Umbu Landu Paranggi, Mengenal Otentisitas dan Keunikan Sang Putra Mahkota

Umbu Landu Paranggi merupakan maestro sastra, seorang ningrat di Sumba. Dirinya memilih jalan kesunyian bersama kata-kata dalam puisi.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 06 Apr 2021, 08:43 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2021, 08:43 WIB
Umbu Landu Paranggi
Umbu Landu Paranggi. (Foto: Caknun.com

Liputan6.com, Semarang - Innalilahi wa inna ilaihi rajiun.

Umbu Landu Paranggi adalah seorang ningrat di Sumba. Ia tak mau terkenal dan tak mau menjadi raja, meski ia adalah seorang Putra Mahkota. Umbu Landu Paranggi memilih menjadi seorang bohemian. Ia akhirnya memilih bersekolah di Taman Siswa Yogyakarta.

Eko Tunas, sahabat terdekat Emha Ainun Nadjib salah satu murid terkasih Umbu Landu Paranggi menceritakan bahwa Emha Ainun Nadjib bersama beberapa sastrawan adalah pewaris sejati ilmu dan bahkan sampai puntung rokok serta pakaian Umbu.

“Seringkali cak Nun bercerita bahwa Umbu selalu mendapat kiriman wesel yang cukup besar. Maklum ia adalah anak raja sehingga Umbu menjadi sosok sastrawan yang mampu beli baju, jaket jeans, juga celana jins. Dan itu sering banget, yang lama dan masih bagus akhirnya diwarisi murid-muridnya, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Ragil Suwarno Pragolapati dan masih banyak lagi,” kata Eko Tunas.

Di mata Eko Tunas, sosok Umbu landu Paranggi dalam dunia sastra Indonesia seperti HB Jassin. Tentu dalam wajah dan ruang yang berbeda.

Umbu landu Paranggi ketika bekerja menjadi redaktur Pelopor, membagi dua ruang untuk mewadahi para penyair dan sastrawan. Mereka yang masuk kategori pemula masuk dalam ruang Persada Studi Klub (PSK), sedangkan yang karyanya sudah teruji masuk dalam ruang Sabana.

“Untuk masuk ke PSK saja susahnya setengah mati, apalagi masuk ke Sabana,” kata Eko.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Gaya Pacaran Umbu

Sebagai seorang laki-laki normal, Umbu Landu Paranggi juga tertarik pada lawan jenisnya. Ia pernah tertarik kepada seorang mahasiswi Seni Rupa. Menurut Emha Ainun Nadjib, Umbu amat sangat tertarik dengan sang mahasiswi yang akhirnya menjadi salah satu redaktur majalah wanita terbesar di Indonesia.

“Jika beliau ingin berpacaran, ia akan memanggil saya. Maka saya akan berjalan di trotoar bersamanya, sedangkan Umbu Landu Paranggi berjalan di trotoar seberang jalan. Dengan melihat sosoknya, kangennya sudah terobati dan ia sudah sangat bahagia,” kenang Emha Ainun Nadjib.

Menurut Eko Tunas, gaya Umbu tersebut bukan dibuat-buat tapi sangat otentik. Bukan karena Umbu tak berani, namun ia begitu menghormati perempuan yang ditaksirnya.

Pernah pula ketika musim libur, Umbu sangat kangen dengan perempuan itu. Maka ia pamit kepada Emha Ainun Nadjib.

“Nun, aku mau ke Surabaya. Mau apel,” kata Umbu.

“Iya mas. Hati-hati nggih. Berani sendirian to?” jawwab Emha.

Umbu sangat pemberani, maka ia berangkat sendiri ke Surabaya. Zaman itu Umbu naik bus malam. Dan sesampai di Surabaya waktu sudah pagi. Tak lama di Surabaya, ia langsung kembali ke Yogyakarta.

“Piye mas? Lancar kan apelnya?” tanya Emha Ainun Nadjib.

“Wis kok,” jawwab umbu pendek.

“Iso ketemu? Njur ngobrol neng ruang tamu?” tanya Ainun lagi.

“Ora. Aku mung lewat ngarep omahe. Kuwi wis cukup,” jawab Umbu.

Bayangkan, ia rela menempuh ratusan kilometer hanya untuk melihat rumahnya dan kangennya sudah terobati. Ada kisah lain. Umbu Landu paranggi sangat hapal dengan jam-jam bus malam dari Surabaya tiba di Yogyakarta. Suatu saat ia ingin menjemput perempuan itu. Maka ia mengajak Emha Ainun Nadjib untuk ngopi di sebuah warung, dekat dengan tempat pemberhentian bus yang ditumpangi perempuan itu.

Berjam-jam ia ngopi sambil diam tak bicara. Matanya hanya memandang satu titik koordinat tanpa berpindah. Bus malam datang, perempuan yang ditaksir Umbu terlihat turun. Umbu leihat tanpa berkedip dan ekor matanya mengikuti sampai perempuan itu menghilang. Sesudahnya, pulang. Dahsyat sekali rasa kangen itu. Cukup dengan melihat bayangan dan bekas tapak kakinya saja sudah membuat Umbu bahagia dan itu harus dijalani dengan menunggu berjam-jam.

 

Butuh Umbu Masa Kini

eko tunas
Sastrawan, budayawan, monologer Eko Tunas. (foto: Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Bagaimana dunia sastra saat ini?

Dengan tegas Eko Tunas menyebut bahwa sastra Indonesia sangat butuh sosok seperti Umbu. Sosok yang mampu menjadi katalisator dan filter bagi mereka yang memang berpotensi menjadi sastrawan, yang pura-pura nyastra, atau yang sok sastrawan.

“Apalagi politik identitas mulai masuk ke sastra. Ada sastrawan yang membentuk komunitas, dan mengunggulkan komunitas masing-masing. Ini jelas butuh juri yang obyektif. Disitulah peran Umbu harus ada yang menggantikan,” kata Eko Tunas.

Begitulah sosok Umbu Landu Paranggi. Seorang putra mahkota Paranggi (raja) di Sumba, dan tak mau menjadi Paranggi, namun memilih hidup sederhana dan penuh romantika. Ia bohemian sejati, tak mengenal bank, tak mengenal ponsel.

Tabungannya ada di kaleng-kaleng. Komunikasinya dengan para sahabat dan murid-muridnya kadang seperti menggunakan telepati.

Selamat jalan Umbu Landu Paranggi. Teruslah menjadi Umbu di keabadian.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya