Bayangan Siswa Putus Sekolah Dampak Pandemi di Jawa Timur

Dinas Pendidikan Jawa Timur tinggal menunggu Dapodik untuk memastikan siswa putus sekolah karena dampak pandemi Covid-19

oleh Zainul Arifin diperbarui 04 Sep 2020, 01:00 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2020, 01:00 WIB
Ada Bayangan Siswa Putus Sekolah Dampak Pandemi di Jawa Timur
Ilustrasi sekolah (dok. Pixabay.com/Wokandapix/Putu Elmira)

Liputan6.com, Malang - Hak anak untuk belajar dan mendapatkan pendidikan jelas terganggu selama pandemi Covid-19 ini. Di Jawa Timur bahkan dilaporkan mulai ada anak putus sekolah di beberapa daerah dampak pandemi.

Fenomena learning loss atau kehilangan pembelajaran. Pola belajar jarak jauh dengan sistem daring menyebabkan siswa tak bisa belajar berkesinambungan karena kendala akses internet dan lainnya. Paling mengerikan dampaknya adalah siswa putus sekolah.

Siswa putus sekolah, terpaksa berhenti total tidak melanjutkan sekolah. Karena masalah ekonomi keluarga atau hal lainnya. Tidak menutup kemungkinan, angka putus sekolah naik tajam dibanding sebelum pandemi. Dinas Pendidikan Jawa Timur tak memungkiri itu.

"Ada laporan dari beberapa daerah. Siswa memutuskan berhenti belajar, putus sekolah," kata Ramliyanto, Sekretaris Dinas Pendidikan Jawa Timur, dalam Webinar Media bertema Simalakama Pembelajaran Tatap Muka di Jawa Timur, Rabu, 2 September 2020.

Selama pandemi, banyak siswa bertambah keterampilannya. Ada yang bisa membuat produk makanan ringan, belajar dari platform berbagi video. Ada pula yang punya uang tambahan hasil sambilan membantu orangtua beternak burung dan lainnya.

"Bukan berarti putus sekolah atau bekerja penuh, hanya sambilan saja. Itu laporan dari MKKS di Jawa Timur," ucap Ramliyanto.

Ia mengakui juga mengejar angka sesungguhnya siswa putus sekolah. Sekarang masih harus cek data soal apakah benar ada penurunan jumlah siswa khususnya kelas 11 dan 12. Menyusul hipotesis dari beberapa pendapat ahli tentang fenomena itu.

Dinas Pendidikan Jawa Timur sudah merampungkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pada 31 Agustus 2020 lalu. Cek data ini akan memastikan benar tidak ada penurunan jumlah siswa karena putus sekolah sebagai dampak pandemi.

"Kami baru bisa cek angka pasti ketika data Dapodik sudah diumumkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan," ucap Ramliyanto.

Simak Video Pilihan Berikut:

Strategi Pembelajaran

Ada Bayangan Siswa Putus Sekolah Dampak Pandemi di Jawa Timur
Ilustrasi Kegiatan Belajar di SMA

Untuk menghindari learning loss atau kehilangan pembelajaran, salah satunya dengan pembelajaran tatap muka terbatas. Ujicoba pembelajaran ini untuk tahap pertama pada 18-28 Agustus. Tiap kota dan kabupaten diwakili satu sekolah SMA, SMK, dan SLB.

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa Timur, di tahap pertama itu total ada 25 SMA dengan 8.197 siswa, 24 SMK dengan 10.283 siswa dan 21 SLB dengan 141 siswa. Tahap kedua akan bertambah 25 persen sekolah yang terlibat dengan jumlah siswa juga terbatas.

"Syaratnya tetap menerapkan protokol kesehatan. Karena keselamatan tetap utama," ujar Marliyanto.

Sedangkan, untuk belajar jarak jauh secara daring, perbaikan infrastruktur mutlak dibutuhkan. Apalagi akses internet di daerah pegunungan, kepulauan dan pedalaman masih sulit dijangkau. Pemprov sudah berkirim surat ke Telkom agar memperkuat jaringan.

"Karena percuma ada kuota tapi aksesnya sulit. Ini juga harus diperkuat," ujar Marliyanto.

Soal akses internet, pemerintah membantu masalah ini. Disiapkan skema transfer paket data ke siswa. Dinas Pendidikan di tiap kota dan kabupaten diminta memasukkan nomor siswa agar mendapat bantuan.

Serta Bantuan Operasional Sekolah Nasional (BOSNAS) maupun Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) untuk subsidi kuota internet siswa. Membantu wali siswa mengurangi beban pengeluaran terutama untuk biaya internet.

"Jangan sampai ada learning shutdown atau matinya pendidikan," ucap Ramliyanto.

 

Kekerasan Terhadap Anak

Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)
Ilustrasi Kekerasan Pada Anak (iStockphoto)

Situasi pandemi ini membuat jurang kesenjangan tampak menganga. Saat pemerintah menerapkan pembelajaran jarak jauh, tak dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dan guru. Publik juga tak disiapkan menghadapi situasi seperti sekarang ini.

Selain putus sekolah, anak-anak juga rentan jadi korban kekerasan selama pandemi ini. Apalagi belum semua orang siap membagi waktu dengan anak yang harus belajar dari rumah. Harus ada strategi tersendiri untuk mengantisipasinya.

"Publik tak disiapkan untuk menghadapi situasi seperti sekarang ini. Ongkos sosialnya juga lebih tinggi," kata Isa Ansori, Dewan Pendidikan Jawa Timur.

Mengutip data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA), di Jawa Timur terjadi 842 kasus kekerasan terhadap anak. Ironisnya, lokasi tempat kejadian dan korbannya terbanyak berasal dari rumah tangga.

"Selama pandemi ini kesehatan jadi topik utama yang kemudian menghilangkan hak anak sehingga lagi-lagi yang jadi korban adalah anak," ujar Isa.

Winny Isnaini, Direktur Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Tulungagung mengatakan, pandemi membuat orangtua bisa berinteraksi lebih banyak dengan anaknya. Terutama saat proses pembelajaran daring.

"Orangtua yang belum siap dengan situasi seperti itu berpotensi memunculkan kekerasan terhadap anak," ujar Winny.

Ia menyarankan guru bimbingan konseling lebih aktif berkomunikasi kepada siswa dan orangtuanya. Belajar jarak jauh dengan anak lebih banyak memegang gawai dikhawatirkan jadi persoalan tersendiri.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya