Liputan6.com, Bandung - Kelompok buruh dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jawa Barat menolak penetapan upah minimum provinsi (UMP) senilai Rp 1.544.360,67 yang berlaku awal 2018. Sementara, UMP Jawa Barat 2017 senilai Rp 1.420.624,29.
Mereka beralasan penetapan UMP 2018 oleh pemerintah kemarin, berdasarkan Pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003.
Menurut Ketua SPSI Jawa Barat Roy Jinto, pemerintah setempat seharusnya tunduk terhadap peraturan yang kedudukannya lebih tinggi. Untuk itu, pemerintah semestinya menetapkan kenaikan UMP melalui survei pasar untuk menentukan kebutuhan hidup layak.
Advertisement
"Dalam undang-undang itu jelas, yang namanya upah minimum itu harus ditetapkan berdasarkan KHL dengan memperhatikan inflansi, pertumbuhan ekonomi, dan perusahaan tidak mampu," kata Roy kepada Liputan6.com melalui telepon, Bandung, Kamis (2/11/2017).
Baca Juga
Roy juga menyebut pemberlakuan UMP di Provinsi Jawa Barat tidak diperlukan. Pasalnya, sistem pengupahan di 26 kabupaten kota yang ada menggunakan upah minimum kota (UMK) untuk masing-masing daerah.
Ia mengaku heran dengan sikap pemerintah Jawa Barat yang bersikukuh berpatokan pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dalam penetapan upah minimum, meski kedudukannya hanya sebagai penjelasan peraturan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
"UMP itu hanya berdasarkan inflansi dan kebutuhan ekonomi secara nasional untuk itu kami akan melayangkan gugatan hukum ke PTUN," ujar Roy Jinto.
Pemerintah Jawa Barat pada Oktober 2017 telah menetapkan UMP 2018 dengan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang besarannya dihitung berdasarkan perhitungan UMP tahun berjalan atau 2017 ditambah penjumlahan tingkat inflansi nasional dan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto 2017.
Saksikan video pilihan berikut:
Â
Â
Besaran UMK Cirebon
Penetapan upah minimum kota (UMK) Cirebon 2018 berlangsung cukup alot. Beberapa elemen dari Dewan Pengupahan (DP) Kota Cirebon sempat bersitegang menetapkan nilai penambahan pada UMK tahun depan.
Ketua DP Kota Cirebon Alisyamsu Aliamsyah mengatakan, alotnya pembahasan UMK lantaran nilai penetapan tidak dibulatkan. Jika tahun ini UMK Kota Cirebon sebesar Rp 1.741.682,96, tahun depan naik sebesar 8,71 persen menjadi Rp 1.893.383,54.
"Dalam pembahasan maunya dibulatkan menjadi Rp 1,9 juta tapi forum ada yang setuju ada yang tidak," ujar dia, Rabu, 1 November 2017.
Dalam pembahasan itu, rapat sempat dihentikan lantaran lantaran tim DP Kota memberi kesempatan melakukan lobi-lobi. Meski begitu, ia mengatakan langkah tersebut belum juga menemukan titik terang.
Oleh karena itu, pimpinan rapat mengambil langkah voting untuk menentukan suara terbanyak. Dari voting tersebut, kata dia, disepakati bahwa pada 2018 nanti, UMK Cirebon mengalami kenaikan sebesar Rp 151.700,59.
Kenaikan nominal UMK di Kota Cirebon, lanjut dia, mengacu kepada PP Nomor 78 Tahun 2015, di mana untuk menentukan UMK di daerah. Dia menjelaskan, formulasi penghitungan UMK secara umum bisa digambarkan dengan melihat upah minimum tahun berjalan ditambah dengan inflasi serta produk domestik bruto (PDB).
"Ketika inflasi ditambahkan dengan PDB, maka diperoleh angka 8,71 persen dari UMK tahun berjalan. Akhirnya kita temukan hasil 8,71, dan dinominalkan menjadi Rp. 151.700,59, itulah peningkatan untuk UMK tahun 2018 mendatang," tutur Alisyamsu.
Hasil rapat DP Kota Cirebon, sebut dia, akan dilaporkan kepada wali kota untuk kemudian ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat.
"Berita acara kita serahkan kepada Pak Wali untuk dilanjutkan kepada Gubernur, kita juga akan sebar surat edaran kepada semua perusahaan sebagai pegangan di tahun 2018, semua sudah menerapkan UMK yang baru," kata Alisyamsu.
Advertisement
Didukung Pengusaha
Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kota Cirebon, Aloysius Bowo Hari Nugroho menyampaikan adanya kenaikan ini akan menjadi acuan bagi pihaknya untuk menyusun anggaran pada tahun-tahun mendatang.
"Kita tidak keberatan, justru menguntungkan Apindo, di mana para pengusaha akan bisa menyusun budgeting untuk pengupahan di tahun-tahun yang akan datang," kata Bowo.
Sekjen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Cirebon Raya Mohamad Machbub mengatakan, penetapan UMK dengan menggunakan formula yang tertera dalam PP Nomor 78/2015 sangat tidak logis karena tidak melalui survei kebutuhan hidup layak (KHL).
"Kami menolak penetapan itu mas formulasi penetapan dengan UMK yang ada pada PP Nomor 78/2015 tidak mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL), sedangkan di lapangan semua harga juga meningkat, ditambah kami tidak pernah dilibatkan di dalamnya. Kami juga tidak dilibatkan dalam forum," ungkap Machbub.
Sesuai dengan surat edaran Kemenaker pada 13 Oktober 2017 lalu, pada poin 8 dijelaskan bahwa bagi daerah yang UMK pada 2015, 2016, dan 2017 masih di bawah nilai KHL, wajib menyesuaikan upah minimum sama dengan KHL pada 2018 nanti.
"Di Kota Cirebon, UMK yang ada itu masih sangat jauh dari angka kebutuhan hidup layak para pekerja Mas, dan dalam surat edaran dari kementerian itu, mewajibkan bagi daerah untuk memenuhi nominal KHL," lanjut dia.
Maka itu, lanjut Machbub, FSPMI akan meminta kepada Dewan Pengupahan Kota Cirebon untuk mengkaji ulang penetapan UMK 2018 mendatang dengan melakukan survei KHL di lapangan.
"Kemungkinan terburuknya kami akan ajukan gugatan ke PTUN. FSPMI menolak apa pun rumusan penetapan UMK yang berlandaskan PP Nomor 78/2015," kata Machbub.