Polemik Pabrik Gula Jatitujuh dan Kerugian Negara Rp 2,14 Triliun

Hasil hasil audit BPK terhadap PG Jatitujuh Majalengka dan Indramayu terdapat kerugian negara mencapai Rp 2,14 triliun.

oleh Panji Prayitno diperbarui 30 Nov 2018, 11:03 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2018, 11:03 WIB
Polemik Pabrik Gula Jatitujuh dan Kerugian Negara Rp 2,14 Triliun
Hasil audit BPK Juni 2018 menemukan adanya kerugian negara mencapai Rp 2,14 triliun dalam pengelolaan PG Jatitujuh. Foto (Istimewa)

Liputan6.com, Cirebon - PT PG Rajawali II menyebutkan terdapat kerugian negara sekitar Rp 2,14 triliun dalam pengelolaan Pabrik Gula (PG) Jatitujuh yang beroperasi di antara Kabupaten Majalengka dan Indramayu Jawa Barat.

Nilai kerugian tersebut merupakan hasil audit BPK yang dirilis pada Juni 2018 lalu. Pendudukan paksa lahan yang terjadi di PG Jatitujuh kawasan Indramayu dan Majalengka menjadi penyebab utama terjadinya kerugian.

Kepala Bagian Legal PT Rajawali II, Karpo Budiman Nursi menyebutkan, luas lahan yang diduduki saat ini 5000 hektare di kawasan Indramayu.

"Hasil audit BPK menyebutkan tafsiran kerugian dinilai dari lahan dan tanaman tebu yang tak bisa ditanam," ungkap Karpo, Kamis, 29 November 2018.

Dia menyebutkan, total luas lahan PG Jatitujuh, 11.921 hektare, terdiri dari luas lahan di Majalengka seluas 5.000 hektare, dan luas lahan di Indramayu 6.921 hektare.

Pada Oktober 2018, masyarakat mengokupasi lahan PG Jatitujuh. Masyarakat memanfaatkan sebagian lahan untuk menanam pisang, singkong, palawija, dan membuka lahan sawah.

Persoalan semakin meluas setelah tahun 2016 lalu Mahkamah Agung (MA) memenangkan perkara sengketa lahan PG Jatitujuh. Ribuan warga yang berasal dari luar Indramayu dan Majalengka, menduduki lahan PG Jatitujuh.

"Ini bisa terjadi karena ada praktik calo tanah," ungkap Karpo.

Dia menyebutkan, penyerobotan tanah berawal sejak tahun 2014 oleh sejumlah warga Desa Sukamulya, Cikedung, Jatisura, Mulyasari, Loyang, dan Amis.

Saat itu, warga menuntut agar HGU PG Jatitujuh dihutankan kembali. Jumlah warga yang menduduki lahan kemudian kian bertambah.

"Masing masing 11 desa di Majalengka dan Indramayu. Marena praktik calo dan penipuan, warga lain di luar desa penyangga ikut mengokupasi lahan PG Jatitujuh," ungkap Karpo.

Ia mengatakan, kericuhan tak terbendung akibat sengketa tanah yang terus berulang. Bahkan, tak jarang terjadi bentrok.

Meja Hijau

Polemik Pabrik Gula Jatitujuh dan Kerugian Negara Rp 2,14 Triliun
Hasil audit BPK Juni 2018 menemukan adanya kerugian negara mencapai Rp 2,14 triliun dalam pengelolaan PG Jatitujuh. Foto (Istimewa)

Karpo mengatakan, PG Rajawali tengah melaporkan dua perkara di meja hijau. Lima warga sudah divonis 1 tahun sampai 1,5 tahun penjara.

Mereka dijerat pasal 406 KUHP tentang pengrusakan, dan pasal 170 tentang pengeroyokan. Sementara itu, Karpo menyebutkan masih ada 14 laporan polisi yang dalam proses.

"Salah satu korban pengeroyokan adalah Kabag SDM kami, Pak Dendi Setiadi," sebut Karpo.

Dia mengaku sudah beberapa kali mediasi langsung dengan warga Indramayu dan Majalengka yang tinggal di sekitar lahan PG Jatitujuh. Bahkan, mediasi juga melalui pengurus Nahdlatul Ulama setempat.

Namun, langkah tersebut tidak digubris sehingga PT Rajawali II membawa kasus ini ke meja hijau dan menang. PG Rajawali II mengaku sudah menawarkan program kemitraan dalam bentuk penanaman tebu dengan biaya bibit dan perawatan dari PG Jatitujuh, tetapi ditolak.

Dia mengklaim, lahan yang diokupasi berasal dari kawasan hutan yang diberikan ke PG Jatitujuh melalui proses tukar guling pada tahun 1976.

"Karena hasutan sejumlah LSM yang kami sendiri merasa asing kemudian ribuan warga menduduki lahan PG Jatitujuh. Alasannya, itu lahan untuk rakyat dari kementerian kehutanan dan lingkungan hidup," ujar dia.

Karpo menjelaskan, sesuai PP nomor 10 tahun 2010, PT Rajawali II menyiapkan lahan yang terpencar di 10 kabupaten di Jawa Barat sebagai gantinya. Tahun 2014, menteri pertanian memperpanjang hak guna usaha (HGU) sampai tahun 2029.

Karpo mengakui, kasus tersebut berpotensi menimbulkan kerawanan sosial, terutama bentrokan.

"Jumlah pekerja kami mencapai 5000 orang. Jika mereka terus menerus diganggu, bukan hal mustahil satu saat akan terjadi bentrokan," aku dia.

Peristiwa tersebut terjadi di tengah usaha PT Rajawali II menyelamatkan sejumlah PG lain dari kebangkrutan. Saat ini, hanya tiga PG yang beroperasi dibawah PT Rajawali II, yakni PG Tersana Baru, PG Sindang Laut, PG Subang dan PG Jatitujuh.

Sebelumnya, pada tahun 1961, PT Rajawali II memiliki PG lain yang beroperasi hasil nasionalisasi, yakni PG Karangsuwung Cirebon, PG Kadipaten di Majalengka, PG Jatiwangi, dan PG Gempol di Palimanan Kabupaten Cirebon.

"Dari delapan PG, hanya PG Jatitujuh yang diperoleh bukan dari hasil nasionalisasi. Kami fokus menyelamatkan PG Jatitujuh dari penyerobotan tanah dulu," sebut dia.

Di tengah polemik yang ada, PT Rajawali II masih menghadapi kesulitan akibat banjir impor gula yang berlebihan. Kondisi mesin penggiling tebu yang sudah tua di tengah perusahaan gula milik swasta yang sudah memanfaatkan mesin modern.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya