Kisah Traumatis Warga Gili Trawangan Korban Gempa Lombok

Warga Gili Trawangan trauma mengenang gempa yang membuat mereka kocar-kacir tanpa membawa perbekalan yang cukup setelah pulau itu diguncang gempa Lombok.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Agu 2018, 11:02 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2018, 11:02 WIB
PLN memastikan pasokan listrik untuk Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan hari ini sudah menyala kembali usai gempa besar pada minggu (5/8/2018) lalu. (Foto:Humas PLN)
PLN memastikan pasokan listrik untuk Gili Air, Gili Meno, dan Gili Trawangan hari ini sudah menyala kembali usai gempa besar pada minggu (5/8/2018) lalu. (Foto:Humas PLN)

Liputan6.com, Singaraja - Seorang warga Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, yakni Maulidin (33), terpaksa memboyong keluarganya untuk mengungsi hingga ke wilayah Seririt, Buleleng, karena trauma terhadap gempa yang mengguncang wilayahnya.

"Hampir setiap hari, kami khawatir dengan gempa. Karena itu, kami mengungsi ke Kecamatan Seririt sejak Rabu (15/8/2018) dan menumpang di rumah orangtua sampai kondisi di Lombok Utara dinyatakan kondusif," kata Maulidin di Singaraja, Selasa (21/8/2018), dilansir Antara.

Maulidin yang mengungsi ke Seririt bersama istri dan dua orang anaknya itu menjelaskan, ia bekerja sebagai pedagang nasi campur di Lombok. Namun, gempa yang terjadi beberapa kali menyebabkan rumahnya rusak.

"Beberapa bagian tembok rumah saya retak, hingga saya tidak berani untuk masuk, apalagi tidur di dalam rumah," katanya.

Saat gempa pertama terjadi pada Minggu malam, 5 Agustus 2018, ia bersama istri dan anaknya sempat mengungsi ke bukit Gili Trawangan. Mereka berjalan kaki dari rumah menuju ke bukit tersebut sejauh kurang lebih 1 kilometer.

"Kami takut adanya bencana tsunami. Di bukit, kami tidur beratapkan langit, alasnya hanya seprai. Belum ada tenda waktu itu," ujarnya.

Dalam kondisi darurat itu, anak keduanya yang masih berusia 1 tahun 8 bulan ikut dibawa serta. Namun, ia lupa membawa jaket hingga balita itu kedinginan. "Sampai akhirnya jatuh sakit, dia batuk dan flu," katanya.

Dari Gili Trawangan, ia pindah lokasi pengungsian di Lapangan Sambi Bongkol, Kecamatan Bayan, Lombok Utara. Trauma akibat hampir setiap hari gempa mengguncang wilayah Lombok Utara, ia akhirnya mengajak anak dan istrinya mengungsi ke rumah orangtuanya di Kecamatan Seririt, Buleleng.

"Saya tetap akan kembali ke Lombok, karena mata pencaharian saya ada di sana, tapi tidak dalam waktu dekat ini," katanya.

Secara terpisah, Lurah Seririt, I Gusti Bagus Sarpa Wijaya mengatakan pihaknya akan melaporkan keberadaan pengungsi dari Lombok Utara itu kepada Dinas Sosial atau Badan Penanggulangan Bencana Derah (BPBD) Kabupaten Buleleng.

"Siapa tahu nanti pengungsi ini bisa diberi bantuan. Secepatnya akan saya setorkan data dari keluarga Maulidin ini. Sejauh ini, baru keluarga Maulidin yang terpantau mengungsi ke Seririt," katanya.

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

 

Sekolah Buka Pintu

[Bintang] Keindahan Gili Trawangan Sebelum Terjadi Gempa Lombok
Beginilah keindahan Gili Trawangan sebelum terjadi gempa Lombok pada Minggu (5/8/2018). (M Husni Mubarrok/ Liputan6.com)

Sementara itu, sekolah di Kabupaten Jembrana, Bali menampung anak pengungsi korban gempa Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat(NTB) agar tidak terputus pendidikannya. Seperti yang dilakukan SD Negeri 2 Pengambengan, Kecamatan Negara, yang menampung Dewi Sekar Ayu (10), salah seorang anak pengungsi yang mulai masuk ke sekolah tersebut pada hari ini.

"Kebetulan orangtua anak ini tinggal sementara di rumah saudaranya dekat sekolah ini. Biar tidak terputus pelajaran sekolahnya, kami menyediakan tempat untuk menampungnya," kata Kepala SD Negeri 2 Pengambengan, Karyono.

Ia mengatakan, kepada wali kelas V tempat Dewi belajar agar memberikan perhatian khusus karena anak ini masih trauma, khususnya saat berada di dalam gedung. Kepada Dewi, ia juga menyakinkan bahwa ruang kelas yang ditempatinya aman dan tidak perlu khawatir agar bisa fokus dalam mengikuti pelajaran.

"Kami akan memantau terus anak ini, kami bisa memahami trauma yang dia alami. Nanti teman-teman sekelasnya juga biar membantu agar dia kembali ceria," katanya.

Karena kondisi darurat, sambung dia, Dewi dibebaskan dari seluruh biaya sekolah, sampai diajak kembali orangtuanya ke Lombok. Di sisi lain, perhatian terhadap anak pengungsi gempa Lombok terus mengalir dari masyarakat Desa Pengambengan, termasuk memberikan bantuan peralatan sekolah seperti tas, sepatu, dan alat tulis.

"Seluruh peralatan sekolah untuk Dewi sudah siap, tinggal menyerahkan saja ke orangtuanya. Dengan kebersamaan kita pasti bisa membantu sesama," kata Rafiq, aparat Desa Pengambengan yang bersama warga lainnya.

Bantuan dalam bentuk lain juga disiapkan oleh Yasir Najih, salah seorang tokoh pemuda Desa Pengambengan, yang akan diserahkan kepada orangtua Dewi.

Sebelumnya, Chairul Umar (25), Suyanti (32), bersama dua anaknya, yaitu Dewi Sekar Ayu (9) dan Novian Chairul Putra yang masih berumur 9 bulan, mengungsi ke rumah saudaranya di Dusun Ketapang, Desa Pengambengan pada Jumat, 17 Agustus 2018.

Chairul mengatakan, di Lombok ia tinggal di Pulau Gili Trawangan dan berjualan baju untuk wisatawan, sebelum gempa mengguncang dan menghancurkan sebagian besar bangunan di pulau tersebut.

"Suasana saat itu sangat mencekam, sampai sekarang kami masih trauma. Untuk sementara tinggal di sini dulu, kalau situasi benar-benar aman baru kembali ke sana," katanya.

Karena tidak membawa bekal memadai, Chairul beserta istrinya bekerja serabutan, termasuk dengan membantu mendorong sampan dan melepaskan ikan dari jaring nelayan untuk mendapatkan upah sekadarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya