Nasib Pencari Kelelawar di Gorontalo Melawan Stigma Covid-19

Semenjak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan virus corona sebagai pandemi pada bulan Maret 2020 kemarin, sejumlah pengambil kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Gorontalo berhenti beraktivitas.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 30 Okt 2020, 15:22 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2020, 11:00 WIB
Pengambil kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Boalemo. (Foto: Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)
Pengambil kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Boalemo. (Foto: Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Liputan6.com, Boalemo - Sejak pandemi Covid-19 yang dibawa Virus Corona, banyak aktivitas warga terhenti. Begitu pun dengan para pengambil kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Gorontalo yang harus berhenti beraktivitas. Apa penyebabnya?

Sebagian peneliti mengumumkan bahwa virus mematikan asal Wuhan, China ini disinyalir berasal dari satwa dengan nama latin Chiroptera ini. Hal ini membuat sejumlah kelompok pengambil kelelawar harus kehilangan mata pencaharian.

Bagaimana tidak? Adanya imbauan pemerintah untuk jangan dulu mengonsumsi daging kelelawar, membuat permintaan dari pasar ekstrem di Sulawesi Utara, Tomohon otomatis tidak ada.

Akibatnya, sebagian para pencari kelelawar ini terpaksa mencari pekerjaan lain. Ada yang menjadi nelayan, sebagian lagi ada yang menjadi pekerja serabutan.

Dampak ini tentu sangat dirasakan oleh mereka, sebab selama enam bulan terakhir ini, mereka harus menjalani pekerjaan yang tidak biasa mereka lakukan demi memenuhi kebutuhan keluarga.

"Semenjak awal pandemi dan isu corona dari kelelawar permintaan sudah tidak ada lagi, terpaksa kami cari pekerjaan lain," kata Oneng Rauf salah satu warga pencari kelelawar di Gorontalo.

Simak juga video pilihan berikut:

Warisan Leluhur

Pengambil kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Boalemo. (Foto: Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)
Pengambil kelelawar di Desa Olibu, Kecamatan Paguyaman Pantai, Boalemo. (Foto: Liputan6.com/Arfandi Ibrahim)

Oneng bercerita, sebenarnya pekerjaan mereka ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Selain memang menjadi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar, pekerjaan ini juga merupakan warisan leluhur yang sudah dilakoni warga sejak zaman dulu.

"Orangtua kami mewariskan pekerjaan ini sejak tahun 1970 silam, namun apa boleh buat keadaan yang memaksa kami harus berhenti berburu kelelawar," tutur Oneng.

Selain itu, kata Oneng, permintaan yang terhenti selama kurang lebih enam bulan ini, membuat populasi kelelawar di lokasi yang memang menjadi habitat asli mereka meningkat dan bertambah banyak.

"Ada hikmahnya juga, saat ini karena tidak ada permintaan, populasi kelelawar di Desa Olibu makin banyak," ujarnya.

Hingga akhirnya, permintaan kelelawar saat ini mulai ada. Sebagian dari mereka mulai menangkap meski dalam jumlah yang terbatas. Meski permintaan meningkat dengan harga yang cukup tinggi, mereka sepakat menangkap secukupnya saja.

Kelelawar yang mereka tangkap harus melalui proses sortir, ada beberapa kriteria kelelawar yang tidak mereka ambil. Di antaranya, kelelawar hamil, menyusui, dan kelelawar kecil yang beratnya tidak sampai 500 gram.

"Alhamdulilah kami mulai berburu kembali, penangkapan secara tradisional tanpa harus membunuh, nanti kalau ada kelelawar yang tidak seharusnya diambil kami rilis kembali," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya