Pertaruhan Masa Depan Anin dan Afif Setelah Dikeluarkan dari SMAN 1 Semarang

Kepastian Anin dan Afif, dua siswa SMAN 1 Semarang yang dikeluarkan, mengikuti Ujian Nasional belum jelas, padahal batas pendaftarannya jatuh pada hari ini.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 01 Mar 2018, 08:05 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2018, 08:05 WIB
Pemecatan Anin dan Afif dari SMAN 1 Semarang
Profesor Rustono, Ketua Dewan Pendidikan Jawa Tengah. (dok. Unnes/Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Semarang - Kebijakan SMA Negeri 1 Semarang mengeluarkan dua siswanya karena dinilai keliru saat menjalankan tugas OSIS mendapat sorotan dari Dewan Pendidikan Jawa Tengah. Ada tujuh hal yang disampaikan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Tengah, Prof Rustono.

Menurut Rustono, hal utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan masa depan Anin dan Afif. Ini terkait dengan penyelenggaraan Ujian Nasional yang batas waktu pendaftarannya pada Kamis (1/3/2018).

"Menyelamatkan ini harus menjadi dasar pemikiran," kata Rustono kepada Liputan6.com, Rabu (28/3/2018).

Hal kedua yang harus dilakukan adalah SMA Negeri 1 Semarang serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah harus mampu menahan prasangka buruk dan emosi. Penyelesaian harus dingin dan jangan malas mengevaluasi.

"Ada kebijakan pemerintah yang bisa dievaluasi. Nah, kebijakan sekolah ini masa tidak bisa dievaluasi?" kata Rustono.

Yang ketiga adalah mengembalikan logika bahwa semua orang punya kelebihan dan kekurangan, termasuk Anin dan Afif. Di balik hal yang dianggap sekolah sebagai kekurangan, tentu mereka memiliki kelebihan.

Anindya Puspita Helga Nur Fadhil mencoba tegar dan tak menunjukkan kegelisahannya terutama di hadapan orang tuanya. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

"Misalnya anak-anak ini benar melakukan pemukulan, misalnya lho. Lihat prestasinya lebih banyak atau tidak. Kesalahan dibandingkan dengan prestasinya. Itu kalau benar-benar mereka bersalah," katanya.

Yang keempat, aparatur sipil negara seharusnya saat membuat aturan tidak mendiskreditkan yang lain. Harus berposisi netral dan penuh pertimbangan.

"Komunikasi dengan berbagai pihak sebelum membuat keputusan. Apalagi menyangkut anak-anak," kata Rustono.

Anin dan Afif harus segera diselamatkan, karena waktu pendaftaran Ujian Nasional sudah di ujung waktu. Jika tidak difasilitasi, salah satu jalan masa depan anak-anak itu sudah dirampas negara.

"Terakhir, Dinas Pendidikan dan SMA Negeri 1 Semarang harus segera mengambil langkah sesuai masukan dari Dewan Pendidikan," kata Rustono.

 

BP3AKB Menemukan Aturan Aneh

Pemecatan Anin dan Afif dari SMAN 1 Semarang
Kepala Badan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Jawa Tengah (BP3AKB), Sri Winarna. (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Sementara itu, Kepala Badan Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga Berencana Jawa Tengah (BP3AKB) Sri Winarna juga mendesak Komite Sekolah untuk bersifat objektif.

Komite Sekolah bisa mengambil sikap dengan memberi masukan pada sekolah, apakah masih kekeh menetapkan keputusan itu atau mengevaluasi. Menurutnya, itu akan jadi berita hangat.

"Pak Tarno (Komite) bisa memberi masukan yang baik pada Bu Endang, selaku kepala sekolah," kata Sri Winarna dalam forum mediasi yang digelarnya.

Dalam forum mediasi itu, persoalan yang mengemuka adalah persoalan tata tertib. Menurut orangtua atau wali murid, peraturan yang digunakan sebagai dasar memberi sanksi itu cacat.

Selain tak ada pengesahan, juga tidak tersampaikan dengan baik kepada siswa dan wali murid. Hanya saja, komite sekolah tetap ngotot bahwa tata tertib itu harus ditegakkan.

"Dua anak ini menjadi korban keputusan sekolah. Komite sekolah, dan dinas pendidikan juga kepala sekolah serta dewan guru kan sudah tahu hal seperti itu sudah ada sejak puluhan tahun. Nah, yang kami persoalkan adalah bagaimana pihak sekolah memberi tahapan pembelajaran pada siswa," kata Sri Winarna.

Sebagai lembaga negara, BP3AKB tidak menoleransi adanya kekerasan. Namun, tahap pembinaan harus dilakukan yang melibatkan guru, sekolah, komite orangtua dan siswa sendiri, karena ini tradisi turun temurun yang bahkan sudah ada sejak anak-anak itu belum lahir.

"Namanya LDK pasti ada yang namanya kontak fisik. Sekolah berdalih dikeluarkan itu sebagai shock therapy. Itu tidak benar. Harus bertahap," kata Sri Winarna.

Dari aturan yang menjadi dasar, Sri Winarna sudah menemukan kejanggalan. Ada dua tata tertib. Yang tertulis dan tidak tertulis.

"Ukuran untuk tata tertib yang tidak tertulis namun berpoin inilah yang sulit diukur. Bagaimana klasifikasinya, hanya sekolah yang tahu. Itu kan aneh. Tahu-tahu mendapat poin di atas 100 tanpa tahu kesalahannya apa," kata Sri Winarna.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya