Kasus SMAN 1 Semarang, Begini Reaksi Siswa

Kasus SMAN 1 Semarang membingungkan siswa. Aturan poin ada bulan Januari 2018 dan belum disampaikan ke siswa, sementara kegiatan LDK bulan November 2017.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 28 Feb 2018, 07:30 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2018, 07:30 WIB
sma 1
Kepala Sekolah SMA N 1 Semarang Endang Suyatmi (kerudung ungu) ditemani Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah saat memberi penjelasan terkait kasus Anin. (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Kisah dua siswa SMA 1 Semarang yang dikeluarkan karena menjalankan tugas sebagai pengurus OSIS ternyata mendapat respons dari adik-adik kelas mereka. Rata-rata mereka menyebutkan bahwa sekolah bertindak sewenang-wenang.

Atun, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu peserta LDK. Ia mengaku bahwa kejadian semacam itu tiap tahun terjadi, bahkan ada yang lebih parah. Namun, menurut Atun, itu tidak bisa dikategorikan perundungan atau bullying. Menurut Atun, tak ada kebencian ketika ada kontak fisik dan kata kasar dalam LDK.

"Saya juga mengalami. Saya yakin sekolah tahu karena pas kegiatan kan ada guru yang mengawasi juga," kata Atun.

Kejadian ini, ujar Atun, sudah tradisi turun-temurun dan sekolah tidak bisa membantah mengetahui adanya LDK. Atun pun mempertanyakan kasus Anin sama Afif, kenapa menjadi besar dan berlarut-larut, bahkan sampai dikeluarkan.

"Ini bukan bullying, bagaimana bisa bullying, ini ada kesepakatan dua belah pihak. Jadi kalau seorang siswa dipukul karena ada rasa kebencian bisa masuk tindak bullying. Ini masuknya sistem pelatihan. Terlebih, SMANSA kental dalam memegang tradisi, karena sekolah ini juga masuk cagar budaya," kata Atun, Selasa (27/2/2018).

Atun juga menjelaskan bahwa di sekolah diberlakukan sistem peringatan, yakni SP 1, 2, dan 3. Pemberiannya pun dilakukan secara bertahap. Setelah diberi peringatan ketiga baru proses pengembalian atau pengeluaran siswa. Itu pun tidak bisa langsung diberikan peringatan ketiga.

"Ini tiba-tiba ada peraturan baru, yakni pemberlakuan poin mulai Januari 2018. Peraturan ini berlaku dua bulan setelah proses LDK. Entahlah apa yang terjadi," katanya.

Dengan sistem poin itu, siswa akan dikembalikan pada orangtua jika perolehan poinnya melebihi 100 poin. Atun mengaku tak masalah dengan peraturan itu. Namun, ia mengingatkan sanksi kepada Anin dan Afif sangat tidak manusiawi. Sebab, kata Atun, masuk SMA Negeri 1 Semarang sangat ketat dan seleksinya berbeda dengan SMA lainnya.

"Dua bulan lagi ujian, mereka tiga tahun di sini percuma. Mereka membawa nama baik sekolah sudah tiga tahun, justru di saat akhir kena sliding tackle dengan keras dan tak ada pembelaan," kata Atun.

Yang paling menyesakkan, mereka tidak diberi surat dikembalikan ke orang tua, tapi direkayasa seakan-akan mereka mengundurkan diri.

"Anin tidak mau tanda tangan, Afif dipaksa tanda tangan dengan ancaman. Ini kan SMA Negeri 1 Semarang juga melanggar karena mengancam. Mengintimidasi," kata Atun.

 

Kepsek Mengaku Memberi Poin Seketika

sma 1
Badge tanda lokasi SMA N 1 Semarang, masihkah membanggakan? (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Sebenarnya banyak siswa yang merasa itu tak adil. Para siswa itu menolak disebut korban bullying.

"Mereka tidak nge-bully. Sekolah tidak tahu hubungan kami yang seperti kakak adik. Bukan kedua orang yang saling membenci. Saling memberi ilmu, itu yang dirasa. Bukan ditindas bukan di-bully. Kalau mereka melakukan kekerasan, kami yang melapor," kata Atun.

Atas tindakan sepihak dari sekolah tersebut, siswa-siswa merasa kecewa. Namun, mereka tidak bisa mencampuri birokrasi sekolah. Dia mengatakan bahwa di sini mereka cuma sebagai pelajar. Para siswa itu kini merasa ketakutan karena sekolah menjadi tidak nyaman.

"Dilema. Kami tidak tahu peraturannya harus bagaimana. Yang merasa dipukul saja tidak mempermasalahkan atau merasa disakiti. Mestinya sekolah jadi pihak ketiga, sebagai mediator, bukan pemberi keputusan," katanya.

Sementara itu, Kepala Sekolah SMAN 1 Semarang, Endang Suyatmi L, mengatakan bahwa dalam memberikan pembinaan terhadap dua siswa tersebut, pihak sekolah telah melakukan pemikiran dan penelusuran panjang. Sanksi dari sekolah sesuai regulasi yang ada di sekolah berupa tatib. Bentuk pembinaannya supaya terjadi kondusivitas, agar terjadi sekolah ramah anak di SMAN 1 Semarang.

"Akhirnya kami kembalikan pada orangtua. Dan alhamdulillah difasilitasi kepala dinas di sekolah Semarang bagian timur, yakni SMA 11 dan yang satu di daerah Mangkang, yakni SMA 13. Juga karena kurikulum yang dipakai di sekolah itu sama dengan SMA 1, yakni kurikulum 2013," kata Endang di kantor Dinas Pendidikan dan kebudayaan Jateng, Selasa (27/2/2018).

Menurut Endang kekerasan sekecil apa pun tidak dibenarkan. Ini adalah proses pembenahan moral mental, agar lebih baik, terlebih dia mengklaim bahwa SMANSA menjadi salah satu SMA favorit.

"Ini menjadi shock therapy, agar anak-anak kami lebih memahami tata tertib sekolah. Meskipun sebelum buku tatib terbit," kata Endang.

Dia menjelaskan poin yang diterima Anin adalah memakai fasilitas tidak semestinya sebanyak 5 poin, menyakiti 20 poin, mengancam di dalam sekolah 50, mengintimidasi 50 poin. Jadi total poin kesalahan Anin 135 poin, sementara Afif 130 poin.

"Poin itu memang diberikan dalam waktu bersamaan. Dalam satu waktu," kata Endang.

 

Media Dilarang Melihat Video Bukti

sma 1
Dalam setiap obrolan, siswa SMA N 1 selalu membicarakan kasus Anin dan Afif secara diam-diam tanpa sepengetahuan guru. (foto : liputan6.com / edhie prayitno ige)

Sementara itu salah satu guru BP, Priti, ketika ditanya terkait mediasi dia mengatakan tidak perlu mediasi karena itu bukan laporan, tapi temuan sekolah dan sekolah punya otoritas.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Gatot, menambahkan bahwa apa yang dilakukan pihak SMAN 1 Semarang sudah sesuai, karena menggandeng komite sekolah guru, OSIS, dan siswa.

"Setelah mengumpulkan data, dua anak dikembalikan pada orangtua. Yang lain kena skors," katanya.

Indah, salah satu orangtua siswa yang terkena sanksi mengatakan bahwa pada awal pertemuan antara sekolah dengan wali murid siswa terkena sanksi, Kepala Sekolah SMAN 1 Semarang, Endang sempat menyinggung keterkaitan video yang di dalamnya terdapat Anin dan Afif dengan kematian salah satu siswa di kolam renang Jati Diri, BT pada 7 Januari silam.

"Kepala sekolah menyebutkan bahwa adegan dalam video itu terkait dengan kematian Bintang. Ini ngawur. LDK bulan November 2017, kematian bintang bulan Januari 2018 di kolam renang stadion Jatidiri. Jauh banget," kata Indah.

Namun, memang pada akhir Januari 2018 itu ada tiga orangtua siswa yang mengadu ke sekolah karena merasa anaknya menjadi korban bullying. Salah satunya orangtua BT.

"Setelah itu pihak sekolah melakukan razia handphone siswa. Dan ditemukan video di LDK tersebut," katanya.

Menurut Indah, atas dasar video tersebut, Kepala Sekolah bersikeras telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan utamanya oleh Anin dan Afif. Video itu diputarkan oleh kepala sekolah kepada pihak-pihak yang tak terkait. Justru kepada wali murid siswa terkena skorsing tak ditunjukkan.

"Kami tidak pernah dikasih lihat," katanya.

Kepala Sekolah SMA Negeri 1 Semarang, Endang juga sempat menawarkan memutar video itu saat berada di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Sayangnya, oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dilarang.

"Tidak usah tidak usah. Tidak usah diputar," kata Gatot Bambang Hastowo.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya