Asal-usul Upacara Saparan Bekakak yang Digelar Setiap Tahun di Yogyakarta

Sejarah upacara saparan bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa Kyai dan Nyai Wirosuto.

oleh Tifani diperbarui 02 Sep 2023, 12:00 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2023, 12:00 WIB
Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta (sumber: kratonjogja.id)

Liputan6.com, Yogyakarta - Upacara saparan bekakak menjadi tradisi yang digelar setiap tahunnya di Yogyakarta. Tradisi ini merupakan wujud persembahan sebagai bentuk tolak bala.

Dikutip dari laman warisanbudaya.kemdikbud.go.id, nama saparan digunakan karena upacara ini diselenggarakan pada bulan Sapar (Syafar), bulan kedua dalam kalender Hijaiyah. Sedangkan, bekakak berarti korban penyembelihan yang berwujud hewan atau manusia.

Manusia yang dimaksud dalam upacara ini adalah tiruan yang berwujud sepasang boneka pengantin dengan posisi duduk bersila. Manusia tiruan yang digunakan saat tradisi ini terbuat dari ketan berisi cairan sirup gula merah.

Sejarah upacara saparan bekakak bermula dari sebuah musibah yang menimpa Kyai dan Nyai Wirosuto. Keduanya merupakan pasangan suami istri yang juga merupakan abdi dalem Pangeran Mangkubumi, raja pertama Keraton Yogyakarta.

Sebagai raja baru, Sultan bermaksud mendirikan sebuah istana sebagai tempat kediaman. Sembari menunggu pembangunan selesai, pesanggrahan Ambar ketawang dipilih sebagai tempat tinggal untuk sementara waktu.

Tercatat, sejumlah abdi dalem sang raja yang bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I tersebut. Di antara sekian banyak abdi dalem, Kyai dan Nyai Wirosuto merupakan yang paling rajin dan setia.

Selain itu, keduanya juga merupakan abdi dalem penongsong. Tugasnya, memayungi dengan payung kebesaran keraton kemanapun sang sultan pergi.

Ketika Keraton Yogyakarta akhirnya selesai dibangun, raja yang mulai memegang tampuk kekuasaan pada 1755 ini memutuskan tinggal di istana barunya. Sementara, pasangan Kyai dan Nyai Wirosuto memutuskan tetap tinggal di pesanggrahan untuk merawat tempat peristirahatan raja mereka.

Permintaan ini pun dengan bijak dikabulkan oleh Sri Sultan. Beberapa waktu berlalu, tanpa diduga sebelumnya, tepat pada Jumat Kliwon di bulan Sapar, Gunung Gamping yang berada dekat dengan pesanggrahan tiba-tiba runtuh.

Banyak warga yang menjadi korban tertimbun longsoran batu kapur, tak terkecuali pasangan Kyai dan Nyai Wirosuto. Semenjak kejadian tersebut, Ambarketawang selalu terkena musibah di bulan Sapar.

Akibatnya, banyak korban berjatuhan. Mendengar keresahan warganya, Sri Sultan Hamengkubuwono I pun bertapa di Gunung Gamping.

Kemudian, beliau mendapatkan wisik dari penunggu Gunung Gamping. Dalam wisik teresebut, sang penunggu meminta sultan mengorbankan sepasang pengantin setiap tahunnya sebagai ganti atas batu kapur yang selalu digali di tempat tersebut oleh masyarakat sekitar.

Sultan lantas memerintahkan membuat sesaji sebagaimana yang diminta. Alih-alih mengorbankan pengantin sungguhan, sultan memerintahkan untuk menggantinya dengan boneka berwujud pengantin. Boneka ini dibuat dari tepung ketan berisi sirup gula merah.

Siapa sangka, tipuan ini ternyata berhasil. Sejak saat itulah ritual Saparan Bekakak rutin diselenggarakan setiap tahunnya di Desa Ambarketawang.

Masyarakat percaya upacara ini akan menghindarkan dari musibah dan gangguan dari roh jahat. Pelaksanaan upacara saparan bekakak terbagi dalam beberapa tahap.

Dalam upacara ini, boneka pengantin dirias dengan gaya Solo dan Yogyakarta. Keduanya dibuat dua hari sebelum prosesi dimulai. Iringan gejog lesung yang mendendangkan tembang pernikahan ikut meramaikan tahapan ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya