Liputan6.com, Ambon - Puluhan mahasiswa di Ambon yang menamakan diri Komitmen 1 Mei mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan pada peringatan Hari Buruh Internasional, Rabu.
"Sejak PP No.78 tahun 2015 diberlakukan, maka peranan serikat pekerja dalam menentukan upah buruh tidak ada andil," kata koordinator "Komitmen 1 Mei" Ilen Alamin saat berorasi dalam aksi damai untuk memperingati Hari Buruh di kawasan Gong Perdamaian Dunia, Ambon, Rabu (1/5/2019), dilansir Antara.
Baca Juga
Ia mengatakan sebelumnya upah buruh ditentukan secara tripartit oleh pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja. Namun, sejak PP No.78 tahun 2015 berlaku pemerintah yang lebih berperan dalam menentukan upah buruh.
Advertisement
Komitmen 1 Mei juga menyoroti upah buruh di Maluku yang tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak.
"Rasanya Upah Minimun Provinsi (UMP) Maluku 2019 yakni Rp2.400.664 harus dinaikkan karena tidak sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL)," kata Ilen.
Komitmen 1 Mei mendesak pemerintah mengawasi kepatuhan perusahaan dalam memenuhi ketentuan mengenai cuti hamil bagi perempuan pekerja.
"Jadi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Maluku hendaknya intensif mengawasi perusahaan dalam menerapkan ketentuan cuti hamil dan hak-hak buruh lainnya," tandas Ilen.
Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Maluku Yeheskel Haurissa SH dan Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Provinsi Maluku Matheis Kailola belum bisa dihubungi untuk dimintai keterangan mengenai peringatan Hari Buruh.
Pelaksana tugas Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Maluku Meky Lohy mengemukakan pemerintah menentukan kebijakan upah berdasarkan kondisi inflasi dan ekonomi daerah serta kemampuan perusahaan di daerah.
"Pasti ada perusahaan yang belum mampu memberi upah sesuai dengan kenaikan UMP 2019, tetapi tetap diperingatkan agar jangan sampai memberatkan dan tutup. Kasihan, akan ada banyak pengangguran nanti," dia menandaskan.
Upah Disesuaikan dengan Inflasi
Sementara itu di Sulawesi Selatan, pengamat ekonomi Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr Mursalim Nohong mengemukakan, Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah, khususnya di Sulawesi Selatan belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai kondisi saat ini.
"Terkait UMR atau UMP, tentu asumsinya harus mengikuti kondisi sekarang. Tetapi secara umum tentu sedikit memaksa tenaga kerja untuk ekstra ketat dalam membelanjakan dananya," ungkap Mursalim di Makassar, Rabu (1/5/2019).
Berdasarkan SK Gubernur nomor 2877/X/Tahun 2018, UMP Sulsel ditetapkan sebesar Rp2.860.382 untuk tahun 2019, dari sebelumnya Rp2.647.767 di tahun 2018. Terkait dengan UMP ataupun UMK, pada prinsipnya diatur dan ditentukan dengan beberapa pertimbangan, yakni upah pokok dan gaji pokok ditambah tunjangan tetap dan tidak tetap.
"Mengenai aturan besaran UMP, seharusnya memang mengikuti perubahan lingkungan seperti inflasi dan kenaikan harga lainnya," kata Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unhas ini.
Untuk itu, pemerintah diminta harus lebih proaktif menindaklanjuti fenomena tenaga kerja dengan lebih banyak berinteraksi dengan pekerja.
"Namanya kan menteri tenaga kerja artinya mereka harus memperhatikan tenaga kerja," kata Mursalim.
Nominal UMP yang ada, kata Mursalim, belum bisa menjamin kesejahteraan masyarakat, sebab indikator kesejahteraan sangat luas dan tidak hanya diukur dengan seberapa besar pendapatan UMP dari seorang tenaga kerja.
Oleh karena itu, UMP saat ini dianggap belum bisa dijadikan sebagai faktor pendorong utama kesejahteraan tetapi hanya cukup untuk menutupi kebutuhan pekerja.
"Soalnya indikator kesejahteraan sangat luas, semisal melihat tingkat pendidikan sementara di dalam UMP, memang ada tunjangan terhadap anak tetapi tidak secara spesifik menyebutkan itu bisa meng-cover tunjangan seluruh pendidikan," jelasnya.
Hanya saja, lanjut Ketua Program Studi Magister Keuangan Daerah FEB Unhas tersebut, pada momen Hari Buruh 1 Mei kali ini masih sering ditemukan tenaga kerja yang diupah tidak sesuai dengan UMP Sulsel. Bahkan upah diterima tidak seimbang beban kerja.
"Memang masih ada beberapa kasus yang sesungguhnya pemerintah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, padahall itu adalah pelanggaran," katanya.
Mursalim berharap pemerintah bisa lebih mengefektifkan pengawasan terhadap berbagai perusahaan. Sementara bagi tenaga kerja, sekiranya mampu meningkatkan skill dan pengetahuan, menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin dan bukan lagi sebagai pekerja.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement