Urun Rembuk Mencari Jalan Keluar dari Polemik Hancurnya Situs Matangaji

DPRD Kota Cirebon menyatakan masih ada waktu untuk berupaya menyelamatkan situs yang hancur akibat timbunan tanah yang diuruk pemilik lahan untuk kepentingan proyek perumahan.

oleh Panji Prayitno diperbarui 25 Feb 2020, 21:00 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2020, 21:00 WIB
Rekomendasi DPRD Kota Cirebon Ditengah Polemik Hancurnya Situs Matangaji
Rapat Dengar Pendapat DPRD Kota Cirebon mencari solusi ditengah hancurnya situs Sultan ke V Keraton Kasepuhan Pangeran Matangaji. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Hancurnya situs Sultan ke V Kasepuhan Cirebon Pangeran Matangaji menjadi perhatian serius di tingkat pemerintahan.

DPRD Kota Cirebon dan pihak terkait menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait hancurnya Situs Matangaji di Kampung Melangse Kota Cirebon. Pemilik lahan Subekti mengaku orang yang berada di balik hancurnya situs itu.

Subekti mengatakan, membeli lahan tersebut pada 30 Desember 2013 seluas 1.700 meter. Bekti mengaku saat itu dia menyuruh tiga orang tukang untuk membabat semak belukar di lahan miliknya sendiri.

"Nah ketika membabat ternyata kami melihat ada bangunan kecil berukuran lebar 50 sentimeter dan panjang 1 meter, ada ukup nya (tempat kemenyan) juga. Dalam pikiran saya itu adalah tempat sesaji. Saya pikir karena tidak sesuai dengan akidah saya maka saya suruh untuk membongkar tempat itu," tutur Subekti saat mengikuti RDP di DPRD Kota Cirebon, Senin (24/2/2020).

Developer PT Dua Mata Sejahtera membeli tanah dari Subekti untuk meneruskan tahap selanjutnya pembangunan perumahan. Sembari itu, Subekti pun melanjutkan membabat lahan yang masih dipenuhi semak belukar.

Di tengah pembabatan yang kedua, Subekti menemukan bangunan di tempat yang sama namun ukurannya lebih besar. Bekti mengaku sempat menunggu ada pihak lain yang komplain terkait pembongkaran bangunan diduga Situs Matangaji itu.

Menurutnya, jika suatu tempat dinyatakan sebagai situs maka harus ditetapkan di Perda Nomor 11 tahun 2010 tentang BCB. Dia memastikan bangunan tersebut bukan situs sejarah karena terlihat tak terurus.

"Bentuknya beda ada tumpukan bata yang menyiku dengan lebar kurang lebih 1 meter dan panjang 3 meter. Karena saya yakini itu bangunan baru dan saya tidak paham UU tentang situs ditambah tidak punya izin maka saya bongkar lagi. Saya juga sudah beri waktu beberapa hari apakah ada pihak yang komplain ternyata tidak ada," aku Bekti.

Perwakilan pengembang PT Dua Mata Sejahtera Diding mengaku menjadi korban atas maraknya isu kerusakan situs. Dia mengungkapkan, jarak antara tanah milik pegembang dengan situs terbilang jauh.

"Proyek kami itu di RW 5 yang dimaksud diduga situs masuk ada di RW 4 Mega Endah. Batas bangunan antara kami dan dan situs 30-50 meter. Di samping itu memang tanah Bekti dan kami berdampingan," kata dia.

Diding mengaku sudah membangun tembok keliling di wilayah proyeknya. Namun, pada tahun 2019 tembok tersebut rusak lantaran Subekti melakukan pengurukan lahan miliknya.

Diketahui, Subekti menguruk tanah miliknya dalam skala besar. Subekti menghabiskan 200 dump truck untuk menguruk lahannya sendiri.

"Satu hal yang tak diduga dari urukan tanah Pak Bekti ada pergerakan dan sampai merobohkan tembok keliling perumahan kami. Kami sempat meminta Pak Bekti untuk bertanggungjawab lah ibaratnya karena dampak dari urukan tanah," kata dia.

Singkat cerita, pada Desember 2019 Subekti menawarkan lahan miliknya untuk pengembang PT Dua Mata. Namun, pengembang mengaku tidak langsung menerima tawaran Subekti.

"Kami sempat bertanya tujuannya awalnya apa sampai lahan Pak Bekti mau dijual alasannya sebelumnya mau dibangun perumahan pribadi," ujar dia.

Pengembang mengaku mengetahui ada bangunan diduga situs di antara lahan milik Subekti yang akan dijualnya.

"Kami sempat menunggu reaksi warga saat Pak Bekti menimbun bangunan diduga situs itu ternyata tidak ada reaksi akhirnya lahan kami beli tapi baru kasih uang muka," kata dia.

Pengembang menyatakan tidak ada niat menutup bangunan yang diduga Situs Sultan Matangaji itu. Bahkan, Diding merasa pihak pengembang menjadi korban dari hancurnya situs itu.

"Sebenarnya kami tak ada niat beli tanah lagi, bila perlu DP yang kami beri ke Pak Bekti bisa dibatalkan. Kami juga tahu tanah tersebut belum ada sertifikat dan katanya Pak Bekti sedang mengurus sertifikat itu," ujar dia.

Rekomendasi DPRD

Rekomendasi DPRD Kota Cirebon Ditengah Polemik Hancurnya Situs Matangaji
Selain instansi terkait RDP di DPRD Kota Cirebon hancurnya Situs Sultan ke V Kasepuhan Cirebon Pangeran Matangaji juga menghadirkan pengembang dan pemilik lahan. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Berdasarkan hasil rapat dengar pendapat, DPRD Kota Cirebon mengeluarkan rekomendasi untuk memperbaiki situs yang hancur itu. Pemilik lahan, Subekti dan pengembang perumahan PT Dua Mata dianggap bertanggung jawab atas tertimbunnya areal situs tersebut.

Ketua Komisi III DPRD Kota Cirebon Tresnawati mengatakan, memberi waktu satu bulan untuk membangun kembali situs yang hancur.

"Satu bulan kepada pengembang dan pemilik lahan, untuk memperbaiki kondisi situs yang tertimbun tanah urukan," kata Tresnawati usai rapat, Senin (24/2/2020).

Menurut dia, kondisi situs tersebut masih dimungkinkan untuk diselamatkan, meski ada bagian yang rusak. Oleh karena itu, situs yang berada di Kampung Melangse, Kelurahan Karya Mulya, Kecamatan Kesambi tersebut harus dilakukan perbaikan secepat mungkin.

Dia juga meminta pihak pengembang untuk tidak melanjutkan proyek perumahan sementara waktu hingga persoalan situs selesai.

Di samping itu, Pemkot Cirebon juga belum mengeluarkan izin IMB kepada pengembang PT Dua Mata Sejahtera.

"Saya minta pengembang patuhi apa yang sudah disepakati dalam rapat. Kami bukan bermaksud menghambat investasi jadi biar diselesaikan dulu masalah situs," kata dia.

Jalannya rapat dengar pendapat ini berlangsung penuh perdebatan. Salah satunya mengenai status situs apakah termasuk cagar budaya atau bukan.

Budayawan

Rekomendasi DPRD Kota Cirebon Ditengah Polemik Hancurnya Situs Matangaji
Penampakan kondisi Situs Sultan Matangaji Cirebon setelah bangunannya tertimbun oleh lahan yang akan dibangun proyek perumahan. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Dari catatan Dinas POKP, Situs Matangaji belum termasuk cagar budaya karena mengacu pada SK Wali Kota tahun 2001. Sekretaris Dinas POKP, Addin Imaduddin Nur mengaku, belum memperbarui data penambahan atau pengurangan situs karena harus dilalui dengan proses kajian penelitian terlebih dahulu.

Keterlambatan proses inventarisasi data situs itu mendapat respon dari pemerhati budaya. Menurut dia, jika hanya mengandalkan data dari pemerintah, perlindungan terhadap bangunan cagar budaya akan lemah.

Karena bukan tidak mungkin situs-situs lain di Cirebon mengalami kondisi serupa dengan Situs Matangaji.

"Karena kita punya tim ahli cagar budaya baru tahun kemarin, ada empat orang. Kalau tercatat di SK Wali Kota tahun 2001, hanya ada 51 situs. Kami belum update lagi untuk penambahannya," ujar Addin.

Dalam waktu dekat, DPOKP berjanji akan segera berkonsultasi dan melaporkan dengan Balai Arkeologi Bandung untuk menentukan status situs Matangaji ini.

Diharapkan, setelah ada kajian dari tim Balai Arkeologi Bandung itu, ada surat rekomendasi yang dikeluarkan untuk menentukan status Situs Matangaji tersebut.

"Seminggu ke depan diharapkan sudah ada rekomendasi," ujarnya.

Budayawan Cirebon Jajat Sudrajat menyayangkan sikap DKOKP. Menurut dia, Pemkot Cirebon tidak seharusnya menyatakan itu bukan dari cagar budaya.

Jajat menyatakan catatan yang ada di keraton Cirebon dengan pemerintah berbeda. Pemerintah dinilai lambat melakukan inventarisasi data situs bersejarah di Kota Cirebon.

Namun, jika ratusan situs yang ada di Kota Cirebon terdaftar sebagai bangunan cagar budaya. Maka, konsekuensinya pemerintah wajib memberi anggaran biaya pemeliharaan dan operasional situs.

"Kota Cirebon luasnya mencapai 37 km persegi, itu masih ada ratusan situs yang belum terdaftar oleh pemerintah. Kalau menyatakan situs, risikonya harus membiayai biaya pemeliharaan. Sementara, kalau menunggu pemerintah sama saja membiarkan situs tak dilindungi," ujar Jajat.

Dia menegaskan bahwa Situs Matangaji merupakan tempat yang disakralkan oleh Sultan Shofiudin V atau Sultan Matangaji saat bergerilya melawan pasukan penjajah.

Sebab, situs tersebut selain menjadi tempat meditasi dan menguji kesaktian, tempat tersebut satu-satunya yang tidak terjamah oleh tentara Belanda.

"Selain sejarah Matangaji wilayah Kampung Melangse jadi pusat perlawanan tentara Cirebon melawan Belanda," tegas Jajat.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya