Liputan6.com, Banjarnegara - Embun es kembali muncul di Dataran Tinggi Dieng, Kamis pagi, 20 Juni 2019. Dan kemuncuulan embun es Dieng itu, adalah kemunculan yang ketiga dalam jangka sepekan.
Embun es terpantau di jalan raya sekitar Dieng Kulon. Embun beku ini juga nampak menempel di rumput, meski belum begitu tebal di lapangan rumput sekitar kompleks Candi Arjuna Dieng.
Kemunculan embun es Dieng ini segera saja viral di dunia maya. Embun es memang selalu menjadi magnet yang tak kehilangan daya tarik, meski sudah menjadi fenomena tahunan.
Advertisement
Baca Juga
Bagaimana tidak, Dieng berubah menjadi daratan berkilau bak bertabur intan permata. Buliran embun es itu memantulkan panorama nan memesona.
Singkat kata, tak perlu berlibur ke Korea atau Amerika untuk hanya untuk mendapati salju. Saat Dieng berselimut embun es, sensasinya tak beda di negara empat musim pada musim dingin.
Kemunculan embun es Dieng, di luar dampak negatifnya untuk pertanian, adalah berkah bagi dunia wisata. Munculnya embun beku ini berarti jaminan tingginya kunjungan ke Dieng.
Banyak keluarga dari luar daerah yang mencoba peruntungan dengan berburu embun es pada pagi hari. Jika beruntung mereka bakal disuguhi pagi menakjubkan di tengah hamparan embun es Dieng.
Hunian Penginapan Dieng Melonjak
Dan rupanya, kemunculan embun es pekan ini juga kembali mendongkrak tingkat hunian kamar homestay atau penginapan di Dieng.
Ketua Paguyuban Homestay atau penginapan Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Fortuna Dyah Setyowati mengatakan banyak wisatawan luar daerah yang penasaran ingin menyaksikan langsung fenomena embun es yang langka ini.
"Ya kalau seperti ini sih, Alhamdulillah ya. Kan otomatis banyak yang bikin status, kemudian diviralkan di Facebook. Itu biasanya banyak wisatawan yang datang," ucapnya.
Dyah mengemukakan, sebelumnya, angka hunian penginapan di Dieng sempat turun drastis pada akhir libur Lebaran. Dieng yang sebelumnya begitu ramai mendadak sepi.
Namun, sejak kemunculan embun es yang kemudian viral di dunia maya itu, hunian terus merangkak naik. Kini, tingkat hunian di Dieng Kulon saat ini rata-rata berkisar 40 persen.
Dia yakin hunian penginapan akan bertambah tinggi seiring kemunculan embun es. Terlebih, mulai pekan depan anak sekolah memasuki libur panjang 2019.
"Minggu ini muncul tiga kali. Kamis, Rabu terus hari sebelumnya (Senin)," dia mengungkapkan.
Kemunculan embun es yang cukup intensif pekan ini erat kaitannya dengan musim kemarau. Hanya saja, lazimnya embun es kerap terjadi pada Juli dan Agustus. Kemudian, intensitasnya menurun meski masih berpotensi terjadi pada September.
Advertisement
Monsoon Dingin Australia
Ketua Kelompok Teknisi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pos Pengamatan Cilacap, Teguh Wardoyo mengayakan pada kemarau ini, wilayah Australia berada dalam periode musim dingin. Tekanan Udara di Australia cukup tinggi, terbentuk antisiklon di daerah tersebut dan massa udara di Australia ini bersifat dingin dan kering.
Sebaliknya, Benua Asia mengalami musim panas, terdapat daerah tekanan rendah dan terbentuk siklon di daerah tersebut. Adanya pola tekanan udara yang relatif tinggi di Australia dan rendah di Asia ini, menyebabkan pergerakan massa udara dari Australia.
"Dengan membawa massa udara dingin dan kering tersebut ke ke Asia melewati Indonesia yang kemudian dikenal dengan istilah Monsoon Dingin Australia," Teguh menjelaskan.
Massa udara dingin ini semakin signifikan sehingga berimplikasi pada penurunan suhu udara pada malam dan dini hari khususnya di wilayah Jawa. Penurunan suhu akan lebih signifikan di daerah pegunungan.
Tutupan awan di wilayah Jawa juga relatif rendah, sehingga pantulan panas dari bumi dari matahari, tidak tertahan oleh awan, tetapi langsung terbuang dan hilang ke angkasa. Hal ini juga menyebabkan suhu udara musim kemarau menjadi lebih dingin daripada suhu udara musim hujan.
Di Cilacap, Kamis, 20 Juni 2019, suhu minimum tercatat 17,9 derajat Celsius dan mendekati rekor suhu terendah selama 44 tahun terakhir, sejak 1975. Sebelumnya, suhu terendah Cilacap tercatat pada 1994, 17,4 derajat celsius.
Selain itu pada musim kemarau, kandungan air di dalam tanah juga semakin menipis, kandungan uap air di udara juga rendah, indikatornya bisa dilihat dari rendahnya kelembaban udara. Hal ini juga berpengaruh terhadap bertambah dinginnya udara.
"Tidak tertutup kemungkinan, ada embun es yang merupakan dampak penurunan suhu ke titik beku," dia mengungkapkan.
Saksikan video pilihan berikut ini: