lampiran SK juga mengulas secara ringkas  sejarah terbentuknya Desa Bawömataluo. Juga berbagai keunikan dan kekayaan budaya di desa itu dan kondisinya saat ini yang menjadi dasar pertimbangan penetapan sebagai cagar budaya nasional.

Selanjutnya, juga mengulas sejarah penanganan pelestarian desa tersebut dan riwayat penelitian yang pernah dilakukan, baik oleh Indonesia maupun para peneliti luar negeri. Termasuk penelitian oleh Pastor Johannes Hammerle dan juga penelitian bersama antara UGM dan Universitas Tsukuba, Jepang yang dipimpin Prof. T. Yoyok Wahyu Subroto.

Status kepemilikan dan/atau pengelolaan Kawasan cagar budaya pemukiman, pemandian dan pemakaman tradisional megalitik Bawömataluo dimiliki dan dikelola bersama oleh masyarakat Desa Bawömataluo, Pemerintah Desa Bawömataluo dan Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh yang membawahi wilayah Aceh dan Sumatera Utara. Dengan penetapan ini, desa tempat tradisi lompat batu itu niscaya makin terjaga.

Desa Bawomataluo dan Atraksi Lompat Batu

Bawomataluo, Desa Adat Nias di Bukit Matahari
Anak tangga menuju gerbang Desa Bawomataluo / Foto : Retno Wulandari

Desa Bawomataluo adalah ikon utama Pulau Nias. Aset heritage dan budaya terpelihara kuat di sini. Desa ini adalah ibu kota desa-desa adat yang tersebar di Nias. Lokasinya di Kecamatan Fanayama, Telukdalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.

Bawomataluo dalam bahasa Nias berarti bukit matahari. Lokasi desa itu memang di atas bukit yang telah ada sejak berabad-abad lalu dan masih terpelihara dengan baik.

Menuju desa itu harus mendaki bukit dengan kemiringan lebih dari 45 derajat melalui 77 anak tangga berbahan batu alam tersusun rapi. Kampung bukit matahari terletak di atas sebuah bukit dengan ketinggian 270 meter di atas permukaan laut. Konon para leluhur orang Nias memilih tinggal di atas bukit untuk bersembunyi dari serangan musuh.

Tiba di ujung anak tangga, seperti dilaporkan Retno Wlandari dari Liputan6.com beberapa waktu lalu, kita dapat menyaksikan pemandangan dengan latar belakang Desa Orahili dan pemandangan Pantai Sorake serta Teluk Lagundri di kejauhan. Pantai Lagundri dan Pantai Sorake dikenal sebagai surga surfing bagi para pecinta olah raga selancar.

Tak jauh dari gerbang desa adat Bawomataluo, deretan omo hada mulai terlihat di sisi kanan kiri jalan. Sekilas deretan omo hada tampak sama, namun jika diperhatikan akan terlihat perbedaannya, yakni pada ukuran rumah, tinggi rumah, serta jalan masuk (tangga) ke dalam rumah. Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan golongan sosial/ tingkat strata pemilik rumah.

Semakin dalam menapaki perkampungan Bawomataluo, terlihat sebuah batu setinggi 2,15 meter yang menjadi tempat untuk lompat batu (Fahombo atau Hombo Batu dalam bahasa Nias) dan rumah adat dengan atap tinggi menjulang yang disebut Omo Sebua (Rumah Raja) di sebelah kiri dan Omo Bale (Balai Desa) di sebelah kanan.

Tak hanya atraksi lompat batu, atraksi budaya yang bisa kita nikmati di Desa Bawomataluo adalah Tari Fataele atau tari perang. Tarian ini siap menyambut kedatangan tamu kehormatan yang singgah.

Tari perang diperagakan oleh lebih dari 50 pria, tua maupun muda. Mereka menggunakan pakaian tradisi berwarna hitam dan kuning, pakaian dari ijuk serta kulit pohon, aksesori berbentuk penutup kepala, tanduk kerbau yang ditancapkan di hidung, serta persenjataan lengkap seperti tombak, tameng, belati dan pedang bernama pedang Tologu.

Mereka terbagi dalam dua grup yang sama-sama bertemu. Lalu saling mendekat seakan tengah bertarung, dengan maju-mundur selaras serta lari-lari kecil.

Tari perang menceritakan perihal kehidupan orang-orang Nias zaman dahulu yang sering berperang antar kampung. Permasalahannya tidak jauh-jauh dari masalah perebutan tempat.

Legenda Lompat Batu

Kenalkan Seni dan Kebudayaan, Pemuda Nias Lompat Batu di CFD
Seorang pria melakukan fahombo di sebuah acara pagelaran seni dan kebudayaan Nias di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Minggu (12/2). Acara ini digelar dalam rangka memperkenalkan kebudayaan Nias kepada para pengunjung Car Free Day. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Warga Desa Bawomataluo masih mempertahankan tradisi lompat batu. Atraksi ini terabadikan dalam salah satu seri uang rupiah pecahan Rp 1.ooo.
Para pelompat batu menurunkan keahliannya kepada generasi selanjutnya.

Tafoelenehe, mantan pelompat batu, bercerita, dahulu antar desa saling berebut kekuasaan, sehingga raja mengumpulkan anak muda untuk ikut berperang.

"Loncat batu itu jadi titik tolak ikut perang, yang bisa melompati batu bisa ikut perang," ujarnya dalam sebuah kesempatan wawancara, dilansir dari Antara.

Tafoelenehe mengaku bangga foto dirinya dapat terpampang dalam uang pecahan seribu rupiah keluaran Bank Indonesia tahun 1992.

"Saya tidak tahu, tiba-tiba foto saya ada di uang seribu," katanya.

Menjadi seorang pelompat batu merupakan suatu tradisi turun temurun. Tafoelenehe mulai berlatih lompat batu sejak usia 6 tahun.

"Orang tua saya dulu pelompat, anak saya sekarang juga pelompat," katanya.

Untuk menjadi seorang pelompat, seorang anak harus berlatih secara bertahap. Setelah seorang anak dapat melewati batu untuk pertama kalinya, kesuksesan anak tersebut harus dipestakan.

Ayam putih jantan yang dimasak keseluruhan, tanpa dipotong-potong menjadi syarat dalam pesta ini. Hal ini dimaksudkan agar anak tersebut dapat terbang melayang seperti ayam.

Menurut Tafoelenehe, tidak sembarangan orang dapat menjadi pelompat batu, perlu keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi untuk menekuni profesi ini.

Tafoelenehe sejak tahun 2005 memutuskan untuk berhenti melompat batu, kini menjadi pelatih lompat batu untuk melestarikan warisan budaya tersebut.

Pria yang sehari-harinya bertani dan berkebun ini telah berhasil mewariskan salah satu budaya Indonesia kepada anaknya sendiri Triswan Putra Nias.

Tafolenehe juga berhasil melatih generasi penerus lompat batu di Nias, salah satunya Imran (25) yang muncul dalam iklan suatu merek minuman berenergi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya