Tengkawang: Ekologi, Nilai Sosial-Budaya dan Ekonomi Hutan Adat Borneo (Bagian I)

Dengan Tengkawang, anaknya bisa menempuh pendidikan jenjang perguruan tinggi yang saat ini sudah semeseter tujuh di Universitas Tanjungpura Pontianak

oleh Aceng Mukaram diperbarui 14 Des 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 14 Des 2020, 11:00 WIB
Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)
Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

Liputan6.com, Bengkayang - Mata wanita itu menatap tajam seonggok buah di depannya. Mereka duduk melingkar di atas lantai. Satu persatu-satu buah itu dikupas. Adriana Kumon, nama lengkapnya. Wanita berusia 46 tahun ini bersama puluhan wanita di Dusun Melayang, Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat mengupas buah Tengkawang.

“Ini namanya Sengkabang (Tengkawang) dalam bahasa Dayaknya,” tuturnya kepada Liputan6.com mengawali perbincangan di kediamannya. Dia mengaku, ada 20 orang mengerjakan proses pengupasan hingga menjadi butter ini. Sudah dua tahun, dia berjibaku memulai pekerjaan baru itu bersama puluhan ibu-ibu di sana.

“Ini bisa kita jual,” ucapnya yang terus mengupas dan memilah buah Tengkawang yang ada dalam sebuah wadah.

Dengan Tengkawang, anaknya bisa menempuh pendidikan jenjang perguruan tinggi yang saat ini sudah semeseter tujuh di Universitas Tanjungpura Pontianak.

“Berdampak pada perekonomian keluarga. Dulu kan hanya ke ladang saja,” tuturnya mengenang masa sulit.

Saat ini ia dan ibu-ibu lainya di sana rutin mengumpulkan buah Tengkawang menjadi olahan; minyak Tengkawang, butter, mi Tengkawang.

“Perlu ketekunan intinya,” ucapnya tersenyum semringah pada pagi jelang siang. ”Butter ini juga bisa dipakai untuk obat sakit kepala, demam, sakit gigi. Tinggal telan saja pakai sendok makan,".

Hujan deras di batas negeri itu masih tampak jelas. Rimbunnya dedaunan pohon menjulang tinggi ke langit terlihat segar saat air hujan membasahi bumi ekor ujung Borneo Barat itu. Dingin. Sejuk. Udara segar saat dihirup di sana pada pagi jelang siang itu.

“Sebentar nunggu hujan reda, kita ke hutan,” tutur Tetua Hutan Adat Pikul, Damianus Nadu, kepada Liputan6.com, di Dusun Melayang, Desa Sahan, Kabupaten Bengkayang.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Sosok Pelestari Tengkawang

Hutan Adat Pangajid berubah nama menjadi Hutan Adat Pikul pada tahun 2018. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)
Hutan Adat Pangajid berubah nama menjadi Hutan Adat Pikul pada tahun 2018. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

Lelaki berusia 60 tahun itu bercerita, Hutan Adat Pangajid berubah nama menjadi Hutan Adat Pikul pada tahun 2018 setelah dikukuhkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan SK Penetapan Hutan Adat Pikul Nomor SK 1300 / MENLHK-PSKL / PKYHA / PSL.1 / 3/2018.

Hutan adat ini dikukuhkan pada 15 Oktober 2002 melalui SK Bupati Nomor 131 Tahun 2002. Luas kawasanya 100 hektare ini didominasi pohon Tengkawang dan Meranti serta ada 99 jenis pohon langka (Tengkawang, Meranti merah, Meranti putih, Belian, Kayu Bawang Putih,dan lain lain).

“Ada olahan Tengkawang untuk bahan kosmetik dan makanan. Itu hanya buahnya saja dimanfaatkan,” kata Damianus Nadu.

Dari dahulu hingga sekarang, kata dia, buah Tengkawang masih digunakan untuk upacara adat di sana. Menjaga melestarikan Tengkawang adalah keharusan bagi warga.Tanaman ini menjadi hutan keramat bagi warga dayak di Kalimantan Barat dalam pelbagai upacara upara keagamaan.

“Kalau ada yang menebang atau mengambil kayu Tengkawang, dihukum adat. Pokoknya beratlah hukumanya. Berlipat dari biasanya,” ucapnya menegaskan bahwa masyarakat adat patuh akan aturan adat yang sudah ditetapkan secara turun menurun sejak nenek moyang itu.

“Kami sadar akan nilai buah Tengkawang memberikan dampak luar biasa bagi kehidupan. Tetapi, kami juga menjaga jangan sampai Tengkawang jadi kenangan atau gambar semata,” tuturnya sembari menunjuk pohon Tengkawang menjulang tinggi di Hutan Adat Pangajid.

Damianus Nadu sadar, akan pemanfaatan buah Tengkawang. Namun begitu, ia dan masyarakat adat tetap teguh merawat serta mengkampanyekan penanam kembali Tengkawang ke daerah lainnya. Ini dilakukan, demi Tengkawang yang lestari di Bumi Pertiwi.

“Bulan lalu ada warga beda kecamatan kesini ambil bibit Tengkawang. Mereka menanam Tengkawang,” ujarnya yang tiada henti menyiangi semak belukar di sekitar pohon Tengkawang.

Damianus Nadu berharap, ke depan pemasaran buah Tengkawang yang menjadi berbagai olahan produk turunan; makanan, kostmetik dan lain sebagainya dapat berjalan lancar. Ini karena mereka sudah memilik pabrik mini Tengkawang.

“Ada kelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang urus,” ucapnya bangga dan tidak menyangka buah Tengkawang akan bernilai ekonomi tinggi serta memberikan kehidupan bagi masyarakat adat.

 

Pengembangan Tengkawang Kalimantan

Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)
Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

Kepada Liputan6.com, Koordinator Jaringan Tengkawang Kalimantan, Valentinus Heri menyebut, Tengkawang adalah endemik Kalimantan. Semakin berkurang Tengkawang, karena adanya penebangan pohon. Meski demikian, potensi Tengkawang masih bisa ditingkatkan.

“Tengkawang musiman. Hanya dijual mentah. Ada inisiatif pembuatan minyak Tengkawang untuk meningkatkan nilai,” kata dia.

Dia berharap, perlu adanya forum multi pihak untuk pengembangan Tengkawang. Saat ini, dia bilang sudah terbentuk Jaringan Tengkawang Kalimantan pada 2016 itu konservasi Tengkawang pemberdayaan petani, pengorganisasian pasar dan anggota jaringan bisa individu dan lembaga dan dibagi menjadi dua, yaitu anggota sebagai pendukung dan inti.

Dia berkata, rencana aksi mendorong adanya pengakuan Jaringan Tengkawang Kalimantan dan dukungan kebijakan terikat hasil hutan bukan kayu (HHBK) Tengkawang Kalimantan melakukan inventarisasi potensi Tengkawang di Kalimantan.

“Membuat laporan perkembangan kegiatan dari masing-masing wilayah anggota secara berkala persiapan untuk panen Tengkawang setiap tahun, mendorong adanya geographical indication,” katanya.

Kajian dan upaya untuk meningkatkan produksi Tengkawang adalah melakukan promosi produk minyak dan pengembangannya Tengkawang. Pertemuan tahunan Jaringan Tengkawang Kalimantan sebagai upaya untuk berbagi informasi dan pengetahuan terkait pengembangan tengkawang.

Dia menjelaskan, berdasarkan hasil inventarisasi potensi Tengkawang adalah penelitian tentang pada 2017 ini, mencakup 73 desa di 8 Kabupaten, Propinsi Kalimantan Barat dengan luas sekitar 9,653 km2 yang dikelola oleh 22,644 Kepala Keluarga atau 122,122 jiwa di kawasan yang memiliki potensi tengkawang.

 

Ekologi, Nilai Sosial-Budaya dan Ekonomi Tengkawang

Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)
Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

Tengkawang (Shorea spp.) lebih dikenal oleh masyarakat umum sebagai meranti. Di Kalimantan Barat, Tengkawang dikenal juga sebagai engkabang (Iban) atau kakawang (Embaloh), adalah jenis pohon asli hutan Indonesia bagian barat. Jenis ini tumbuh dengan baik di hutan hujan tropis dengan tipe curah hujan A (monsoonal) dan B (ekuatorial), pada tanah latosol, podsolik merah kuning dan podsolik kuning pada ketinggian sampai 1300 m dpl (Martawijaya dkk. 1981).

Di Indonesia, ada tiga belas jenis tengkawang yang dilindungi (PP no. 7/1999), delapan di antaranya ada di Kalimantan Barat. Selain tumbuh alami dan tersebar di hutan, Tengkawang juga banyak ditanam oleh masyarakat di kebun, damun (bekas ladang), tepi sungai dan tembawai (situs keramat, bekas lokasi mengenai sebaran Tengkawang.

Nilai sosial budaya: pengetahuan dan kelembagaan lokal pengelolaan Tengkawang di Kalimantan Barat, minyak biji Tengkawang telah dimanfaatkan secara tradisional sejak dulu, terlihat dari literatur tertua yang diperoleh tentang minyak biji Tengkawang dipublikasikan pada tahun 1886 oleh William Burck.

Masyarakat lokal memiliki banyak pengetahuan dan persepsi lokal mengenai tengkawang yang diwarisi secara turun temurun. Tak terkecuali masyarakat Keluin di hulu DAS Labian-Leboyan.

Saat menyusuri sungai, mereka menunjukkan sempadan sungai yang ditumbuhi tengkawang umumnya lebih terlindung dari ‘tusur’ (erosi). Menurut mereka, akar tengkawang kuat mengikat tanah. Masyarakat juga menuturkan bahwa tengkawang yang tumbuh di sempadan sungai lebih subur dan berbuah lebih banyak dibandingkan yang tumbuh jauh dari sungai.

Ada sembilan jenis tengkawang yang dikenal oleh masyarakat Iban di Kapuas Hulu: ajul, engkabang, engkabang bintang, engkabang rambai, engkabang tukul, engkabang tungkul, lelanggai, sepit undai dan tegelam. Namun hanya yang berbuah besar, antara lain engkabang dan engkabang tungkul, yang paling diminati sebagai penghasil minyak.

 

Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)
Tengkawang. (Foto: Liputan6.com/Aceng Mukaram)

“Kami tidak mencantumkan nama ilmiah jenis-jenis ini karena diperlukan pengamatan karakteristik morfologi pohon, buah dan daun untuk memastikan nama ilmiahnya,” kata dia dalam laporan Brief Info CIFOR No.292, Juli 2020, yang juga terlibat dalam penyusunannya itu.

Secara alami, Tengkawang berbuah besar juga ditanam di area rumah panjang dan tembawai. Karena itu Tengkawang juga dianggap sebagai salah satu pusaka dan penanda hak kepemilikan keluarga dan komunal wilayah rumah panjang.

“Di mana ada tembawai, di situ ada pohon tengkawang,” demikian ungkapan masyarakat Iban seperti dituturkan kembali Valentinus Heri.

Musim panen raya jenis Tengkawang berbuah besar terjadi setiap 3-4 tahun sekali. Di musim Tengkawang berbunga, hampir semua jenis buah-buahan setempat biasanya akan berbunga juga. Saat itu menjadi pertanda bagi masyarakat untuk mengadakan upacara adat Ngampun, yaitu memohon ampunan kepada penguasa alam agar dijauhkan dari serangan penyakit, yang dipercayai sebagai akibat dari musim bunga tengkawang dan buah-buahan setempat.Seluruh warga di kampung terlibat dalam upacara adat Ngampun.

Menurut para orang tua Dayak Iban, sebenarnya ada aturan adat dalam pemanenan dan pengolahan Tengkawang, antara lain untuk mengatur kapan mulai panen, siapa yang dilibatkan, pembagian kerja termasuk perempuan dan anak-anak, serta pembagian hasil yang jelas dan adil.

Biji Tengkawang lalu diolah secara tradisional menjadi minyak untuk menggoreng, lampu pelita, pengobatan dan lain-lain. Proses ekstraksi minyak dilakukan secara tersembunyi dan jauh dari permukiman, karena masyarakat meyakini bahwa jika ada yang melihat proses ekstraksi dan banyak bertanya.

Bersambung keTengkawang: Ekologi, Nilai Sosial-Budaya dan Ekonomi Hutan Adat Borneo (Bagian II)

Artikel ini didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Balikpapan dan Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan pada program fellowship mengambil tema utama tentang keanekaragaman hayati di Kalimantan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya