Liputan6.com, Aceh - Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh menggelar nonton bareng (nobar) untuk memperingati Hari Anti Penyiksaan Internasional di sekretariat lembaga nonpemerintah itu, Senin malam (29/06/2021). Dari dua film animasi yang mereka putar, salah satunya mengangkat kisah Umar Usman, pria asal Pidie yang masuk penjara atas tuduhan terlibat Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Film berjudul 8:45 itu menggambarkan bagaimana Umar mendapat perlakuan semena-mena serta siksaan selama menjadi tahanan. Para penyiksa tidak memberi kesempatan bagi Umar untuk membela diri sampai pengadilan memutuskan Umar bersalah dengan dalih telah terlibat makar alias tergabung dalam gerakan separatis di bagian logistik.
Sebelum tiga orang tentara menjemputnya pada suatu malam di bulan Juni, tahun 2003, Umar sedang tiduran alias beristirahat sambil bertelanjang dada di kos-kosan Gampong Setui, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Umar bekerja di toko material bangunan milik seorang etnis Tionghoa kala itu.
Advertisement
Dia tinggal bersama sepasang suami istri yang waktu itu juga berstatus indekos. Umar tidak pernah membayangkan apa yang akan terjadi setelah pintu kamar kos-kosan ia buka saat seseorang mengetuk dari luar, sementara waktu itu, anak pertamanya baru berumur dua bulan, tinggal di kampungnya, Blang Dhod, Kecamatan Tangse, Pidie, bersama sang istri.
"Boleh ikut sebentar?" tutur Umar, mengulang kalimat salah satu dari tiga tentara yang pada malam itu menjemputnya, kepada awak media, Senin malam.
Umar segera mengenakan bajunya sementara mobil Taft 4x4 berwarna hijau telah menunggu mereka sekitar 50 meter dari indekos. Sebelum naik ke mobil, Umar menitipkan kunci kamar kepada suami istri yang tinggal satu kosan bersamanya dan sempat bertanya pukul berapa saat itu.
"Jam 8:45 (20:45)," jawab si suami.
Selama perjalanan, tentara-tentara itu menyosor Umar dengan tuduhan bahwa dirinya berhubungan dengan seseorang bernama Iskandar. Karena menjawab tidak mengetahui siapa Iskandar yang mereka maksud, tentara-tentara itu lantas memukulinya secara bertubi-tubi.
Kelak, Umar baru tahu bahwa Iskandar yang mereka maksud adalah seorang ahli serta pelatih militer yang mendapat gelar mualim dalam jabatan militer GAM. Iskandar rupanya sudah tertangkap dan kemungkinan besar telah menyeret-nyeret nama Umar selama interogasi.
Umar telah berada di sebuah ruangan bersama tiga orang tentara yang terus menjejalnya dengan berbagai pertanyaan, menjurus pada keterlibatannya dengan gerakan separatis sampai menjelang dini hari. Sehabis interogasi, mereka menempatkannya ke dalam sel.
Ada dua orang penjaga di depan sel tersebut, salah satunya menghampiri Umar lalu menyuruhnya mendekat ke jerjak. Tentara itu meraih salah satu jari Umar lalu menggesek-gesekkannya secara naik turun ke terali besi itu sampai jarinya terluka.
Tuduhan terlibat GAM beserta penyiksaan masih terus berlangsung ketika Umar telah mereka pindahkan ke wilayah hukum Polres Pidie selama 1 bulan sampai pengadilan yang berlangsung secara instan memvonisnya 2 tahun 10 bulan. Hukuman itu tidak Umar jalani sampai habis karena mendapat remisi pasca penandatanganan nota kesepahaman damai di tahun 2005.
Umar bercerita bahwa sipir di Lapas Kota Bakti, Tangse, pernah menyiksanya habis-habisan hanya karena dirinya tidak sengaja salah memindahkan saluran televisi ketika para narapidana sedang leyeh-leyeh sembari menonton televisi selepas salat zuhur. Saat itu, Umar salah menekan nomor sehingga saluran berita yang sedang ia cari malah memunculkan tayangan dewasa.
"Ada sekira-kira 20 menit, ada, saya disiksa oleh pegawai itu karena dengan kesalahan saya pegang remote," kisah Umar sebagai narator dalam film animasi yang menceritakan pengalamannya sendiri.
Simak video pilihan berikut ini:
Pulang Tinggal KTP
Selama operasi sistematik menargetkan orang-orang yang terlibat gerakan separatis, berlangsung, tentara dengan mudah dapat mengambil seseorang, membunuh kemudian membuang mayatnya di suatu tempat. Umar mengatakan bahwa pada saat itu, yang kembali dari orang-orang tersebut hanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) saja.Â
"Pernah udah berapa bulan, saya kebetulan potong kayunya (sedang memotong kayu untuk kebutuhan membangun sesuatu)..., kebetulan, pas saya lihat, udah ada mayitnya," cerita Umar, ketika film telah berakhir.
"Di sini, kan, masukan plastik semua," sambung Umar sembari menunjuk-nunjuk kepalanya, memberi isyarat bahwa kepala mayat tersebut terbungkus plastik.
Seingat Umar, saat itu adalah tahun 1992, dan di tahun-tahun tersebut, Operasi Jaring Merah di bawah komando Korem 011/Lilawangsa sedang berlangsung. KontraS (2006) dalam Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu menyebut bahwa operasi tersebut bukanlah operasi tempur melainkan operasi intelijen untuk menemukan rantai separatis serta operasi teritorial untuk menarik simpati dari masyarakat.Â
Namun, pada bulan Juli 1990, Presiden RI Soeharto menurunkan 6.000 pasukan tambahan. Termasuk dua batalion dari Kopassus (Komando Pasukan Khusus) dan unit-unit tentara lainnya, seperti, Kujang Siliwangi, Kodam VII Brawijaya, Arhanud Medan, Linud Medan, dan Brigade Mobil (Brimob).
Daerah operasi yang mulai efektif sejak tahun 1990 ini, terbagi tiga sektor, yaitu, sektor A/Pidie, sektor B/Aceh Utara, dan sektor C/Aceh Timur. Operasi ini menerbitkan tiga Satuan Tugas, yaitu Satgas Marinir untuk mengamankan daerah pantai, Satgas Taktis untuk mengisolasi posisi satuan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Aceh Merdeka pada lokasi-lokasi strategis, serta yang terakhir, Satgas Intelijen.
Dalam Satgas Taktis terdapat tim-tim yang lebih khusus, seperti tim Pase-1, tim Pase-2, tim Pase-3, tim Pase-4, tim Pase-5, tim Pase-6 dan seterusnya yang berasal dari Kopassus. Di tahun-tahun itu pula, muncul rumah-rumah jagal berlabel Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis).
Advertisement
8:45 dari Sekian Banyak Kekerasan di Aceh
Dalam dokumen Ringkasan Eksekutif Hasil Tim Pemantauan dan Penyelidikan Pelanggaran HAM pada Masa Daerah Operasi Militer terbitan Komnas HAM RI, di Kabupaten Pidie saja, terjadi 3.504 kasus korban Operasi Jaring Merah. Dari jumlah tersebut tercatat orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stres/trauma 178 kasus, rumah hangus 223 kasus, dan rumah rusak 47 kasus.Â
Umar sendiri pernah menjadi orang yang Koalisi NGO HAM pilih untuk mendata jumlah korban konflik yang ada di Kecamatan Tangse. Bersama dua orang lainnya, ia berhasil mencatat sebanyak 50 orang laki-laki menjadi korban selama operasi berlangsung.
Ia ikut memberikan kesaksian untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, sebuah komisi khusus yang bertujuan untuk memperkuat perdamaian melalui pengungkapan kebenaran serta merekomendasi reparasi bagi para penyintas konflik di Aceh untuk rekonsiliasi. Komisi ini mulai bekerja sejak 2016.
Kisah Umar hanya secuil dari sekian banyak kisah kekerasan terhadap kemanusiaan yang mendera para korban konflik di Aceh. Umar kini menaruh harapan kepada KKR Aceh agar para penyintas atau keluarga para korban bisa merajut kedamaian yang telah berumur belasan tahun ini dengan damai pula.
Sebelumnya, KKR Aceh telah merekomendasikan reparasi (pemulihan) hak korban yang mendesak kepada Pemerintah Aceh. Gubernur menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Gubernur Aceh No. 330/1269/2020 dan belakangan mengubahnya menjadi No. 330/1269/2020 tentang Penetapan Penerima Reparasi Mendesak Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM (245 korban).
Adapun bentuk dari reparasi mendesak terdiri dari lima hal, pertama dalam bentuk medis, kedua psikologis, ketiga modal usaha, keempat jaminan hidup, dan kelima status kependudukan serta prioritas bagi korban yang sudah usia lanjut. Kategori penerima tindakan reparasi mendesak meliputi korban rentan, antara lain: disabilitas; sakit; lanjut usia; korban kekerasan seksual; dan sangat miskin.
Nobar di sekretariat KontraS Aceh pada malam itu terjadi berkat kerja sama sejumlah lembaga, antara lain, Asia Justice And Rights (AJAR), KontraS Aceh, dan ACbit, yang mereka selubung dalam kegiatan Aceh Menonton. Selain 8:45, mereka juga memutar sebuah film animasi berjudul Konta-Sai, bercerita tentang perempuan bernama Isabel de Jesus Soares yang mengalami kekerasan seksual serta kehilangan suami saat Indonesia mengirimkan tentaranya ke Timor Leste.
"Film dibuat dalam bentuk animasi supaya apa, supaya tidak menghadirkan kengerian. Untuk menghadirkan cerita tentang apa yang terjadi dari masa lalu kepada teman-teman dengan wadah, mungkin, paling bisa diterima, film, tapi caranya dibuat seramah mungkin, sedekat mungkin, tidak menimbukan trauma," kata Divisi Kampanye dan Advokasi KontraS Aceh, Azharul Husna.