Liputan6.com, Yogyakarta Bicara batik di Yogyakarta tentu tidak lepas dari Museum Batik Yogyakarta yang ada di Jalan Doktor Sutomo No.13A, Bausasran, Kec. Danurejan, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Museum Batik Yogyakarta dibangun oleh Hadi Nugroho dan R. Ng.Jumima Dewi Sukaningsih tahun 12 Mei 1979 lalu.
"Beliau keturunan Tionghoa dan memang sejak kakek moyang beliau seneng dengan budaya Jawa, selain itu kakeknya moyang juga pengrajin batik, seneng koleksi, seneng budaya Jawa kemudian di titik beliau tergerak ga trimo kalo hilang dan muncul printing," kata Didik Wibowo Pemandu dan Pembatik Museum Batik Yogyakarta Jumat (2/8/2019).
Didik mengatakan Museum batik Yogyakarta dibangun karena dari keprihatinan para pengrajin batik dengan munculnya batik printing. Kedua tokoh inilah yang mengangkat batik yang asli atas kehadiran mesin batik printing yang membuat harga batik yang bukan batik itu murah.
Advertisement
Baca Juga
"Menurut beliau nilai batik di masyarakat mulai pudar. Batik bukan selembar kain tapi didalamnya ada makna, doa, simbol dan ada harapan seperti Truntum," katanya.
Didik menjelaskan saat itu pengaruh batik printing sangat terlihat sekali terlebih lima tahun sebelum Museum Batik Yogyakarta dibangun. Para pengrajin batik tergilas karena perkembangan industri saat itu menjadikan kedua tokoh ini bergerak cepat.
"Tulis dan cap karena muncul industri itu banyak sekali perusahan batik asli yang gulung tikar kalah produksi. Printing itu bukan batik asli itu tiruan kalo yang asli dibuat oleh lilin panas," katanya.
Didik menjelaskan batik memiliki makna dan simbol nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Sehingga pemakainya juga harus mengetahui makna dan filosofi dibaliknya, seperti batik Truntum tersebut.
"Visualnya seperti bunga dan tersebar maknanya Truntum itu panutan dan tuntutan maka dia tidak boleh berlaku jelek dalam kehidupan karena menjadi panutan bagi orang lain. Ada motif tambal selain untuk selimut orang yang sakit motif tambal itu tidak boleh tinggi hati atau sombong," katanya.
Museum Batik Yogyakarta dibangun atas bantuan tokoh-tokoh Yogyakarta waktu itu dan juga beberapa keluarga kraton. Setidaknya ada ratusan koleksi yang bisa dilihat pengunjung seperti jumlah kain mencapai 600-an kain.
"Batik dari kraton ada juga pesisiran justru kita paling banyak karena jumlahnya semakin banyak Semarang, Kudus, Pekalongan, Lasem, Cirebon, Demak. Madura ada juga," katanya.
Menurutnya ada beberapa koleksi yang tidak banyak dijumpai di pasaran saat ini. Sehingga Museum Batik Yogyakarta memiliki data batik yang cukup lengkap di Yogyakarta.
"Canting Eropa, Jerman, Belanda ada beberapa karena dulu kan ada juga orang Belanda dan Eropa mereka disini dan tertarik budaya kita, mereka tertarik dan belajar menciptakan canting sendiri, banyak sekali batik pesisir karya mereka batik kompeni ada di museum batik Yogyakarta," katanya.
Jumima Dewi Sukaningsih Sang Penjaga
Didik mengaku sempat bertemu langsung dengan sosok R. Ng.Jumima Dewi Sukaningsih yang membangun Musuem Batik Yogyakarta. Menurutnya sosoknya sangat semangat memperjuangkan batik asli atau tulis.
"Saya masih ketemu ibu, kebetulan sekitar tiga tahun, beliau semangat batik banyak design beliau, banyak banget beliau menghabiskan waktu menyeket design baru atau nyalin,"katanya.
Dewi menurutnya sosok yang sangat suka dengan batik dan ingin mempertahankan budaya Jawa ini. Salah satunya sering hunting ke pasar mencari motif-motif yang belum pernah ia dapatkan untuk dipamerkan di museumnya.
"Beliau hunting ke pasar tinggal sepotong ada yang sobek karena unik dibeli dan belum ada di museum maka dipamerkan di museum," katanya.
Ia juga sangat semangat dan suka jika ada pengunjung ke museum Batik Yogyakarta. Para guide atau pemandu diminta untuk melayani para pengunjung itu dengan baik.
"Kita harus tenanan ngopeni tamu katanya. Pas disini beliau pakai kursi roda dan mencegat tamu di belakang beliau tanya dapat apa ? ngobrol dengan tamu, semangat sekali," katanya.
Selain batik beliau juga seorang seniman sulaman. Terbukti karyanya mendapatkan penghargaan MURI sebagai sulaman terpanjang saat itu.
"Karya beliau mendapatkan MURI sebagai sulaman terpanjang selama 3,5 tahun buatnya. Beliau suka presnetasi karya sendiri ini pernah mau dibeli orang mau berapapun tapi tidak dikasih karena tidak bisa bikin lagi. Dia bilang saya ga bisa bikin kayak ini karena saya hanya dibikin tangan oleh tuhan untuk membuat ini," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Karya Masterpiece
Didik mengatakan ada beberapa karya masterpiece milik museum batik Yogyakarta diantaranya batik paling tua yaitu tahun 1800 sekian. Koleksi yang paling tua tua berasal dari pesisir.
"Kemarin ada dari Eropa mau pameran di Singapura masuk ke museum liat itu karena tertarik mau beli ini 67 juta yang batik kompeni. Karena disini museum tidak boleh jual koleksi. Mereka mau sejarahnya," katanya.
Kebanyakan koleksi masterpiece banyak dari Kudus kasya masetro jaman dulu. Diantaranya ada batik tiga negeri yang diproduksi di Solo dengan kekayaan warna dari tiga daerah saat itu.
"Batik terkenal legenda jadi setiap daerah punya khas warna alam tiga negeri itu warna alam yang khas bagus Lasem itu merah darah ayam, jadi lebih ke proses pewarnaan ada di Pekalongan Kudus biru karena warna terbagus gitu dan kembali Solo warna coklat itu terkenal batik tiga negeri," katanya.
Koleksi tua yang ada di Museum Batik Yogyakarta banyak yang tidak bernama. Ia pun juga tidak tahu pembatiknya berasal dari dalam negeri atau Belanda atau Tionghoa.
"Kita banyak yang tidak ada nama, saya agak tanda tanya memang buatan kita atau orang luar. Kalo ada yang ada namanya diatasnya namanya biasanya," katanya.
Didik mengatakan saat itu batik terhitung mahal. Sebab pengerjaan batik bisa sangat lama bisa samapi satu hingga tiga bulan lamanya.
"Batik tulis bagus yang standar itu sekitar 12 gulden satu gulden setara 1 gram emas. Batik tulis yang halus itu pengerjaan bisa sangat lama," katanya.
Kini batik tulis dengan standar bagus dihargai 300 ribu hingga 8 juta rupiah. Sementara batik cap diangaka 100 ribuan keatas dan batik printing mulai dari 30 ribuan keatas.
"Tulis itu kalo 4 juta sering, cap itu 100 ribu keatas kalo printing paling mulai dari 30 ribu," katanya.
Museum batik Yogyakarta buka setiap hari mulai dari pukul 09.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Tiket masuk Rp20 ribu sudah termasuk pemandu.
"Pak presiden belum kesini wakil menteri itupernah kesini ratu dari mana ya saya lupa dari melayu saya agak lupa," katanya.
Motif untuk Jatuh Cinta
Menurut Didik mencintai batik itu harus melakukan baik melakukan pembatikan sendiri atau memiliki batik dengan motif tertentu. Mengetahui makna dibaliknya menjadi jalan untuk mencintai batik sebagai bentuk melestarikan budaya sendiri.
"Belajar batik itu kita bayangkan kita sulit, kalo melakukannya beda. Setelah tahu makan dibalik batik itu ya tertarik ada juga untuk jatuh cinta banyak cerita di batik," katanya.
Cerita di balik batik sangat banyak sekali, seperti batik ketika jatuh cinta. Ada batik khusus yang dipakai ketika pemakainya sedang jatuh cinta.
"Madu Bronto jadi madu itu manis dan Bronto itu perasaan itu pas untuk jatuh cinta. Motifnya sogan cenderung ke kratonan, dipakai untuk jatuh cinta," katanya.
Tidak hanya batik Madu Bronto saja tapi ada batik lainnya seperti batik Kembang Kantil. Kembang berarti bunga dan Kanthil berarti lengket sehingga semakin merekatkan dengan pasangan atau keluarga.
"Motifnya kembang kantil yang tersusun, banyak cerita juga kalo kainnya dibelah jadi dua ibaratnya kalo keluarga kalo tidak sengaja terbelah jadi dua ya ini percaya ga percaya keluarga itu bisa pisah ada cerita-cerita itu," katanya.
Motif batik Wahyu Tumurun yang penuh dengan sarat makna. Wahyu diartikan anugrah dan tumurun yang diturunkan Tuhan kepada manusia.
"Mengharapkan sesuatu kedudukan yang tinggi pakai motif itu banyak berdoa di dalamnya ada motif banyak kayak lunglungan simbol tetulung (menolong) simbol bokor kencono simbol selalu berdoa ada motif burung jaga ucapan kita ada merak itu simbol keindahan agar simbol kita tercapai," katanya.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan dengan banyaknya pelajara dan mahasiswa yang belajar di kota ini batik parang pas bagi pelajar. Sebab batik parang memiliki motif perjuangan yang menyimbolkan perjuangan balajar mereka.
" Berjuang belajar sungguh-sungguh. Semen bisa seperti saya pakai dari kata semi semacam pohon yang kering yang akan bersemi. Harus sabar untuk berjuang sampai cita cita terwujud," katanya.
Ketika perjuanganitu selesai dan mahasiswa ini pulang ke kampung halamannya bisa memberikan batik kepada orang tua sebagai bentuk kasih dan bhakti kepada orang tuanya. Batik Sido Mulyo bisa dibawakankepada orang tuanya.
"Kalo anak ke orang tua bisa menghadiahkan Sido Mulyo, Sido itu jadi dan Mulyo itu kemulyaan, Sido Mukti, Sido Luhur, Sido Asih ada beberapa pilihan," katanya.
Orang tua zaman dahulu sering menyelimuti anak dengan batik ketika anak sedang sakit. Batik saat itu menjadi doa dan harapan agar orang terkasihnya cepat sembuh dari sakitnya.
"batik Udan Liris, Udan atau hujan selain pembawa rahmat dan suasana adem dulu dipercaya diselimuti liris nah demam itu bisa sembuh. Kita bukan klenik tapi ada doa dan harapan yang dicapai," katanya.
Batik Slobok atau batik ketika ada keluarga yang meningal dunia sering terlihat. Batik Slobok ini berasal dari kata lobok atau longgar. Harapannya yang meninggal diberi kelonggaran saat menghadap Yang Maha Kuasa.
"Motif kawung digunakan ke alam suwung atau ke Maha Kuasa. Kawung bisa macam-macam karena simbol keseimbangan simbol keadilan. Sido Luhur juga bisa keluhuran agar selalu terkenang kebaikan yang meninggal, pilhan ada beberapa tidak tepaku pada satu pilihan," katanya.
Namun yang paling penting menurut Didik bagi masyrakat terutama generasi muda harus mencintai sejarah dan budaya sendiri. Seperti batik ini, minimal punya batik di lemarinya seabgai bentuk cinta kepada budaya.
"Kalo tulis dan cap kadang tidak terjangkau minimal kitap unya batik syukur kita tahu namanya, faktanya agar kita bisa melestarikan budaya ini. Kita tahu motifnya dan maknanya kita semakin mencintainya," katanya.
Advertisement