Kata Akademisi Soal Alasan Polisi Menahan Penyelidikan Kasus Korupsi Dispora Makassar

Dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar ini menyebut bahwa mengembalikan uang korupsi bukan berarti menghapus pidana

oleh Eka Hakim diperbarui 16 Okt 2020, 07:57 WIB
Diterbitkan 16 Okt 2020, 02:46 WIB
korupsi-ilustrasi-130620b.jpg
Korupsi

Liputan6.com, Makassar - Terhitung sejak munculnya surat perintah penyelidikan (sprindik) tepatnya sprin bernomor Sprin Lidik/ 315/ II/ Res.3.3/ 2018/ Reskrim, tanggal 10 Februari 2020, penyelidikan kasus dugaan korupsi di lingkup Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Makassar tahun anggaran 2018 oleh Unit Tipikor Polrestabes Makassar belum menampakkan progres bahkan terkesan didiamkan.

Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Widoni Fedri mengatakan kasus tersebut telah diserahkan ke Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam hal ini Inspektorat Makassar.

"Dan sudah ada niat ganti rugi dari pelaku. Batas akhir bulan November ini," kata Widoni kepada Liputan6.com.

Meski demikian kata dia, penyelidikan kasus dugaan korupsi kegiatan fikif Dispora Makassar tersebut belum dihentikan. "Kalau tidak bisa bayar larinya pidana," jelas Widoni.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus (UKIP) Makassar, Jermias Rarsina mengatakan penyidik Unit Tipikor Polrestabes Makassar harus meletakkan penanganan kasus tersebut secara proporsi.

Ia mengakui memang hukum pidana dalam paradigmanya sekarang ini mengenal restorasi justice. Namun tidak menjadi serta-merta begitu saja tanpa dilandasi oleh pertimbangan yang rasional, obyektif dan berkeadilan dalam penegakan hukum.

Sehingga opini tentang upaya preventif (pencegahan) tidak menjadi ucapan murah semata oleh aparat penegak hukum yang menangani perkara korupsi. Dimana setiap kali sudah terjadi delik korupsi dalam hal ini selalu ada dalil dari aparat penegak hukum bahwa lebih mendahulukan penyelesaian.

Penyelesaian dugaan kasus korupsi di Indonesia tentang pengembalian dana/uang hasil korupsi, kata Jermias, terdapat banyak pandangan hukum dan regulasinya. Namun jika ingin jujur, belum serempak atau seragam cara berpikir yang diambil oleh setiap aparat hukum sebagai hal konsisten dalam penegakan hukum mengenai persoalan tersebut.

"Olehnya itu jangan salahkan publik memberi penilaian miring atau plesetan bahwa siapa-siapa yang mau sidik dan dituntut pidana itu sangat bergantung pada kehendak aparat penegak hukum," ungkap Jermias, Kamis (15/10/2020).

Penyelesaian hukum dalam dugaan kasus korupsi berkaitan dengan regulasi, kebijakan pemerintah (government policy) dan pendapat ahli (doktrin) masih menjadi perdebatan publik secara krusial dalam penanganan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum.

Opini hukum yang krusial tersebut, misalnya saja berlakunya ketentuan Pasal 4 UU Tipikor yang intinya menegaskan bahwa pengembalian uang negara hasil korupsi tidak menghapuskan pidana, namun dalam praktek penegakan hukumnya masih menjadi problem perdebatan hukum.

Disisi lain ada juga contoh berupa kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi melalui hasil rapat kerja dengan Kejagung dan Kejati se-Indonesia tertanggal 12 Agustus 2015 yang menegaskan bahwa jika ada hasil audit temuan kerugian keuangan negara oleh BPK, maka dapat dikembalikan sebelum melewati batas waktu 60 hari sehingga tidak diproses secara pidana. Namun terdapat beberapa kriterianya.

Begitu pula dalam PP No. 38 Tahun 2016 tentang Tata Cara Tuntutan Ganti Kerugian Negara/ Daerah terhadap Pegawai Negeri, bukan Bendahara atau Pejabat lain. Dimana dalam aturan tersebut telah ditentukan jangka waktu pengembalian kerugian keuangan negara baik untuk 60 hari, 90 hari hingga 24 bulan yang keterkaitannya dengan dugaan penyimpangan berakibat kerugian negara.

 

Simak juga video pilihan berikut:

Mengembalikan Uang Korupsi Bukan Berarti Menghapus Pidana

Dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina (Liputan6.com/Eka Hakim)
Dosen Fakultas Hukum UKIP Makassar, Jermias Rarsina (Liputan6.com/Eka Hakim)

Tak hanya itu, terdapat juga pendapat ahli pidana mengenai pengembalian kerugian keuangan negara oleh pelaku yang dapat berakibat penghentian perkara. Dimana hal itu dapat dilihat dari dua segi tindakan penanganan perkara, yakni kalau masih dalam tahap pulbaket (baru ada informasi) dan pelaku secara sadar mengembalikan kerugian keuangan negara, maka perkaranya dapat dihentikan. Sebaliknya jika penanganan perkara sudah pada tahap penyelidikan dan telah menuju penyidikan perkara, maka kata ahli perkaranya tidak dapat dihentikan.

"Semuanya itu memberikan gambaran opini hukum ke publik bahwasanya sangat kasuistik jika kita ingin mengukur tentang dapat atau tidaknya suatu dugaan tindak pidana korupsi dihentikan atau dilanjutkan," terang Jermias.

Namun ada hal yang tidak terbantahkan secara regulasi Undang-undang khususnya pada UU Tipikor Pasal 4 yang intinya menegaskan bahwa pengembalian uang negara hasil korupsi tidak menghapuskan tindak pidana, hal itu berarti proses penanganan perkara korupsi tetap berjalan hingga bermuara di Pengadilan Tipikor.

Menyikapi hal itu, jika dihubungkan dengan penanganan kasus dugaan tindak pidana korupsi Dispora Makassar yang sudah ada laporan polisinya dan tengah dalam tahap penyelidikan, namun penanganannya diserahkan kepada Inspektorat Makassar (APIP) untuk penyelesaiannya dan telah ada pernyataan bahwa pelaku sudah ada niat baik melakukan ganti rugi dibatas waktu akhir bulan November 2020, haruslah dilihat secara proporsional.

Dengan niat tidak cukup dijadikan sebagai kompensasi ganti kerugian. Niat sebagai wujud itikad baik harus ada ukuran kualitatifnya.

"Lihat saja sikap pelakunya dan yang lebih tahu serta memahaminya adalah tim pengawas/ Inspektorat yang menangani kasus tersebut. Begitu pula penyidik tipikor Polrestabes Makassar tidak boleh diam begitu saja, apalagi modus kejahatan korupsinya jelas sekali ada kegiatan yang sifatnya fiktif," kata Jermias.

Ganti kerugian uang negara yang dikorupsi harus dilihat secara proporsional dari perbuatan tanggung jawab pidananya. Karena akan mudah atau sederhana bagi aparatur negara dengan anggapan bahwa cukup menyalagunakan kewenangan dengan modus buat program kerja atau kegiatan fiktif, lalu jika dikemudian hari ketahuan perbuatan jahatnya, maka cukup dengan mengembalikan dana/ uang negara persoalan kasus korupsi menjadi selesai.

"Naif sekali apabila perbuatan jahat semacam itu ditoleransi pertanggung jawaban pidananya dengan menghentikan perkara. Pertanggung jawaban pidana menurut kesalahan (schuld) karena sengaja dan kelalaian (culpa lata) tingkatan derajatnya berbeda,yang dalam proporsionalitasnya tidak dapat disamaratakan tetapi harus diletakan secara kasuistik," jelas Jermias.

Penegak hukum dalam hal ini penyidik tipikor Polrestabes Makassar harus meletakan penanganan kasus korupsi secara proporsional sesuai kasuistiknya. Penyelidikan yang telah berjalan selama 7 bulan di tingkat Polrestabes Makassar namun tidak membuahkan hasil alias stagnan, maka sudah tepat jika penanganan kasusnya diambil alih saja oleh tingkat yang lebih atas dalam hal ini Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel serta harus menggandeng BPK atau BPKP untuk mengaudit kerugian keuangan negara yang diduga terjadi dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh Dispora Makassar tersebut.

"Jika tak dilakukan secara cepat, obyektif dan transparan atau terbuka dalam penanganan perkara korupsi Dispora ini, maka jangan salahkan publik ketika menilai atau memberi asumsi penegakan hukum oleh aparat Kepolisian khususnya jajaran Dit Reskrimsus Polda Sulsel tidak becus dalam pemberantasan tindak pidana korupsi selama ini," Jermias menandaskan.

Diketahui, Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polrestabes Makassar menyelidiki dugaan korupsi pada kegiatan workshop, seminar dan pelatihan pada bidang pengembangan pemuda Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Makassar.

Kegiatan di lingkup Dispora Makassar yang diduga fiktif tersebut diketahui menggunakan anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Makassar Tahun Anggaran 2018.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polrestabes Makassar yang saat itu dijabat oleh AKBP Asep Marsel Suherman membenarkan adanya penyelidikan terkait dugaan korupsi pada kegiatan di lingkup Dispora Makassar tersebut.

"Benar Sat Reskrim Restabes Makassar sedang menyelidiki itu," kata Asep via pesan singkat, Rabu 26 Februari 2020.

Meski demikian, ia belum dapat memberikan keterangan lebih rinci terkait penyelidikan terhadap kegiatan yang diduga telah merugikan negara miliaran rupiah tersebut.

"Masih lidik dan saat ini penanganannya masih dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP)," tutur Asep saat itu.

Pada tahun anggaran 2018, Dispora Makassar melaksanakan sejumlah kegiatan diantaranya kegiatan pelatihan dasar bela negara bagi pemuda lorong senilai Rp300 juta, diskusi perubahan pola pikir pemuda anak lorong dalam menyambut Makassar menuju kota dunia senilai Rp200 juta dan pelatihan pengembangan karakter bagi pemuda senilai Rp250 juta.

Kemudian, ada juga kegiatan pelatihan pengembangan potensi minat dan bakat pemuda yang menelan anggaran sebesar Rp250 juta, peningkatan peran serta pemuda dalam pengembangan olahraga senilai Rp500 juta, pelatihan dan diskusi ilmiah tentang berbagai isu kepemudaan Rp500 juta.

Selanjutnya ada kegiatan perkampungan pemuda senilai Rp500 juta, kegiatan sosialisasi pemuda pelopor Makassar Tidak Rantasa (MTR) senilai Rp500 juta, seminar wawasan kebangsaan bagi mahasiswa dan pemuda senilai Rp300 juta, workshop peran serta pelajar dalam bergonanisasi senilai Rp225 juta serta pembinaan pelatihan kepeloporan mahasiswa senilai Rp300 juta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya