Walhi Soroti Program Alokasi Lahan untuk Pertanian dan Perkebunan di Aceh

Program pengalokasian tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan bagi mantan kombatan, tapol/napol, dan imbas konflik di Aceh diduga terkait IUP PT BME.

oleh Rino Abonita diperbarui 20 Jul 2023, 08:45 WIB
Diterbitkan 19 Jul 2023, 22:00 WIB
Menolak Tambang di Aceh
Pemerintah Aceh telah membentuk tim percepatan penyelesaian sengketa PT Emas Mineral Murni (PT EMM) melalui Keputusan Gubernur Nomor 180/821/2019, 15 April 2019. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh mendesak Bupati Nagan Raya agar mengevaluasi pengalokasian tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan bagi mantan kombatan, tapol/napol, dan imbas dari konflik di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang, kabupaten setempat. 

Lembaga tersebut menyoroti sejumlah hal berkaitan dengan program perluasan Wilayah Kelola Rakyat (WKR) itu. Seperti, penetapan luasan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui sertifikat bersama sebagai alas hak yang tidak sesuai dengan usulan Bupati Nagan Raya. 

Di sini, warga selaku penerima manfaat dalam program itu juga belum mendapatkan salinan sertifikat tersebut. 

"Justru yang terjadi ada pihak yang memengaruhi warga untuk memberi persetujuan pengambilan kayu di lahan yang dialokasikan tersebut," kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Afifuddin Acal, dalam rilis diterima Liputan6.com, Selasa siang (18/7/2023).

Ini beriringan pula dengan adanya informasi rencana pendirian fasilitas penggergajian kayu (sawmill) yang diketahui lewat temuan adanya alat berat di lokasi. Informasi dari Walhi Aceh menyatakan sekitar 50 orang lebih telah menerima uang untuk persetujuan pengambilan kayu tersebut. 

"Masing-masing mereka mendapatkan dana Rp2,5 juta rupiah," sebut Afifuddin.

Informasi yang cenderung tertutup terkait legalitas program yang sedang digarap dinilai Walhi Aceh sebagai upaya pembodohan. Dibandingkan dengan oknum pemilik modal, penduduk setempat hanya mendapatkan manfaat jangka pendek yang tidak seberapa. 

"Cita-cita damai sebagaimana yang diharapkan tidak akan terwujud. Justru akan terjadi konflik sosial di tengah masyarakat, juga akan berdampak terhadap lingkungan hidup akibat dari hilangnya tutupan hutan dan lahan," cetus Afifuddin.

Selain itu, melihat polanya, diduga pengalokasian lahan ini juga merupakan bagian dari misi untuk mengegolkan izin usaha pertambangan (IUP) PT Bumi Mineral Energi (BME) di Kecamatan Beutong Ateuh Banggalang. 

"Menariknya, berdasarkan hasil overlay data SK Bupati Nagan Raya dengan rencana izin PT BME, ada 877,25 hektare lahan mantan kombatan yang hendak diambil kayu tersebut masuk alam areal rencana izin PT BME dari total luasnya 3.305 hektare," ungkap Afifuddin.

 

Penolakan

Belajar dari izin usaha pertambangan emas PT Emas Mineral Murni (EMM) yang mendapat penolakan keras hingga angkat kaki dari Beutong Ateuh Banggalang beberapa tahun yang lalu, PT BME juga mendapat respons serupa dari penduduk setempat serta banyak pihak. Kelangsungan sumber air dan penghidupan jadi salah satu alasannya. 

"Jika kemudian hutan rusak, maka tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk menolak tambang. Sawah akan kering, kualitas air sungai menurun, sumber kehidupan akan hilang, dan akan hilang nilai-nilai sejarah yang selama ini mereka pertahankan, terlebih secara tata ruang Beutong Ateuh Banggalang merupakan kawasan rawan bencana," ujar Afifuddin.

Program pengalokasian tanah untuk lahan pertanian dan perkebunan bagi mantan kombatan, tapol/napol dan imbas konflik ini, menurutnya, mesti sesuai dengan tujuan pemberian hak serta mengedepankan keterbukaan informasi terkait hak dan kewajiban dalam pemanfaatan lahan tersebut.

"Sehingga mereka dapat menggunakan lahan untuk manfaat jangka panjang sesuai dengan semangat perdamaian Aceh melalui pola pertanian berkelanjutan," harapnya.

Di samping itu, untuk memastikan benar tidaknya dugaan bahwa program tersebut berjalan dengan tidak menaati ketentuan penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai sifat dan tujuan pemberian hak serta rencana tata ruang, Walhi Aceh mendesak Polda Aceh untuk turun tangan. 

Program ini sendiri, imbuhnya, tidak terlepas dari Proyek Strategis Nasional yaitu Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Sementara itu, dalam Perpres nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria, diatur adanya kewajiban memelihara kesuburan dan produktivitas tanah; melindungi dan melestarikan sumber daya di atas tanah; dan menggunakan tanah sesuai dengan kemampuan tanah. 

"Serta melarang mengalihkan hak atau mengalihkan fungsi TORA," pungkas Afifuddin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya