Jejak Panglima Termuda Perang Jawa di Bengkulu

Dalam usia 17 tahun, Sentot sudah sukses menjadi panglima perang Jawa. Bahkan saat dipasrahi memimpin pasukan Belanda di tanah Sumatra, Sentot masih menjaga nasionalisme.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Nov 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2018, 16:00 WIB
sentot
Makam Sentot Alibasya di Kota Bengkulu. (foto: Liputan6.com/http://ctzonedehasenbkl.com/edhi prayitno ige)

ctzonedehasenbkl.com, Bengkulu - Keberhasilan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa atau lebih dikenal dengan Perang Diponegoro, tentu tidak bisa lepas dari pasukannya. Salah seorang panglima yang memegang kendali pasukan pelopor yang dibentuk Diponegoro adalah seorang anak muda berusia 17 tahun bernama Sentot Alibasya Mushtofa Prawirodirjo.

Dalam usia yang sangat muda, Sentot dipercaya memegang komando sebanyak 250 orang pasukan pelopor atau lebih dikenal dengan nama "Pasukan Penilih". Keberanian dan kehebatan strategi perang Sentot diakui oleh Belanda yang terlulis dalam buku "De Java Oorlog Van" yang ditulis De Klerek tahun 1825 hingga 1830. Yang menyebutkan bahwa strategi perang Sentot dalam melakukan manuver sangat mencengangkan Belanda.

Sejarawan Bengkulu Agus Setyanto menyebut bahwa Sentot buyut dari Sri Sultan Hamengku Buwowo pertama yang dijebak dan ditangkap melalui perundingan di Madiun. Usai ditangkap, Sentot muda dipaksa untuk memimpin pasukan Belanda dalam perang Paderi di Sumatra Barat.

Tetapi karena kecintaan dan loyalitas sang Panglima yang berjuluk "Napoleon dari tanah Jawa" itu, Sentot malah berkongsi dengan para intelejen pasukan paderi untuk membocorkan informasi pasukan Belanda yang dipimpinnya untuk kepentingan serangan kaum pribumi.

"Belanda yang mengetahui gerakan Sentot marah besar dan menariknya dari Sumatera Barat ke Batavia, lalu mengasingkannya ke wilayah yang tidak memungkinkan dia kembali ke tanah Jawa atau ke Sumatera Barat, yaitu Bengkulu yang saat itu dikuasai Inggris, tepatnya pada tahun 1833," ungkap Agus Setyanto.

Secara genealogis,  Sentot Alibasya masih keturunan keluarga keraton Mataram  (Yogyakarta).  Buyut (Poyang) Sentot Alibasya  yang bernama  Gusti Bendoro Raden Ayu adalah putri Sultan Hamengku Buwono I, yang menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Prawiro Sentiko atau Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo I (buyut/poyang Sentot Alibasya).  

Sultan Hamengku Bowono I mengangkatnya sebagai Bupati Madiun yang ke-14 (1755-1784).  Tahun 1784 Raden Ronggo Prawirodirdjo I (Poyang Sentot Alibasya) wafat dan dimakamkan di Madiun. Selanjutnya, putranya yang bernama Raden Mangundirdjo atau Raden Ronggo Prawirodirdjo II (kakek Sentot Alibasya) menggantikan ayahnya menjadi bupati ke- 15(1784-1797), merangkap Wedono Bupati Mancanegoro Timur. 

Seterusnya,  Raden Ronggo Prawirodirdjo III  (ayah Sentot Alibasya)  menggantikan ayahnya menjadi bupati Madiun yang ke-16 (1797-1810).  Sebagai bupati wedana Mancanegara Timur,  Raden Ronggo Prawirodirdjo III mengawasi tiga wilayah, yaitu Yogyakarta, Wonoasri dan Maospati dengan  jumlah totalnya ada 14 orang bupati. Raden Ronggo Prawirodirdjo III  menikah dengan Kanjeng Gusti Ratu Maduretno, putri  Sultan Hamengkubowono II.

Pangeran Diponegoro dan Sentot Prawirodirjo dengan demikian masih memiliki hubungan saudara.

Selengkapnya bisa dibaca di ctzonedehasenbkl.com dengan klik tautan ini.

Simak video pilihan berikut di bawah.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya