Raden Saleh Tergetar Memegang Keris Pusaka Pangeran Diponegoro

Raden Saleh mendapat kesempatan memegang keris Diponegoro. Keris pusaka yang magis itu bernama Kyai Nogo Siluman.

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 01 Agu 2016, 14:30 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2016, 14:30 WIB
Raden Saleh, Diponegoro
Perjumpaan Raden Saleh dengan Diponegoro

Liputan6.com, Jakarta Raden Saleh beken sebagai pelopor seni lukis modern di Indonesia. Namanya banyak diperbincangkan terkait lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang tersohor itu. Banyak pihak yang menuduhnya tidak nasionalis. Sebab, saat sanak keluarganya bersama Pangeran Diponegoro memerangi Belanda dalam Perang Jawa, ia justru pergi ke Belanda dan mengabdi sebagai “anak” Raja Belanda Willem II.

Lukisannya yang begitu indah dan memukau, yang dibuatnya setelah kembali ke Jawa pada 1857, telah memunculkan polemik terkait sikap nasionalisme Raden Saleh. Lukisan mengharukan berjudul “Historisches Tableau, die Gefangennahmen des Javanischen Hauptling Diepo Negoro” telah memicu para ahli untuk berkomentar. Tak kurang Harsja W. Bachtiar, Peter Carey, hingga Werner Kraus angkat bicara soal lukisan ini—yang dianggap sebagai reformulasi dengan sudut pandang yang berbeda.

Dalam satu kesempatan, Werner Kraus yang juga menjadi kurator pameran “Raden Saleh and the Beginning of Modern Indonesia Painting” di Galeri Nasional Jakarta, mengatakan bahwa “teknik Raden Saleh sempurna.” Menurut Kraus, “Di Belanda, kami masih mempelajari teknik lama ini. Dan bahkan hingga kini, keahliannya masih sangat mengagumkan.”

Raden Saleh, yang tahun kelahirannya diperdebatkan antara 1811 atau 1814, telah hidup kurang lebih 25 tahun di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris) dan menjadi bagian dari sejarah kesenian Eropa.

Kraus menyebut Raden Saleh telah menyerap kebudayaan Eropa, berdebat soal filosofi, dan tentu belajar mengenai seni. Di kemudian hari Raden Saleh membawa pengalaman dan keahliannya ke tanah Jawa untuk berperan serta dalam proses modernisasi tanah kelahirannya.

“Eropa baginya seperti universitas yang besar,” kata Kraus. “Raden Saleh bertemu dengan kaum intelektual papan atas dan semuanya mengakui dia sebagai seorang artis.”

Hubungan Saleh dengan Diponegoro sudah dimulai beberapa tahun sebelum ia kembali ke tanah Jawa. Pada 1831, satu tahun setelah Perang Jawa berakhir, Raden Saleh yang terkenal sebagai seorang pakar budaya Jawa dipanggil untuk melakukan sebuah tugas yang sangat pelik.

Werner Kraus menyebutkan S.R.P van de Kasteele, direktur kabinet yang menangani benda-benda langka, meminta Raden Saleh mengidentifikasi sebuah keris Jawa. Keris itu adalah satu dari beberapa keris sang pangeran yang diambil saat penangkapannya yang penuh pengkhianatan di Magelang pada 1830. Keris itu lalu dikirimkan kepada Raja Willem I sebagai pampasan perang.

Bukan main bergetarnya batin Raden Saleh memegang keris Diponegoro yang agung itu. Keris pusaka yang magis bernama Kyai Nogo Siluman. Tentulah ia mengingat bahwa banyak pihak dari keluarganya yang berkorban di pihak pahlawan Jawa sang pemberontak Belanda.

Kyai berarti tuan. Semua yang dimiliki seorang Raja memakai nama ini. Nogo adalah ular dalam dongeng dengan sebuah mahkota di kepalanya. Siloeman adalah sebuah nama yang terkait dengan bakat-bakat luar biasa, seperti kemampuan untuk menghilang dan seterusnya. Oleh karena itu, nama keris kyai Nogo Siluman berarti raja ular penyihir, sejauh hal itu dimungkinkan untuk menerjemahkan sebuah nama yang megah,” kata Raden Saleh seperti dikutip dari Raden Saleh: Awal Seni Lukis Modern Indonesia.

Meski bergetar, Raden Saleh tentu harus bersikap dingin. Orang tentu tidak menyangka dalam dirinya bergolak perasaan kalut luar biasa. Sesuai watak orang Jawa, ia tidak menonjolkan sikap urakan dan lebih memilih untuk meredam konflik. Namun setelah ia kembali ke Jawa, ia segera membuat sketsa lukisan yang lebih menonjolkan keberpihakannya pada pahlawan Perang Jawa itu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya