Seruan Damai dan Upaya Meredam Reaksi Insiden Pembakaran Bendera HTI

Insiden pembakaran bendera HTI pada peringatan hari santri di Garut Jawa Barat memicu kontroversi yang dikhawatirkan meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 25 Okt 2018, 07:02 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2018, 07:02 WIB
Konvoi HTI pada Maret 2017 di Cilacap. (Foto: Liputan6.com/FKUB Cilacap/Muhamad Ridlo)
Konvoi HTI pada Maret 2017 di Cilacap. (Foto: Liputan6.com/FKUB Cilacap/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Insiden pembakaran bendera HTI pada peringatan hari santri di Garut Jawa Barat memicu kontroversi yang dikhawatirkan meluas ke daerah-daerah lain di Indonesia. Di Solo, Jawa Tengah, misalnya, kelompok tertentu menggelar demonstrasi memprotes pembakaran itu.

Kelompok tersebut menganggap bahwa pembakaran bendera HTI adalah penistaan terhadap kalimat tauhid. Di sisi lain, ada pula kelompok yang berkukuh bahwa yang dibakar adalah simbol HTI, sebuah organisasi yang dibubarkan pemerintah dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Dua kubu yang saling berseberangan pendapat ini terdapat hampir di seluruh Indonesia. Dikhawatirkan, satu demonstrasi akan memicu demonstrasi lain dari kelompok yang berseberangan.

Belakangan, tersiar kabar akan ada demonstrasi pembakaran bendera HTI di berbagai daerah, termasuk di Cilacap, Jawa Tengah, Jumat, 26 Oktober 2018.

Melihat kondisi ini, Pegiat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Cilacap, Taufik Hidayatullah meminta agar kepolisian tak mengeluarkan izin. Dikhawatirkan, bakal terjadi aksi-reaksi mirip seperti yang terjadi di Garut, Jawa Barat.

"Kami minta agar penegak hukum tidak pernah mengizinkan gerakan kelompok khilafah akan membikin aksi di hari Jumat, setelah salat Jumat. Itu tidak pernah diijinkan," ucapnya, Rabu, 24 Oktober 2018.

Taufik meminta kepolisian dan penegak hukum lainnya bisa melokalisir kasus itu tak meluas hingga ke daerah-daerah lain di luar Garut. Sebabnya, hampir dipastikan demonstrasi kelompok tertentu yang memprotes atau menolak pembakaran bendera HTI itu akan memicu reaksi dari ormas lainnya.

Jika sampai diizinkan, demonstrasi ini justru bisa memicu konflik horizontal antar kelompok. "Pertama harus dilokalisir. Bahwa itu hanya di Garut. Harus dilokalisir," kata Taufik.

Taufik juga khawatir, demonstrasi protes pembakaran bendera HTI itu akan menjadi panggung bagi eks-anggota HTI untuk kembali bergerak. Menurut dia, momentum ini rawan dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengusung ide khilafah.

Usut Tuntas Pengibaran Bendera HTI

Atribut khilafah terpasang di berbagai sudut Cilacap. (Foto: Liputan6.com/FKUB Cilacap/Muhamad Ridlo)
Atribut khilafah terpasang di berbagai sudut Cilacap. (Foto: Liputan6.com/FKUB Cilacap/Muhamad Ridlo)

"Sekecil apapun peluang untuk memanfaatkan isu ini. Saya kira harus diantisipasi oleh penegak hukum," dia menambahkan.

Dia mengemukakan, kelompok Banser-Ansor sudah menyerahkan kasus ini kepada kepolisian dan lebih memilih pasif agar tak memunculkan potensi konflik. Untuk itu, ia pun mengimbau agar kelompok lain yang tak sepaham dan menganggap oknum anggota banser bersalah untuk bersikap serupa dan tak memancing kemarahan Banser-Ansor.

"Saya berharap agar semuanya bisa saling menghormati," dia menambahkan.

Dia juga meminta agar kepolisian segera mengusut insiden pemicu pembakaran, yakni pengibaran bendera HTI di tengah massa Banser-Ansor dalam peringatan hari santri tersebut. Secara pribadi berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh anggota Banser adalah reaksi dari aksi provokasi.

Sebab, dari informasi yang diperolehnya, bendera khilafah HTI juga berkibar di beberapa wilayah lain di Garut dan daerah lain dalam momentum hari santri. Beberapa di antaranya, sempat diamankan atau disita kepolisian. Hanya saja, di Limbangan, bendera yang identik dengan HTI yang merupakan organisasi terlarang itu dibakar.

Dia pun meminta agar kelompok pemrotes pembakaran bendera HTI tak berlebihan bereaksi. Mereka diminta menilik tarikh atau sejarah pada pada masa Khalifah Ustman bin Affan. Saat itu, mushaf yang tak sesuai dengan Mushafnya dibakar lantaran dikhawatirkan menyesatkan.

Kemudian, Pada masa Rasulullah, Mesjid Dhirar, mesjid yang didirikan di dekat Mesjid Quba pun dihancurkan. Masjid ini menjadi sarang kaum munafik.

"Artinya, misalnya itu ada kalimat tauhid, tetapi kemudian digunakan sebagai simbol organisasi terlarang, atau tidak sesuai fungsinya, yang berniat mengganti sistem pemerintahan yang sah, maka tidak bisa dibenarkan," dia menerangkan.

Riwayat 'Perseteruan' HTI dengan Banser-Ansor di Cilacap

Penurunan atribut khilafah yang diduga dipasang oleh HTI Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Banser Cilacap/Muhamad Ridlo)
Penurunan atribut khilafah yang diduga dipasang oleh HTI Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Banser Cilacap/Muhamad Ridlo)

Dalam catatan Liputan6.com, “perseteruan” antara HTI dengan Banser-Ansor di Cilacap sudah beberapa kali terjadi. Terakhir adalah penurunan atribut khilafah, seperti banner, poster, dan spanduk di seantero Cilacap pada akhir Maret 2017.

Atribut khilafah itu diduga dipasang di pertigaan, menempel di pohon pinggir jalan, dan bahkan tembok pagar luar sekolah. Riak pun kontan terjadi.

Belakangan, Dewan Pengurus Daerah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kabupaten Cilacap, membantah memasang atribut berupa spanduk atau banner provokasi pendirian negara khilafah dan penerapan syariat Islam.

Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) HTI Cilacap saat itu, David Dwinanto mengatakan HTI tak memasang banner atau spanduk yang diturunkan oleh Barisan Ansor Serbaguna (Banser) NU Cilacap.

Dia menyatakan, hanya melakukan kegiatan berupa pembentangan banner atau spanduk di beberapa titik Cilacap sesuai dengan izin yang diajukan ke Polres Cilacap.

"Yang pertama, tidak ada spanduk yang dipasang Pak. Tidak ada sama sekali spanduk yang dipasang. Kalau ada penurunan spanduk itu, saya tidak tahu siapa spanduknya siapa," ucap David, 5 April 2017.

Meski demikian, di mengakui HTI Cilacap memasang poster yang isinya hampir senada dengan baliho atau spanduk. Soal siapa yang memang spanduk, David mengaku tak tahu. Sebab, HTI sendiri tidak ada yang merasa memasang spanduk dan banner tersebut.

Komandan atau Ketua Satkorcab Ansor Serbaguna (Banser) NU Kabupaten Cilacap, Jamaluddin Albab heran dengan pengakuan pengurus HTI yang tak mengaku memasang spanduk khilafah. Sebab, hingga awal April 2017 itu anggota Banser sudah menurunkan enam atau tujuh spanduk bernada provokatif.

Spanduk itu tersebar di Kecamatan Patimuan, Kedungreja, Sidareja, Cipari, Karangpucung dan Kecamatan Majenang. Selain itu, ratusan poster juga dicopot oleh anggota Banser. Kemudian, atribut ini diserahkan ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

"Kalau bukan HTI siapa yang memasang? Kami menurunkan di enam kecamatan," Jamal menegaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya