Mengenal Bakar Tongkang dan Sejarah Bagansiapiapi di Riau

Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir kembali mengadakan bakar tongkang setelah beberapa tahun tidak diselenggarakan karena pandemi Covid-19.

oleh M Syukur diperbarui 04 Jul 2023, 12:00 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2023, 12:00 WIB
Ritual budaya bakar tongkang di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Ritual budaya bakar tongkang di Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. (Dinas Pariwisata Riau)

Liputan6.com, Pekanbaru - Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir kembali mengadakan bakar tongkang. Salah satu event nasional di Indonesia itu sudah dibuka oleh Bupati Rokan Hilir Afrizal Sintong dengan tagline 'Kemilau Bagan'.

Puncak festival bakar tongkang berlangsung pada 4 Juli 2023. Replika kapal yang disebut masyarakat sebagai tongkang akan dibakar memperingati kedatangan etnis Tionghoa ke daerah pesisir Riau itu.

Bakar tongkang sudah beberapa tahun tidak dilaksanakan oleh pemerintah setempat. Salah satunya alasannya adalah pandemi Covid-19 kemudian persiapan yang mepet pada tahun 2022.

Rangkaian bakar tongkang sudah dimulai sejak 1 Juli 2023. Pemerintah setempat mengadakan festival ekonomi kreatif untuk mendukung usaha mikro kecil menengah (UMKM) masyarakat lokal.

Afrizal Sintong mengajak seluruh masyarakat Kabupaten Rohil bersama-sama membantu mempromosikan produk UMKM, baik di media sosial maupun lainnya. Pasalnya event ini bakal dikunjungi oleh wisatawan mancanegara.

"Dengan hal itu tentunya bisa menarik para wisatawan," kata Afrizal.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tiga Kapal

Data dirangkum dari berbagai sumber, bakar tongkang dalam bahasa Hokkien dikenal sebagai Go Gek Cap Lak. Ini merupakan sebuah ritual tahunan masyarakat di Bagansiapiapi dan masuk dalam kalender visit Indonesia.

Setiap tahunnya ritual ini mampu menyedot wisatawan dari Malaysia, Singapura, Thailand, Taiwan hingga Tiongkok Daratan. Bakar tongkang sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda.

Berdasarkan sejarah Bagansiapiapi, ibu kota Rokan Hilir, ritual ini berawal dari datangnya sekelompok orang Tionghoa dari Fujian, China Selatan. Ada tiga kapal yang berangkat dengan tujuan merantau memperbaiki hidup menyeberangi laut.

Dalam perjalanan hanya satu kapal yang selamat tapi penumpangnya dipenuhi kebimbangan sehingga mereka berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya (dewa laut) agar diarahkan menuju daratan. Pada malam harinya, mereka melihat ada cahaya samar-samar sehingga nakhoda mengikutinya.

Orang-orang di kapal kayu tadi percaya cahaya samar itu merupakan daratan. Mereka pun mencapai sebuah daratan yang tak jauh dari Selat Malaka.

Daratan itu kemudian dinamakan Baganapi. Penamaan ini berdasarkan cahaya yang dipercaya berasal dari kunang-kunang di atas bagan atau tanah. Baganapi itu kini dikenal dengan Bagansiapiapi.

 

18 Orang

Yang berhasil mencapai daratan ada 18 orang. Mereka dipercaya sebagai nenek moyang Tionghoa di Bagansiapiapi yang kini telah membaur dengan masyarakat setempat.

Mereka itu dipercaya menginjakan kaki di Riau sekitar tahun 1826. Sementara pada penanggalan Imlek yaitu pada bulan kelima hari ke-16.

Para perantau ini kemudian menetap dan mendapat keberkahan laut karena Bagansiapiapi terkenal dengan penghasilan ikan. Mereka menjadi nelayan dan bertahan hidup di perantauan.

Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar Tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen kepada dewa laut.

Imigran China ini kemudian memberi kabar ke sanak saudara di Negeri Tirai Bambu tentang daerah pesisir yang berlimpah ikan ini. Satu persatu sanak saudara datang sehingga berkembang seperti saat ini.

Keahlian menangkap ikan yang dimiliki leluhur Tionghoa ini mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut diekspor ke berbagai benua lain hingga Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia pada zamannya.

 

Dirikan Klenteng

Leluhur Tionghoa di Bagansiapiapi ini kemudian mendirikan sebuah klenteng. Di klenteng bernama Ing Hok Kiong inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan.

Dewa Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng tersebut disebut sebagai patung asli yang dibawa perantau pada saat pertama kali menginjak kaki di daratan Bagansiapiapi.

Tradisi Bakar Tongkang juga dikenal sebagai Go Ge Cap Lak. kata Go berarti 5 dan Cap Lak yang berarti ke-16.

Sebelum dibakar, replika tongkang menjalani ritual dan doa oleh masyarakat Tionghoa dii kuil utama. Berbagai atraksi budaya yang bernafas oriental ditampilkan, seperti Barongsai maupun panggung hiburan untuk membawakan lagu-lagu Hokkien.

Replika tongkang memiliki panjang sekitar 8,5 meter dan lebar 1,7 meter yang terbuat dari kayu dengan dinding kapal yang dilapisi kertas warna-warni. Sebelum diarak, replika tongkang disimpan selama satu malam di Kuil Eng Hok King, diberkati, dan baru dibawa ke tempat prosesi.

 

Diarak

Replika tongkang dibawa dengan cara dipanggul sepanjang jalan di Bagansiapiapi. Replika tongkang dibawa menuju tempat pendaratan tongkang pertama kali.

Sampai di lokasi, ribuan potongan kertas doa kuning dimasukkan ke Tongkang. Pada saat replika Tongkang dibakar, doa-doa dalam kertas yang ikut terbakar akan terbawa asap ke angkasa untuk leluhur mereka.

Kemudian, masyarakat akan melihat titik jatuh tiang saat tongkang terbakar. Jika tiang jatuh ke arah laut, maka diyakini masyarakat akan mendapat rezeki dari laut.

Saat Orde Baru, perayaan Go Cap Lak sempat vakum selama puluhan tahun. Hingga tahun 2000, perayaan ini kembali digelar.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya